beritalima.com | Ramadlan menjadi bulan yang paling mulia, yang paling dirindukan kedatangannya oleh para pecintanya. Segala amal baik yang berlipatganda, segala dosa yang akan terhapuskan di bulan yang suci Ramadhan. Begitu mulianya bulan Ramadlan menjadikan harapan bagi setiap kaum muslim agar selalu dpertemukan dengan Ramadlan di setiap tahun.
Berjumlah 29 sampai 30 hari, menjadikan Bulan Ramadlan umumnya dibagi 3 kali, yaitu 10 hari pertama, 10 hari kedua, dan 10 hari ketiga.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dimana ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bersabda: “Awal bulan Ramadan adalah Rahmat, pertengahannya Maghfirah, dan akhirnya ‘Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka).”
Meskipun hadis tersebut tergolong dlaif (lemah), namun tidak ada salahnya untuk mengambil hikmah dari setiap 10 hari bulan Ramadlan. Termasuk ketika kita meyakini bahwa 10 hari ibadah Ramadlan yang sudah kita jalankan, adalah salah satu upaya kita mengharapkan Rahmat Allah SWT.
Dikaitkan peristiwa sejarah, maka begitu banyak peristiwa sejarah yang terjadi saat 10 hari pertama Ramadlan yang kemudian memberikan hikmah dan rahmat (karunia) bagi kehidupan. Diantaranya, Perang Badar pada 2 Ramadlan hingga Peristiwa Kemerdekaan Indonesia pada 9 Ramadlan.
1 Ramadlan, Mengingat Keutamaan Shalat Istisqa’
Sejarah menunjukkan, ada banyak peristiwa penting yang terjadi pada tanggal 1 Ramadlan, salah satunya adalah Shalat Istisqa’ yang dilakukan Rasulullah SAW saat kota Madinah mengalami kekeringan. Tepat pada 1 Ramadlan 6 Hijriyah, Rasulullah SAW melakukan shalat sunnat dua rakaat tersebut bersama para sahabat.
Dalam hadis yang dikutip dalam shahih Bukhari, yaitu hadis 982, dijelaskan:
عَنْ عَبَّادِبْنِ تَمِيْمِ عَنْ عَمِّهِ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّي الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَسْقَي فَصَلَّي رَكْعَتَيْنِ وَقَلَبَ رِدَاَهُ
“Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwasanya nabi mengerjakan shalat Istisqa’, lalu shalat dua raka’at dan membalikkan selendangnya”.
Diperjelas oleh hadis nomer 980, bahwa Rasulullah Saw melangsungkan shalat Istisqa’ dengan mengeraskan bacaannya. Sedangkan dalam hadis nomer 979, sejarah Rasulullah Saw telah menunjukkan bahwa hujan turun sesudah beliau dan para sahabat melaksanakan shalat Istisqa’.
2 Ramadlan, Meneladani Perjuangan Perang Badar
Pada hari Jum’at 2 Ramadlan 2 Hijriah terjadi perang pertama dalam Islam, yaitu perang Badar. Badar adalah nama tempat di sebuah lembah yang terletak di antara Madinah dan Mekkah. Sejarah menjelaskan bahwa perang ini melibatkan tentara Islam sebanyak 313 berhadapan dengan 1.000 tentara musyrikin yang lengkap bersenjata. Dalam perang ini, tentara Islam memenangkan pertempuran dengan 70 tentara musyrikin terbunuh, 70 lagi ditawan. Sisanya melarikan diri.
Perang ini menunjukkan bahwa tentara Islam yang saat itu kalah dalam hal jumlah dan senjata bahkan sedang menunaikan puasa, ternyata mencapai kemenangan (falah). Hal ini menunjukkan bahwa ikhtiar tidak mengkhianati hasil. Apapun yang bersifat kun fayakun, atas kehendak Allah SWT, maka kemenangan pun bisa dicapai. Dalam Al-Qur’an dijelaskan, bahwa orang yang berjuang demi mencapai keridhaan Allah pasti mencapai kemenangan yang dijanjikan. Allah menegaskan dalam surat Ali ‘Imran ayat 123 sampai 127.
Kisah perang Badar juga terdapat dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, yaitu hadis nomor 3757 sampai dengan 3840. Diantara hadis tersebut, pada nomor 3795 dijelaskan tentang keikutsertaan malaikat pada perang Badar:
عَنْ رِفَاعَةَ قَالَ وَكَانَ اَبُوْهُ مِنْ اَهْلِ بَدْرٍ: جَاءَجِبْرِيْلُ اِلَى النَّبِيِّ صلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : مَا تَعُدُّوْنَ اَهْلَ بَدْرٍفِيْكُمْ ؟ قَلَ مِنْ اَفْضَلِ الْمُسْلِمِيْنَ اوْكَلِمَةً نَحْوَهَا, قَلَ وَكَذَلِكَ مَنْ شَهِدَبَدْرًامِنْ اْلمَلَا ئِكَةِ
Dari Rif’ah ia berkata: “Jibril datang kepada Nabi SAW. lalu bertanya: “Apakah penilaianmu terhadap orang-orang yang ikut serta pada perang Badar?”. Beliau menjawab: “Mereka termasuk orang-orang islam yang paling utama”. Atau semacam kalimat itu. Beliau bersabda: “Demikian juga malaikat yang ikut serta pada perang Badar”.
