JAKARTA, Beritalima.com– Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi penghargaan bintang kehormatan Mahaputra Naraya kepada dua politikus, Fahri Hamzah dari partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia serta Fadli Zon dari partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-75 sudah tepat.
“Pemberian tanda jasa kepada kedua aktivis pejuang reformasi itu sangat layak. Pemberian tanda jasa dalam konteks kebijakan publik juga berdampak kepada pembentukan kehidupan demokrasi yang semakin matang,” kata pengamat kebijakan publik Narasi Institue, Ahmad Nur Hidayat dalam keterangannya, Selasa (11/8).
Menurut Ketua bidang Hubungan Luar Negeri Dewan Pimpinan Nasional (DPN) partai Gelora Indonesia itu, baik Fahri maupun Fadli selama ini sering melakukan kritik membangun tidak hanya kepada lembaga eksekutif tetapi juga kepada yudikatif, khususnya dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang mereka nilai bias. Dan, ketidakprofesional setiap aparatur negara baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif.
“Yang harus diketahui, keduanya sampai saat ini sejak reformasi bergulir terbukti tidak korup. Dan apabila keduanya mengkritik tidak ditujukan personal,” kata laki-laki yang akrab disapa Madnur ini.
Bahkan menurut Madnur, tidak banyak aktivis reformasi yang masih konsisten seperti Fahri dan Fadli dalam memperjuangkan nilai-nilai kejujuran, demokrasi dan kebebasan, malahan sebaliknya.
Justru saat ini banyak aktivis itu membisu. Mereka asyik menikmati ‘kue’ kekuasaan sehingga melupakan nilai yang diperjuangkan, entah itu dia sebagai Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN), birokrasi pusat maupun pimpinan daerah. “Ada juga harus singgah di Hotel Prodeo karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan korupsi,” ungkap Madnur.
Keberadaan Fahri dan Fadli di parlemen 2014-2019, lanjut Madnur, membuat parlemen menjadi hidup, sebagai lembaga representasi perwakilan rakyat yang dinamis.
Kritik Fahri maupun Fadli dalam rangka menyampaikan aspirasi publik yang seringkali dilupakan dalam permainan politik elit tinggi.
“Saat keduanya mengkritik, biasanya telinga yang dikriitk menjadi merah dan sering salah faham,” kata dia.
Padahal apabila didengar baik-baik, seluruh kritik tersebut tidak ada yang bersifat personal. Cara mengkritik tersebut, adalah cara yang modern untuk manusia Indonesia yang semakin dewasa. “Nothing to Personal, All about Responsibility. Tidak ada yang kritik personal semuanya persoalan tanggungjawab sebagai pejabat publik.”
Ditegaskan, model kritik yang disampaikan Fahri maupun Fadli bisa menjadi inspirasi buat para kritikus untuk tetap memberikan kritik sehat tanpa harus menyakiti secara personal.
“Presiden Jokowi mampu melihat kritik keduanya dengan jernih dan terang, karena itu tidak ragu memberikan keduanya bintang tanda jasa meski Presiden tidak lepas dari kritiknya juga. Sebuah model kepemimpinan yang sangat dewasa dan patut di apresiasi,” tegas Madnur.
Pemberian bintang tanda jasa kepada kritikus-kritikus pemerintah, menurut Madnur, merupakan sinyal Pemerintah membutuhkan solidaritas dari segala unsur masyarakat baik pendukung maupun para kritikus.
“Resesi yang dihadapi bangsa saat ini membutuhkan solidaritas yang merupakan unsur dasar pemulihan ekonomi nasional. Ini sesuatu yang patut diapresiasi,” demikian Ahmad Nur Hidayat.
Seperti diketahui, rencana pemberian bintang tanda kehormatan kepada politikus Fahri dan Fadli ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD melalui akun Twitter-nya, @mohmahfudmd, Senin (10/8).
Fahri dan Fadli akan mendapatkan Bintang Mahaputra Nararya. Selain Fahri dan Fadli, beberapa tokoh lainnya juga akan menerima penghargaan, yaitu Hatta Ali (MA), Farouk Mohammad (DPD), Suhardi Alius (BNPT).
Bintang Mahaputera adalah penghargaan sipil tertinggi. Penghargaan ini setingkat di bawah Bintang Republik Indonesia. Bintang ini diberikan negara melalui presiden kepada warga sipil yang dianggap telah berjasa secara luar biasa. (akhir)