JAKARTA, Beritalima.com– Komunitas relawan bernama Jokowi-Prabowo (Jok-Pro) 2024 menginginkan Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto berpasangan pada Pilpres 2024. Tujuannya untuk mencegah polarìsasi ekstrem di Indonesia Pasca Pilpres sebelumnya.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Minggu (20/6) pagi menilai, Jok-Pro 2024 itu sangat spekulatif.
Sebab, ungkap pria yang akrab disapa Jamil tersebut, polarisasi ekstrem pendukung Jokowi dan Prabowo yang dikenal dengan cebong dan kampret itu harusnya sudah teratasi dengan masuknya Prabowo ke Pemerintahan Jokowi.
Bergabungnya Sandiaga Uno ke Pemerintahan Jokowi juga seharusnya semakin melenyapkan polarisasi tersebut. Nyatanya, cebong dan kampret tetap saja ‘bertarung’ di media sosial. “Cebong dan kampret terus saja berhadap-hadapan dalam ‘konfrontasi’ yang terkesan tidak berujung,” kata Jamil.
Jadi, lanjut bapak dua putra ini masalah polarisasi anak bangsa tidak akan selesai hanya karena menyatukan Jokowi dan Prabowo sebagai pemimpin Indonesia. Sebab, mereka saat itu memilih Jokowi bisa saja karena tidak menyukai Prabowo. Mereka memilih Jokowi semata karena tak ada pilihan lain.
Sebaliknya, yang memilih Prabowo juga kemungkinannya sama. Mereka memilih Prabowo bisa saja karena memang tak menyukai Jokowi. “Karena itu, meskipun Prabowo sudah masuk kabinet Jokowi, mereka yang kerap disebut kampret tetap mengeritik Jokowi. Mereka tetap saja menunjukan ketidaksukaannya kepada Jokowi.”
Para pendukung Jokowi yang kerap disebut cebong juga sama. Mereka tetap saja mengeritik Prabowo meskipun sudah bergabung dengan Jokowi.
“Jadi, kehadiran Jok-Pro 2024 tampak bukan dimaksudkan menetralisir polarisasi ekstrim di Indonesia pasca Pilpres 2024. Hal itu hanya tameng untuk menggolkan presiden tiga periode,” jelas Jamil.
Kelompok-kelompok tertentu berupaya presiden tiga periode itu terwujud, karena mereka belum dapat capres yang bisa memberikan kenikmatan politik seperti sekarang. Mereka ini bermental saudagar yang selalu mengedepankan transaksi.
Para opportunis ini dengan segala cara akan terus berupaya menggolkan presiden tiga periode. Mereka ini sudah ‘nyaman’ menikmati konpensasi berupa ekononi atas dukungan selama ini terhadap rezim yang berkuasa.
Karena itu, kata Jamil mengingatkan, para reformis harus berhati-hati atas semua sikap dan tindakan opportunis. Jika para reformis lengah, presiden tiga periode akan jadi kenyataan. “Hak itu akan menjadi petaka demokrasi di Indonsia. Masa kegelapan akan kembali menyelimuti negeri tercinta,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)