SURABAYA, Beritalima.com|
Pusat Krisis Kesehatan Republik Indonesia merilis keterangan banjir di wilayah Demak pertama kali terjadi di dua kecamatan yaitu Karawangen dan Kebonagung. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), per 24 Maret 2024, tercatat ada 13.027 jiwa yang terdampak banjir di Demak.
BNPB juga mencatat bencana banjir itu berdampak pada 230 rumah ibadah, tiga pasar, 143 fasilitas pendidikan, 15 sarana kesehatan, dan masih banyak lagi kerugian lainnya.
Wahid Dianbudiyanto ST M Sc, pengamat lingkungan sekaligus dosen Teknik Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga (Unair) menyampaikan tanggapannya. Ia memaparkan bahwa banjir yang terjadi di Demak akibat dari curah hujan yang tinggi dan masalah drainase yang membuat tanggul Sungai Wulan jebol.
Kaitan Selat Muria
Banjir yang terjadi di Demak sering dikaitkan dengan Selat Muria yang dulunya memisahkan daratan utara Jawa Tengah dengan Gunung Muria. Namun, adanya perubahan signifikan membuat Selat Muria akhirnya menghilang.
Oleh karena itu, masyarakat berspekulasi banjir yang terjadi di Demak dapat menyebabkan kembalinya Selat Muria yang sempat hilang karena proses sedimentasi dan pendangkalan. Menanggapi hal tersebut, Wahid menyatakan Selat Muria mustahil untuk kembali karena beberapa faktor tertentu.
“Selat Muria dulunya memainkan peran penting dalam perdagangan dan transportasi laut. Namun, kemungkinan Selat Muria muncul lagi mustahil terjadi. Sebab, proses geologi yang masih berlangsung hingga saat ini. Seperti erosi dari lajur Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang yang membawa sedimen yang tinggi,” papar Wahid.
Upaya Penanggulangan
Menurut Wahid, terdapat beberapa cara untuk menanggulangi banjir Demak terulang di masa yang akan datang.
“Untuk mencegah banjir terus terjadi ada beberapa langkah yang perlu diperbaiki. Langkah tersebut utamanya adalah perbaikan sistem drainase, pengelolaan sampah, pertimbangan pembangunan berkelanjutan, dan upaya penghijauan,” jelas Wahid.
Hal lain yang menjadi penting menurut Wahid adalah pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, sambungnya, harus menjadi komitmen utama para pemangku kebijakan dan juga masyarakat.
“Saat lingkungan dikelola dengan baik dan memperhatikan aspek keberlanjutan maka bencana seperti banjir, tanah longsor, erosi, bahkan hingga kekeringan sangat dapat dikurangi. Pemerintah dan masyarakat harus berkolaborasi untuk mewujudkan upaya penanggulangan agar bencana seperti banjir tidak terus terjadi,” pungkas Wahid.(Yul)