JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto meminta Pemerintah mengkaji ulang keputusan sentralisasi kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Apalagi dengan adanya Dewan Pengarah, yang secara ex-officio dipimpin dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) beserta kewenangannya yang sangat besar.
Banyak kalangan ahli menyebut program sentralisasi kelembagaan Iptek kontra-produktif dengan upaya pengembangan riset nasional.
Karena terlalu banyak fungsi-fungsi organisasi yang melekat dan terpusat pada lembaga ini, sehingga diragukan operasional.
Bahkan jurnal sains terkenal Nature, dalam editorial 8 September lalu menulis kekhawatiran intevensi politik dalam BRIN, sebagai lembaga baru terpusat ini (super agency).
Nature menulis dari hasil komunikasi dengan komunitas sains, perubahan ini tidak populer di kalangan ilmuwan, bahkan dikatakan pembentukan BRIN setback terhadap pembangunan sains di Indonesia.
“Tidak diragukan, pembentukan lembaga sains yang terpusat tersebut mencerminkan reorganisasi yang ambisius, tetapi tidak jelas bagaimana BRIN dapat membantu Indonesia dengan ambisi teknologinya,” tulis Nature.
Menanggapi hal ini, Mulyanto meminta Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mau mendengar pandangan para ahli itu secara objektif.
Di tengah Pandemi Covid-19 yang belum usai, pembubaran Kemenristek, BPPT, Batan, Lapan dan LIPI serta peleburan 44 Balitbang Kementerian teknis ke dalam BRIN adalah langkah yang tidak tepat.
Semestinya kita fokus untuk menyelesaikan pandemi ini, bukan malah menambah masalah baru.
Pemerintahan Jokowi terkesan grasa-grusu dalam mengambil kebijakan pembubaran Kemenristek dan penggabungan lembaga riset yang ada.
Harusnya dilaksanakan dengan cermat dan seksama. Sebab, konsolidasi dan adaptasi tugas-fungsi kerja, Sumber Daya Manusia (SDM), peralatan, laboratorium, lahan percobaan, asset, manajemen, administrasi, apalagi budaya riset di masing-masing lembaga membutuhkan kecermatan dan waktu yang lama.
Apalagi, kata Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan itu yang terbentuk adalah lembaga super-duper terpusat dengan banyak fungsi campur aduk. Mulai dari fungsi perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi pelaksanaan kebijakan, pengawasan dan evaluasi kebijakan baik di pusat maupun daerah (fungsi-fungsi ex Kemerinstek).
Selain itu juga melaksanakan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan Iptek dari invensi sampai inovasi untuk seluruh bidang ilmu dari sains-teknologi sampai ilmu sosial-budaya-politik (fungsi-fungsi ex 4 LPNK + 44 Balitbang Kementerian).
Bukan hanya itu, ditambah 2 fungsi lagi, yakni fungsi penyelenggaraan ketenaganukliran (fungsi ex Batan) serta fungsi penyelenggaraan keantariksaan dan penerbangan (fungsi ex Lapan).
Lalu, adanya Dewan Pengarah, yang ketuanya secara ex-officio dari BPIP.
Padahal, kata wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten ini, BRIN tidak membutuhkan Dewan Pengarah dalam menjalankan tugasnya, apalagi yang bersifat ideologis dari BPIP.
“Logikanya tidak masuk. Kalau dicari-cari mungkin saja ada hubungan antara haluan ideologi Pancasila dengan riset dan inovasi, tapi hubungan itu terlalu mengada-ada dan memaksakan diri,” kata Mulyanto yang mantan Sesmen di Kemenristek era SBY.
“Saya tidak bisa membayangkan kerja dari organisasi dengan segudang fungsi tersebut, apalagi dibebani dengan tugas-tugas ideologis. Jadi saya setuju dengan apa yang ditulis Jurnal Nature, bahwa sentralisasi kelembagaan Iptek ini setback bagi pembangunan sains di Indonesia”, demikian pemegang gelar S3 Teknik Nuklir, Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang 1995 tersebut. (akhir)