Perbedaan Hari Raya, Islam Rahmatan Lil Alamin

  • Whatsapp

Lia Istifhama, Wakil Sekretaris MUI Jatim

Berbeda, Hari Raya Idul Fitri kali ini ternyata tetap diwarnai keberagaman yang indah. Perbedaan antara pemerintah dan ormas terbesar yaitu NU, dengan Muhammadiyah, nyatanya bukan sebagai tembok pembatas kerukunan umat Islam. Terbukti, toleransi terlihat kuat di tengah keberagaman tersebut. Dalam hal ini, terjalin sikap saling menghormati, yaitu menghormati siapa yang memilih berlebaran pada 21 April, maupun yang masih berpuasa dengan mempertimbangkan hilal sebagai penentu 1 Syawal 1444 H.

Datangnya bulan Syawal, tentunya menjadi momentum berakhirnya bulan Ramadhan. Namun, sekalipun bulan Syawal menjadi identitas kemenangan umat Muslim setelah satu bulan penuh berpuasa, namun juga patut kita jadikan proses muhasabah, disebabkan keutamaan bulan Ramadhan.

Dalam Kitab Durratun Nasihin, diterangkan:

“Apabila tiba malam terakhir dari bulan Ramadan, maka menangislah langit, bumi dan para malaikat atas musibah yang menimpa umat Muhammad SAW. Seorang bertanya: “Ya Rasulullah, musibah apakah itu?” Jawab Rasul SAW: “Perginya bulan Ramadhan. Karena sesungguhnya doa doa di waktu itu dikabulkan sedekah-sedekah diterima, kebaikan kebaikan dilipatkan sedang azab ditahan.”

Potret kedamaian sekaligus tenggang rasa yang tinggi di tengah perbedaan tersebut, menjadi refleksi persaudaraan kaum Ansor dan Muhajirin.

Terjadi pada 12 Ramadlan tahun pertama setelah hijrah, Rasulullah Saw mempersaudarakan para sahabatnya. Kaum Muhajirin Makkah dipersaudarakan dengan kaum Anshar di Madinah. Persaudaraan ini menjadi pilar kekuatan pasukan muslim melawan kaum kafir dalam perang Khandaq.

Dalam kitab Shahih Bukhari, disebutkan hadis nomor 2704:

Dari Anas r.a, dia berkata: Rasulullah SAW berangkat ke Khandaq (parit). Ketika itu orang-orang Muhajirin dan Anshar menggali di pagi yang dingin, di antara mereka tidak ada hamba sahaya yang bekerja demikian untuk mereka. Ketika beliau melihat kelelahan dan lapar pada mereka, beliau bersabda: “Wahai Allah, sesungguhnya kehidupan itu adalah kehidupan akhirat, maka ampunilah orang-orang Anshar dan Muhajirin.” Mendengar sabda Rasulullah, mereka pun menjawab: “Kami adalah orang-orang yang berbai’at kepada Muhammad untuk berjihad selama kita masih (hidup) selama-lamanya.”

Potret persaudaraan tersebut juga terlihat dalam nuansa Ramadhan dan Lebaran kali ini, yaitu tingginya sikap saling menghormati antara NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Pentingnya membangun persaudaraan merupakan semangat penguatan ukhuwah Islamiyyah dan juga bagian dari penerapan hablum minannas, yaitu kewajiban umat manusia menjaga hubungan horizontal antar sesamanya, selain hablum minallah atau hubungan vertikal dengan Sang Khalik.

Kuatnya Islam dalam membentuk persaudaraan sesama manusia, merupakan bukti nyata bahwa Islam memang agama dengan spirit Rahmatan lil ‘Alamin, yaitu rahmat atau kasih sayang bagi seluruh semesta alam. Dalam Surat al-Anbiya’ ayat 107 dijelaskan: ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin)”.

Memahami Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, dapat dipahami bahwa dalam berbagai aspek, Islam merupakan penguat sisi humanisme melalui ajaran untuk saling bertoleransi.

Dan dalam sebuah hadis, diterangkan keutamaan menjaga toleransi :

رَأْسُ الْعَقْلِ الْمُدَارَةُ وَأَهْلُ الْمَعْرُوْفِ فِي الدُنْيَا أَهْلُ الْمَعْرُوْفِ الْأَخِرَةِ (رواه البيهقي عن ابي هريرة)

“Pokok akal adalah toleransi, dan ahli kebaikan di dunia adalah ahli kebaikan di akhirat.” (HR. Baihaqi dari Abu Hurairah, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 4368).

Subhanallah, dari penggalan ayat suci, hadis, serta kisah di atas, maka tak dapat dibantahkan lagi bahwa Islam sangat mengutamakan toleransi. Direlevansikan dengan realita saat ini, bahwa ajakan Islam agar umat tetap istiqomah menebarkan kebaikan dan toleransi, telah terwujud di tengah masyarakat yang menyikapi perbedaan Hari Raya Idul Fitri dengan begitu indah. Bahkan, kuatnya sikap toleransi dan tenggang rasa tersebut, menjadi teladan bagi semua pihak bahwa Islam-lah yang hadir untuk menjadikan perbedaan sebagai alasan kuat lahirnya tepo seliro menerima sudut pandang orang lain.

Akhir kata, marilah kita menjemput kedatangan bulan Syawal dengan ucapan:
Taqabbalallahu Minna wa Minkum, Taqabbal Yaa Kariim.. Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait