JAKARTA, Beritalima.com– Habiskan waktu tidak lebih dari 10 menit, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Jenderal (pur) Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD) dalam Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar di Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, 5-7 Maret 2021.
KLB tersebut, jelas pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga (Jamil) ketika bincang-bincang dengan awak media di Jakarta, Minggu (7/3), tampaknya memang dirancang hanya untuk memilih Moeldoko sebagai Ketua Umum.
Sebab, lanjut Jamil, di lokasi KLB hanya terlihat manusia menggunakan kaos Demokrat bergambar Moeldoko. “KLB ini semata ingin menggusur posisi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dengan cara kasar dan sangat tidak bermoral.
Inisiator KLB berlindung dibalik kekuasaan sehingga tanpa izin dari Polri dan Satgas Covid-19, dengan mulus dapat mengantarkan Moeldoko yang tidak memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) Demokrat menjadi Ketua Umum.
Moeldoko tanpa malu menerima pilihan peserta KLB yang asal usulnya tidak jelas. Mayoritas yang memilih Moeldoko itu tidak memiliki hak suara. “KLB di Sibolangit sungguh-sungguh mempertontonkan demokrasi palsu. Semua direkayasa hanya untuk mengantar Moeldoko sebagai ketum.”
Jadi, lanjut pengajar Isu dan Krisis Manajemen , Metode Penelitian Komunikasi
dan Riset Kehumasan itu, keterlibatan eksternal begitu terang benderang dalam KLB di Sibolangit. “Alibi pemerintah tidak dapat mencampuri urusan internal Partai Demokrat menjadi sangat tidak beralasan.
KLB ilegal ini juga menjadi catatan hitam bagi perkembangan partai politik dan demokrasi di Indonesia,” kata Jamil. Siapa saja, jelas dia, akan bisa melaksanaka KLB untuk menggusur Ketua Umum yang tidak mereka sukai.
Praktek demikian merusak tatanan demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah di Indonesia. Partai politik akan dengan mudah digoyang dengan alibi KLB, apalagi dengan dukungan kekuasaan. Praktek seperti itui hanya ada di negara otoriter, bukan negara demokrasi seperti Indonesia.
Sejak usai era pemerintahan Orde Baru, Pemerintahan Indonesia menganut sistem demokrasi sampai saat ini. Malah Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbanyak masuk sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.
Karena itu, lanjut Dekan Fikom IISIP Jakarta 1996 – 1999, Indonesia sudah menganut sistem sebagai negara demokrasi. Pegiat demokrasi sudah pasti melihat KLB ilegal ini sebagai ancaman. Para petualang politik yang bersembunyi dibalik kekuasaan harus dilawan agar KLB ilegal semacam itu tak terulang lagi.
“Presiden Jokowi sudah saatnya mendepak Moeldoko dari KSP untuk menunjukkan, Istana memang benar-benar tidak terlibat. Tanpa tindakan nyata, tentu masyarakat akan mempersepsi keterlibatan Istana dalam mengantarkan Moeldoko menjadi Ketua Umum KLB ilegal.
Selain itu, Menteri Hukum Hhak Azazi Manusia (Menkumham) juga harus taat aturan dengan melihat keabsahan KLB di Sibolangit berdasarkan UU Partai Politik dan AD/ART Partai Demokrat. “Kepentingan politik harus ditanggalkan. Hanya dengan cara itu, pemerintah benar-benar netral menilai hasil KLB ilegal tersebut,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)