SURABAYA, beritalima.com – Baru baru ini viral diberitakan mengenai pengrajin tempe dan tahu yang tidak melakukan kegiatan produksi. Diantara wilayah yang terjadi adalah Kota Surabaya dan sekitarnya. Bahkan pada 15 Februari lalu, Paguyuban pengrajin tempe dan tahu telah membuat surat perihal rapat bersama menyikapi harga kedelai. Surat tersebut seakan sebagai instruksi untuk tidak melakukan kegiatan produksi tempe dan tahu (mogok) selama 3 hari terhitung tanggal 21 sampai dengan 23 Februari 2022.
Secara tegas, alasan paguyuban pengrajin tempe dan tahu tersebut adalah sebagai keprihatinan terhadap kenaikan harga kedelai yang semakin melejit dan tak terkendali. Bahkan, harga kedelai yang semula 9.300.Per kg. Telah naik menjadi 11.500 per kg. Tentunya kenaikan tersebut memberatkan para pengrajin tempe dan tahu. Fakta tersebut pun terjadi di berbagai wilayah, diantaranya adalah Mojokerto dan Jombang. Tak ayal, hal ini menjadi perhatian publik, yang mana tempe dan tahu merupakan salah satu makanan keseharian masyarakat.
“Persoalan kenaikan harga kedelai salah satu fakta lapangan yang masih intens terjadi. Jika kita observasi, salah satu faktor utama adalah ketergantungan pada impor kedelai, terutama dari Amerika Latin, yaitu Brazil dan Argentina,” terang Lia Istifhama, Ketua Perempuan Tani HKTI Jatim.
Lebih lanjut, ning Lia, menjelaskan pentingnya sebuah solusi dari sektor hulu, yaitu sebab ketergantungan pada impor kedelai.
“Alternatif atau solusi terbaik memang mengatasi dari sektor hulu atau sebab musabab impor kedelai. Dalam artian, jika tidak terjadi ketergantungan impor, atau dengan kata lain, sumber kedelai dari negeri sendiri, maka bisa dilakukan peningkatan produksi secara lokal tanpa harus dipengaruhi faktor inflasi negara lain.”
Ditambahkan olehnya, kedelai impor dianggap lebih tepat sebagai bahan baku tempe oleh para pengrajinnya.
“Namun mungkin, hal tersebut belum maksimal dapat diwujudkan karena kedelai impor merupakan preferensi atau pilihan sebagai bahan produksi tempe. Sesuai pengalaman kami saat turun di lapangan, para pengrajin tempe menggunakan kedelai impor dengan beberapa alasan, diantaranya harga yang lebih murah dan ketersediaan di pasar melimpah.”
“Berbicara ketersediaan kedelai, bisa sebagai wacana penting. Mengapa petani banyak yang memilih padi dan enggan kedelai? Saya kira ini PR bersama agar menggarap kedelai juga menjadi profesi yang menjanjikan bagi petani agar kemandirian pasokan kedelai bisa terwujud.”
Sedangkan Akhmad Luthfy Ramadhani, salah satu pengrajin tempe asal Mojokerto, menjelaskan kekhawatiran jika harga kedelai terus melonjak naik.
“Tempe adalah makanan merakyat yang digemari semua kalangan. Harganya murah dan mengandung protein tinggi. Namun jika harga naik, maka tempe tidak bisa lagi disebut makanan sehat yang merakyat. Jika pengrajin memaksa memproduksi tempe saat bahan baku tinggi, tentu tidak diterima di pasar. Dengan begitu, bagaimana bisa tetap produksi secara lancar? Khawatirnya, akan banyak yang gulung tikar.” (red)