JAKARTA, Beritalima.com– Politisasi isu Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) bakal selalu ada dalam setiap pemilihan umum baik itu kepala daerah maupun presiden.
Soalnya, kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti kepada sejumlah awak media dalam Diskusi Empat Pilar MPR di Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (7/9), masalah ini tidak menjadi perhatian dalam UU Pemilu.
Kalau pun ada, sanksi hukuman penggunaan isu SARA dalam kampanye juga sangat ringan. Padahal politisasi SARA ini sangat membahayakan terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Datakan, pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo-Subianto Sandiaga akan rugi jika hanya memanfaatkan isu-isu tentatif, fluktuatif dan aktual seperti pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
“Sebab, begitu isu rupiah mampu diatasi, kubu pasangan ini bakal kehabisan isu sehingga kepercayaan rakyat kepada pasanganJokowi-Ma’ruf Amin semakin besar,” kata Ray didampingi politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Syafullah Tamliha.
Dikatakan Ray, isu politik itu harus lebih pada tema-tema besar pengelolaan negara dan pembangunan lima tahun ke depan. “Itulah yang sampai saat ini diabaikan kubu Prabowo-Sandi,” tegas Ray.
Kalau yang muncul isu SARA, kata Ray, karena itulah Jokowi lebih memilih KH Ma’ruf Amin untuk menepis isu SARA itu sekaligus untuk memetakan kekuatan pemilih di Banten dan Jawa Barat.
“Selama pilpres 2014 suara Jokowi di Jawa Barat dan Banten kalah dari Prabowo, sehingga dengan tampilnya KH Ma’ruf Amin, di kedua wilayah Barat Jawa ini akan memperkuat pemilih Jokowi,” kata Ray yakin.
Dengan demikian, Jokowi memilih KH Ma’ruf Amin selain untuk menepis isu agama dan ulama, sekaligus sebagai strategi memperkuat lumbung-lumbung suara Jokowi di Banten dan Jawa Barat. “Untuk buktinya, kita tunggu pilpres April 2019 mendatang,” jelas Ray.
Anehnya lagi kata Ray, #2019GantiPresiden tidak jelas capres yang didukung siapa? “Mardani Ali Sera menyatakan belum tentu mendukung Prabowo. Neno Warisman dan Ahmad Dhani pun menyerang pemerintah dengan slogan perang Badar dan Uhud, tapi begitu diserang balik, ya gak usah cengeng. Slogan perang dan tagar itu memang tidak konstruktif untuk demokrasi.”
Untuk itu, Ray berharap elit politik agar berhati-hati dengan isu SARA. Sebab, SARA itu akan jauh berbahaya daripada politik uang. “Kalau SARA seluruh umat Islam tersulut sentimen dan emosional keagamaannya. Sebaliknya, kalau politik uang hanya bersifat lokal. Seperti diciduknya anggota DPRD Malang, DPRD Sumut dan daerah lain,” kata dia.
Sependapat dengan Raya, Wakil Ketua Fraksi PPP, Syaifullah Tamliha mengatakan, isu SARA akan selalu ada dalam setiap kontestasi politik di tanah air baik itu untuk tingkat kepala daerah maupun pemilihan presiden.
Bahkan, kata politisi senior PPP di Komisi I DPR RI ini, dalam pemilihan Presiden Amerika, isu SARA tetap ada. Kemenangan Trump tidak lepas dari isu SARA. Kemenangan Trump karena gereja dan pendeta turun langsung secara door to door.
“Gereja mendukung Trump karena Hillary Clinton berjanji akan menyetujui UU perkawinan sejenis. Orang-orang Kristen khawatir dengan kebijakan Hillary tersebut. Itu adalah SARA untuk ukuran di Amerika Serikat. Efektivitas isu SARA tidak dapat dikesampingkan,” kata wakil rakyat dari Kalimantan Selatan ini.
Dikatakan, isu SARA di Indonesia semakin memanas ketika Pilkada DKI Jakarta 2017. Itulah bibit terbesar dalam persoalan SARA. Artinya, ada jualan agama. Setelah itu isu SARA ini terus bermunculan.
“Kalau saya mencermati, sepertinya ada perang antara kelompok sekuler dan kelompok agama. Indonesia, seperti kata Bung Karno, bukanlah negara agama, tetapi negara yang beragam. Karena itu politisasi SARA sangat berbahaya. Karena itu perlu keterlibatan semua pihak untuk menjaga dan meminimalisir isu-isu SARA,” demikian Syaifullah Tamliha. (akhir)