Perceraian Dan Peran Hakim

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

Yati (bukan nama sebenarnya), si perempuan muda itu mungkin tidak membayangkan jika suatu saat harus duduk menghadapi 3 orang bertoga di Pengadilan Agama. Pernikahan yang telah membuahkan 3 orang anak itu, sekilas tentu boleh dibilang menjadi indikator kebahagiaan berumah tangga. Tetapi ternyata usia pernikahan yang sudah berlangsung hampir satu dasa warsa itu, harus mengalami ‘gangguan’. Dalam bahasa penceramah acara resepsi perkawinan, gangguan itu sering didramatisasi sebagai “badai rumah tangga”. Mat Rawi (bukan nama sebenarnya) suaminya yang diidamkan sebagai arjunanya sekaligus sebagai imamnya, meskipun sudah beranak tiga, ternyata perangainya sulit berubah. Watak temperamen dan sok jago itu, seiring dengan perjalanan waktu dirasakan tidak sedap lagi. Watak ini, bagi Yati, justru menjadi kebanggannya. Dia bangga karena Mat Rawi pacarnya maco.

Lain dulu lain sekarang, kini watak itu nyaris tidak dipergunakan lagi. Bahkan, modal ‘keistimewaan’ wataknya itu belakangan justru menjadi modal utama untuk bersikap kasar terhadap istrinya. Mulut yang dulu sering digunakan merayu Yati saat awal-awal perkenalan, kini sering mengeluarkan kata-kata kasar. Tidak jarang berbagai binatang yang terstigma negatif ketika diucapkan saat marah, sering terlontar dari mulut Mat Rawi saat memarahinya. Anggota tubuh tertentu juga sering terucap guna melengkapi lampiasan amarah. Tangan yang dulu digunakan membelai saat pacaran dan mestinya sebagai sarana mencari nafkah saat berumah tangga, belakangan malah sering berubah fungsi. Menurut pengakuannya di sidang Yati sering merasakan perubahan fungsi tangan suaminya itu dengan sering menerima tamparan atau kekerasan lain dari Mat Rawi suaminya.

Bagi banyak orang bertahan sampai beranak tiga boleh dibilang kebodohan. Akan tetapi bagi Yati tentu tidak demikian. Memori rasa cinta dan keberadaan ketiga anak membuatnya kuat bertahan dengan harapan Mat Rawi pria idamannya itu, suatu saat bisa berubah. Tetapi dasar suami keras kepala. Kesempatan panjang yang diberikan istrinya tidak membuat Mat Rawi segera sadar. Justru, tingkahnya dari hari ke hari semakin merajalela. Kepongahannya pada akhirnya membuat kesabaran Yati harus berakhir. Upaya menyudahi penderitaan fisik dan batin dengan mendaftar cerai ke Pengadilan Agama adalah satu-satunya jalan yang ‘wajib’ ditempuh. Balada pilu kisah cintanya dengan Mat Rawi harus diakhiri. Romantika saat-saat mengawali pertemuan dengan Mat Rawi dan nasib sebagai single parent dengan berbagai tantangannya untuk semnetara ia lupakan. Dalam benaknya hanya ada 3 kata yang terangkum menjadi 1kalimat pamungkas: “pokoknya harus cerai”.

Keputusan bulat yang telah direnungkan sejak lama itulah yang memuat mediator tidak bisa berbuat banyak. Saat petugas pelaksana Perma Nomor 1 Tahun 2016 ini mencoba memberikan pandangan– mengenai seluk-beluk akibat buruk perceraian– ibu tiga anak itu selalu saja diam. Tetapi saat mediator menanyakan kemungkinannya mau rukun lagi, dia selalu menjawab sama: pokoknya harus cerai.

