JAKARTA, Beritalima.com– Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Jenderal (Pur) Moeldoko dan Jhoni Allen Marbun menyampaikan ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri dengan mengatasnamakan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat.
Kartu ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri tersebut juga menampilkan gambar Moeldoko dan Jhoni Allen dengan lambang Partai Demokrat. Kalau kartu ucapan itu benar dari mereka, tentu akal sehat sulit memahaminya.
Sebab, jelas pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga, rakyat Indonesia sudah tahu kalau hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di The Hill Hotel And Resort Sibolangit, Deli Serdang yang memilih Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat sudah ditolak Menteri Hukum dan HAM.
Apalagi, ungkap pria yang akrab disapa Jamil ini ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Sabtu (15/5) malam, Moeldoko bukanlah kader Partai Demokrat. Sebab, DPP Partai Demokrat yang sah dibawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), infonya belum pernah memberikan Kartu Tanda Anggota (KTA) kepada Moeldoko.
Jhoni Allen juga diinfokan sudah dipecat dari Partai Demokrat. Ia dengan sendirinya sudah tidak lagi menjadi kader Partai Demokrat. Karena itu, Moeldoko dan Jhoni Allen idealnya tidak berhak menggunakan lambang Partai Demokrat. Mereka berdua juga tidak berhak mengatasnamakan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat.
“Jadi, tidak ada legal formal yang membenarkan Moeldoko dan Jhoni Allen mengatasnamakan Partai Demokrat. Perilaku mereka berdua juga sudah menabrak etika politik,” ungkap pengajar Metode Penelitian Komunikasi, Riset Kehumasan, Isu dan Krisis Manajemen ini.
Suka atau tidak, lanjut Jamil, perilaku Moeldoko dan Jhoni Allen telah menjatuhkan marwah diri mereka. Publik akan semakin antipati pada mereka berdua.
Karena itu, lanjut pengamat ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebaiknya mengambil sikap tegas terhadap Moeldoko. Sebab, perilakunya terkesan sudah melecehkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM.
“Moeldoko sama saja tidak mengakui Keputusan Menteri Hukum dan HAM.
Perilaku tersebut juga dapat menurunkan marwah presiden. Tentu presiden tak rela marwahnya turun karena perbuatan orang lain,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)