3 Ramadlan 1441 H, Tentang Kepergian Sayyidah Fatimah yang Mengharukan
Dari Miswar bin Makhramah r.a, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Fathimah adalah segumpal dagingku, maka barangsiapa menjadikannya marah, maka dia menjadikan aku marah”. (HR. Imam Bukhari, hadis nomor 3578). Berikut hadis 3578:
عَنْ الْمِسْوَرِابْنِمخْرَمَةَرَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَا طِمَةُ بَضْعَةُ مِنَّى, فَمَنْ اَغْضَبَهَااغْضَبَنِى
Menginjak tanggal 3 Ramadlan, kita diingatkan tentang sejarah kisah Rasulullah, yaitu kepergian Sayyidah Fatimah as. pada Selasa, 3 Ramadlan 11 H. Wafat di usia muda, yaitu 28 tahun, Fatimah menyisakan kisah haru.
Putri tercinta Rasulullah SAW pergi meninggalkan 4 putra putri yang masih kecil. Hasan masih berusia 7 tahun, Husain 6 tahun, Zainab 5 tahun, dan Ummi Kultsum masih berusia 3 tahun. Wafatnya Fatimah secara mendadak dan hanya berselang 6 bulan setelah Rasulullah wafat. Putri Rasulullah dari Sayyidah Khadijah tersebut adalah yang mendampingi Rasulullah jelang ajal. Bahkan Fatimah mendapat bisikan dari Rasulullah Saw: “Akan tiba kita di suatu masa, kita akan bersua di sana”.
4 Ramadlan, Meninggalnya Ziyad, Salah Satu Sosok yang Mengkhianati Khalifah Ali
Dalam sebuah kepemimpinan, munculnya pengkhianat adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Bahkan hal ini telah terjadi sejak jaman sahabat Rasulullah Saw, diantaranya masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Pengkhianatan kadang kala terlihat setelah kepemimpinan berakhir. Sejarah menjelaskan bahwa setelah cukup lama kepemimpinan khalifah Ali berakhir, sisa-sisa kekuatan Ali semakin dihilangkan oleh Dinasti Muawiyah. Bahkan, salah satu pendukung khalifah Ali ketika masih menjadi pemimpin, yaitu Ziyad bin Abihi, menjadi pengkhianat dan berbelok mendukung Dinasti Muawiyah.
Konon, Ziyad melakukan banyak tindakan keji, seperti membunuh, merampas dan menghancurkan harta benda, bahkan menyiksa dengan keji para pengikut amirul mukminin Ali bin Abi Thalib a.s tersebut. Dikabarkan Ziyad telah membunuh tiga belas ribu orang yang dianggapnya pengikut Ali.
Pengkhianat keji tersebut akhirnya meninggal dunia pada 4 Ramadlan 53 H di Kufah. Kisah pengkhianatan yang dilakukan Ziyad menjadi pembelajaran dan hikmah sangat penting bagi setiap kepemimpinan saat ini. Dan khalifah Ali sendiri, juga harus diteladani sebagai pemimpin muslim yang mulia. Dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari nomor 3518 dan 3519 tentang keutamaan Ali, bahkan Rasulullah Saw menyampaikan: “Engkau (Ali) adalah bagian dariku dan aku bagian darimu.”
5 Ramadlan 1367 H, Mengingat Keprihatinan Palestina
“Perhatikanlah enam tanda-tanda hari kiamat: (1) wafatku, (2) penaklukan Baitul Maqdis, (3) wabah kematian (penyakit yang menyerang hewan sehingga mati mendadak) yang menyerang kalian bagaikan wabah penyakit qu’ash yang menyerang kambing, (4) melimpahnya harta hingga seseorang yang diberikan kepadanya 100 dinar, ia tidak rela menerimanya, (5) timbulnya fitnah yang tidak meninggalkan satu rumah orang Arab pun melainkan pasti memasukinya, dan (6) terjadinya perdamaian antara kalian dengan bani Asfar (bangsa Romawi), namun mereka melanggarnya dan mendatangi kalian dengan 80 kelompok besar pasukan. Setiap kelompok itu terdiri dari 12 ribu orang.” [HR. Al-Bukhari (no. 3176), dari Sahabat ‘Auf bin Malik r.a.
Salah satu tanda di atas, yaitu penaklukan baitul maqdis, adalah berkaitan dengan Palestina. Kisah prihatin di negeri tersebut bahkan diabadikan dalam sebuah lagu, “Gaza we will not go down” oleh Michael Heart.
Tepat pada 5 Ramadlan 1367 H, terjadi pembantaian di kota Al Lydd Palestina. Saat itu, 11 Juli 1948, komando unit Israel yang dipimpin oleh Moshe Dayan menyerang kota Al Lydd Palestina pada sore hari. Ratusan warga sipil Palestina yang baru saja berbuka puasa tewas dibunuh tentara penjajah.
Kisah perjuangan dan keprihatinan seperti itu seyogyanya kita ingat untuk menjadikan kita sebagai sosok humanis, saling menjaga keamanan dan kedamaian karena bagaimanapun, duka orang muslim, juga duka kita. Setiap muslim adalah bersaudara (ukhuwwah islamiyah).
6 Ramadlan 201 H, Sejarah Kemajuan Dinar
Tepat pada 6 Ramadhan 201 H atau 1240 tahun yang lalu, mata uang dinar dari emas dicetak dengan nama Imam Ridha pada dinasti Abbasiyah, seorang pemimpin yang dikenal dermawan. Adapun Dinasti Abbasiyah adalah sebuah pemerintahan Islam di wilayah Kufah yang dikenang sebagai pusat ilmu pengetahuan. Konon, keilmuan yang terlahir selama Abbasiyah berdiri, tidak bisa ditandingi oleh wilayah manapun di dunia bahkan sepanjang masa. Hal ini karena dari Abbasiyah, keilmuan kuno dari Yunani dan Persia bisa diterjemahkan untuk kemudian berkembang berbagai macam keilmuan yang berikutnya diadopsi oleh banyak ilmuwan.
Sejarah peradaban Islam tersebut menunjukkan fakta bahwa kemajuan ekonomi lebih awal ditunjukkan oleh pemerintahan Islam. Semasa Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin, telah dicetak uang dirham (perak) dan dinar (emas) sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan strategi cetak uang ketika terjadi kelangkaan emas pun, telah menempuh solusi jitu, yaitu mencetak uang dari bahan kulit binatang pada masa Umar bin Khattab
7 Ramadlan, Mengenang 74 tahun Wafatnya KH Hasyim Asy’ari
Pada 7 Ramadhan 1366 Hiriyah (21 Juli 1947 Masehi), wafat sang Hadhratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang sekaligus memiliki gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui fatwa jihad atau resolusi jihad melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945.
Resolusi jihad ini telah dimuat lengkap pada koran Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Oktober 1945, hal yang sama juga ada di Koran Suara Masyarakat. Fatwa jihad inilah yang merupakan cikal bakal meledaknya perang besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang sebelumnya telah terjadi perang selama 4 hari yaitu dari tanggal 26 hingga 29 Oktober 1945.
Fatwa Jihad menjadi sangat mempengaruhi semangat berperang dari para santri Nahdliyin saat itu karena dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau bukan hanya sebatas penggerak jihad para pahlawan saat itu, melainkan juga memiliki kapasitas komunikasi yang luar biasa. Sang pendiri Nahdlatul Ulama tersebut, secara tidak langsung telah menjadi tonggak sejarah kuatnya semangat hubbul wathon minal iman, bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
Dalam sebuah kaidah Islam, dijelaskan terkait hubbul wathon, yaitu oleh Al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta’rifat, yang mendefinisikan tanah air dengan al-wathan al-ashli.
اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ
“al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.”
8 Ramadlan 1325 H, Kongres Boedi Oetomo, Refleksi Keutamaan Ilmu
Mengulas sejarah kemerdekaan Indonesia, salah satu wujud perjuangan saat itu adalah lahirnya beragam organisasi, baik yang berpondasi pada agama, maupun pendidikan. Boedi Oetomo menjadi salah satu diantaranya. Berdiri pada 20 Mei 1908, organisasi ini didirikan oleh para pengajar STOVIA, sekolah dokter pribumi, di Batavia (Jakarta). Organisasi ini kemudian menyelenggarakan kongres untuk pertama kali di Yogyakarta, Oktober 1908. Waktu pelaksanaan tersebut adalah bertepatan dengan bulan Ramadlan 1325 H, yaitu tanggal 7, 8, dan 9 Ramadlan dengan dihadiri para guru dan priyayi sejumlah 300 orang.
Keberadaan organisasi yang menjadi leading penguatan pendidikan pada bangsa Indonesia, merupakan satu irama dengan nafas Islam yang sangat mengagungkan keilmuan (pendidikan), bahkan wahyu pertama kali yang diturunkan pada Rasulullah SAW adalah surat Al-Alaq yang menandakan pentingnya “membaca”.
