Lawan terus, demi kebebasan. Orang tua itu tak akan mengerti maksud dari keadilan. Raut mukanya pun tak ku suka sejak malam.
Sebagai orang tua, dia kerap dipanggil Bapak Sinaga –adalah istri dari ibu Tiolina (nyonya Sinaga). Ia ahli memukul dengan sapu lidi atau tangan kerasnya. “Kenapa kamu timpuk kakakmu itu (dengan batu),” ucapnya lalu menamparku.
“Noh kan, Bapak aja kasar sama aku,” balasku tak kalah kerasnya. Lari ke ruang tidur, napas tak beraturan, mencibir satu sama lain, adu mulut saling menjatuhkan. “Anjing,” teriakku.
Kata itu ternyata cukup kuat untuk mengundangnya berargumen lebih dekat. Hanya tembok triplek berkerangka kayu yang menghalangi kami untuk tidak beradu fisik.
Tak lama, bunyi sobekan serat kayu tipis terdengar begitu kencang akibat ulah kaki tuanya. Dia membuat ruang gaya 80-an itu dapat diintip dengan leluasa. Detak jantung tak terkendali, pria asli batak itu diam dan pergi. Ini salah satu pertengkaran hebat.
Pernah Bapak mengaku, bahwa ia tak mengerti apa mau anak laki-lakinya ini. Berbagai ajaran sudah diberikan, tapi berakhir dengan pertengkaran. Hampir semasa hidupnya, ia marah-marah. Selama itu juga, aku melawan dan memilih keluar hunian untuk bersenang-senang. “Aku ingin terbang bebas di angkasa…” begitu lirik lagu Doraemon di televisi pagi itu.
Malam yang sangat berbeda tiba. Di tahun 2012, Bapak mengajakku mendengarkan kabar minor yang pasti tak kami suka. Dengan alasan kuat, dia memaksaku untuk terus bersama demi menjaga Mamah.
Suatu penyakit syaraf tidak jelas membawa otak perempuan yang merawat kami itu terus mengecil. Sehingga Mamah akan sulit berbicara dan akan bertingkah seperti bayi di sisa hidupnya. Hal itu yang membuat tiga tahun kami terpaksa berjalan damai, meski masih kami usahakan demi Mamah.
Aku terdiam di kursi sebelah Bapak, menunggu perintahnya. Kami duduk di samping mamah yang sudah terbiasa diam. Bapak pun mulai bersandar sesekali, karena kelelahan.
Aku mencari topik sederhana demi membuat Bapak tetap senang. Tapi Mamah sudah terlanjut pulas dalam liang. Air mata yang sangat jarang ku lihat dari wajah Bapak pun berlinang. Aku menyesal, telah sempat kurang ajar.
Data Penulis
Karya: Hotlas Mora Sinaga
[Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta (PNJ)]