Lain Yati lain pula Mat Rawi suaminya. Saat mendengar kalimat demi kalimat bijak sang mediator, hatinya tampaknya mulai terbuka kesadarannya. Secercah hidayah tampaknya dengan lancar mengalir ke relung hatinya. Terutama saat diberi pandangan menegenai nasib 3 orang anaknya ke depan. Mungkin terbayang olehnya, bagaimana harga dirinya, jika 3 anaknya yang masih kecil-kecil itu suatu saat , akibat ibunya menikah lagi, harus diasuh laki-laki lain. Atau, juga mungkin dia hanya sekedar iba atau mungkin karena benih kasih sayang yang dulu membuatnya nekat mengawini Yati, tiba-tiba muncul lagi. Sejumlah dugaan dapat kita kemukakan. Akan tetapi yang jelas, melihat sikap paten istrinya itu tampaknya Mat Rawi luluh juga. Mat Rawi tampaknya sangat menyesali sikap dan perilakuknya selama ini. Tetapi, sayang, penyesalan memang selalu datang kemudian.

Sikap keras kepala istrinya yang sedikit pun tidak mau bergeming, membuat Mat Rawi harus rajin hadir memenuhi jadwal-jadwal sidang yang sengaja ‘diperlambat’ oleh Hakim. Keinginannya ingin memikit hati istri yang sedang murka, membuatnya tampil dengan uniform laksana laki-laki saleh: dengan baju rapi, bersongkok dan berkata lembut menjawab setiap pertanyaan hakim. Kesungguhannya untuk memperbaki diri yang ditunjukkan dalam setiap persidangan, telah menyita perhatian Hakim.

Demi nasib ketiga anak yang masih kecil-kecil, hakim tampaknya harus berfikir ekstra agar pasangan muda ini tidak jadi cerai. Prinsip “mempersulit terjadinya perceraian” Hakim harus memberikan waktu cukup demi biduk rumah tangga Mat Rawi dan Yati yang hampir karam ini. Tampak ada secercah harapan menyelamatkan ikatan perkawinan Mat Rawi dan Yati. Melihat potensi demikian, Hakim memberikan waktu yang cukup agar upaya merikunkan Mat Rawi dan Yati bisa maksimal, meskipun sudah lolos dari mediator.

Upaya Hakim tampaknya tidak sia-sia. Kesungguhan memperbaiki diri yang ditunjukkan Mat Rawi dengan dukungan waktu dan nasihat Hakim dalam setiap persidangan, membuat hati Yati luluh juga. Dan, yang demikian terjadi pada saat-saat sidang memasuki tahap akhir. Biduk rumah tangga Mat Rawi dan Yati pun yang hampir karam di tengah lautan itu, kini bisa selamat. Setidaknya dapat menepi menyaksikan pantai dengan penuh harapan. Harapan hidup bahagia sepanjang hayat seperti yang diidam-idamkan saat akad nikah diucapkan.

Akan tetapi, saat ini pelaksanaan sidang dengan durasi panjang bukan tanpa risiko. Cepat atau tidaknya penyelesaian perkara sangat terkait dengan tinggi rendahnya nilai rapor sebuah institusi pengadilan. Semakin cepat penyelesaian perkara akan semakin ikut punya andil menaikkan rapor. Dan, sebaliknya. Dengan situasi demikian, Hakim pun tampaknya dihadapkan kepada 2 pilihan dilematis, yaitu bersikap pragmatis atau ideal. Sikap pragmatis, demi capaian tingginya nilai rapor, mengharuskan setiap hakim berfikir keras, bagaimana bisa menyelesaikan perkara secepat mungkin. Setidak-tidaknya, bisa tidak lebih dari sebulan. Tidak menjadi soal apakah angka perceraian lebih cepat pula meningkat atau tidak.

Sedangkan, apabila bersikap ideal risikonya juga bisa dibayangkan. Bayangan negatif ini sering secara nyata berubah menjadi sebuah cerita horor bagi masa depan hakim atau karir para pimpinan setempat. Padahal,dalam kasus di atas, Mat Rawi dan Yati pada khirnya bisa rukun lagi akibat Hakim dengan telaten memberikan ‘tambahan-tambahan tahapan’ sehingga para pihak mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan refleksi diri. Dan, ternyata durasi panjang penyelesaikan perkara di satu sisi memang dapat mengorbankan aspek-aspek pragmatis tetapi di sisi lain dapat mencapai aspek ideal. Aspek ideal ini yang penting adalah hakim dapat menegakkan salah satu perinsip perkawinan, yaitu “mempersulit terjadinya perceraian”. Kalau yang demikian, menjadi budaya sidang-sidang perceraian, maka angka statistik perceraian kemungkinan juga tidak cepat meroket. Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait