JAKARTA, Beritalima.com– Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memilih Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di 44 Kabupaten/Kota dan 6 provinsi di Jawa-Bali, 3-20 Juli 2021. Keputusan ini diambil untuk menggantikan PPKM Mikro yang dinilai tidak efektif mengatasi lonjakan kasus Covid-19.
Padahal sebelumnya, ungkap pengamat politik Universitas Esa Unggul, Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga muncul wacana sebaiknya Jokowi memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diperketat atau Lockdown untuk menekan lonjakan kasus Corona pasca lebaran.
Pilihan Jokowi itu semakin membuktikan, Jokowi dalam penanganan Covid-19 berupaya menjaga keseimbangan sisi ekonomi dengan kesehatan. Padahal pilihan ini sudah terbukti tidak efektif.
“Kasus Covid-19 hingga saat ini dapat dikendalikan Pemerintahan Jokowi. Dan belakangan ini justeru menunjukkan grafik peningkatan yang sangat siginifikan,” kata pria yang akrab disapa Jamil ini saat bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Sabtu (3/7) petang.
Pemerintahan Jokowi, ungkap Jamil, seharusnya belajar dari PSBB yang diperketat dan pernah dilaksanakan dimana terbukti lebih dapat menekan lonjakan kasus Covid-19.
Hanya saja, lanjut bapak dua putra tersebut, kebijakan ini membawa implikasi dimana Pemerintah harus menyiapkan konpensasi kepada masyarakat agar dapat bertahan hidup selama PSBB diberlakukan.
“Hal yang sama juga berlaku bila lockdown menjadi pilihan. Bahkan implikasi konvensasinya kepada rakyat akan lebih besar daripada kebijakan PSBB diperketat,” ungkap dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (IISIP) Jakarta 1999 itu.
Bertolak dari kasus di beberapa negara di Eropa, Selandia Baru serta Korea Selatan, penerapan lockdown jauh lebih efektif dalam penanganan Covid-9. Bahkan negara teraebut sekarang sudah mendekati hidup normal seperti sebelum adanya pandemi Covid-19 dengan membebaskan warga dari masker.
Jadi, lanjut Jamil, Pemerintahan Jokowi lebih memilih PPKM Darurat tampaknya karena lebih ekonomis daripada PSBB diperketat atau lockdown karena tak perlu mengeluarkan uang banyak untuk memberi hidup rakyat selama PPKM Darurat diberlakukan. Soalnya, kebijakan ini tetap memberi ruang ekonomi berjalan,” kata Jamil.
Dengan kebijakan tersebut, kata Jamil, Pemerintah bukan berarti terbebas dari kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan makan rakyatnya. Hal itu setidaknya diberikan kepada rakyat yang terimbas dari kebijakan PPKM Darurat saja.
“Rakyat yang tidak mampu dan berpenghasilan tidak tetap di Pulau Jawa dan Bali haruslah diberi bantuan sosial. Kewajiban ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan yang diambil,” kata Jamil.
Kalau kebutuhan pangan rakyat tidak mampu dipenuhi selama PPKM Darurat, barulah pemerintah dapat menindak rakyatnya yang tidak patuh dengan aturan yang ditetapkan. Tapi kalau tidak, tidak sepantasnya pemerintah menindak rakyatnya apalagi menuntut untuk melaksanakan semua aturan PPKM Darurat.
Jadi, selama PPKM Darurat dilaksanakan hak pemerintah boleh dilaksnakan kalau kewajibannya minimal memenuhi pangan rakyatnya sudah dipenuhi.
Kalau hak rakyat sudah dipenuhi, barulah pemerintah dapat menuntut rakyatnya melaksanakan kewajiban aturan PPKM Darurat. Termasuk tentunya semua pihak melaksanakan 3 T (testing, tracing, treatment) dan protokol kesehatan.
“Hanya dengan begitu, PPKM Darurat diharapkan dapat menekan lonjakan Covid-19. Pemerintah dan rakyat melaksanakan bersama berdasarkan hak dan kewajibannya. Mungkin inilah yang dinamakan adil,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)