Bagi umat Islam, telah dijelaskan keutamaan mencari ilmu dalam sumber hukum Islam, diantaranya Al-Qur’an dan Hadis, seperti diriwiyatkan oleh Imam Bukhari:
عَنْ ابْنِ اَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ مِنْ اَسْرَاطِ السَّاعَةِ ايُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَسْبُتُ الْجَهْلُوْ وَيُسْرَبُ الْخَمْرُ وَيَظْهَرُازِّنَا
Dari Anas r.a, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari tanda-tanda kiamat adalah dihilangkannya ilmu, ditetapkannya kebodohan, diminumnya khamer, dan nampaknya perzinaan”. (Shahih Bukhari, hadis nomor 80).
9 Ramadlan 1334 H, Peristiwa Besar Kemerdekaan Indonesia
Tanggal 9 Ramadan 1334 H merupakan momentum penting dalam sejarah Indonesia, yaitu bertepatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hari bersejarah itu merupakan titik awal mengapa akhirnya kita saat ini bisa hidup tanpa penindasan penjajah yang sebelumnya telah mengekang kebebasan selama 350 tahun.
Perjuangan rakyat Indonesia saat itu, menjadi hal yang harus selalu dikenang oleh generasi setelahnya yang menghirup kemerdekaan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa semangat perjuangan banyak dipimpin oleh pahlawan muslim, seperti Cut Nyak Dien, Sultan Hasanuddin, Imam Bonjol, bahkan para kiai nahdliyin saat itu. Semangat perjuangan ini, oleh Islam dapat dikaitkan dengan jihad berlandaskan hubbul wathan minal iman.
Dalam Shahih Bukhari, hadis nomor 36, dijelaskan tentang spirit jihad:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْتَدَبَ اللهُ لِمَنْ خَرَجَ فِيْ سَبِيْلِهِ لاَ يَخْرِجُهُ اِلاَّ اِيْمَانٌ بِيْ وَتَصْدِيْقٌ بِرَسُلِيْ اَنْ اُرْجِعَهُ بِمَا نَالَ مِنْ اَجْرٍ اَوْ غَنِيْمَةٍ اَوْ اُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَلَوْ لاَ اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِيْ مَاقَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ وَلَوَدِدْتُ اَنِّيْ اُقْتَلُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ اُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ اُقْتَلُ
“Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia menggunakan orang yang keluar di jalan-Nya hanya karena iman kepada-Ku dan membenarkan para Rasul Ku, maka aku memulangkannya dengan pahala atau rampasan perang atau surga yang diperolehnya. Seandainya bukan karena menyulitkan atas umat saya, niscaya tidak duduk-duduk di belakang detasemen tentara dan sungguh saya suka untuk terbunuh di jalan Allah kemudian saya dihidupkan, kemudian dibunuh dan dihidupkan kemudian dibunuh.”
10 Ramadlan, Wafatnya Sayyidah Khadijah
Kepergian Siti Khadijah menjadi peristiwa yang sangat memukul Rasulullah SAW mengingat beliau adalah sosok perempuan yang sangat istimewa dalam menjaga kesetiaan sebagai istri. Siti Khadijah jugalah yang merupakan saksi keadaan Rasulullah SAW sesaat setelah menerima wahyu dari Allah SWT melalui malaikat Jibril di Gua Hira’.
Walaupun kehidupan Rasulullah SAW tak pernah lepas dari kesulitan dan cobaan, Sayyidah Khadijah tidak pernah meninggalkan Rasulullah SAW. Ia selalu mendampingi dan menemani Rasulullah SAW dalam segala kondisi. Tak hanya itu, begitupun juga sebaliknya, kesetiaan dan keromantisan Rasulullah terhadap Khadijah selalu menjadi sorotan umat muslim selama beliau hidup berdampingan. Terlebih, perbedaan usia dan materi antara Rasulullah dan Khadijah bukanlah menjadi halangan bagi keduanya untuk menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia serta penuh dengan rahmat Allah SWT.
Subhanallah, maha suci Allah SWT telah menghadirkan cinta dan kasih dalam bingkai pernikahan, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadis:
اِنَّ لِلزَّوْجِ مِنَ الْمَرْأَةِ لَشُعْبَةَ مَا هِيَ لِشَيْئٍ (رواه ابن ماجه)
“Sesungguhnya bagi suami ada cinta kasih dari sang istri (yang sangat besar) yang tidak bagi sesuatu (yang lain).” (HR. Ibnu Majah, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 2380).
Kisah penuh ketulusan cinta antara Rasulullah SAW dengan Siti Khadijah kemudian terhenti tatkala ibu dari Sayyidah Fatimah tersebut wafat pada 11 Ramadan (sebelum Hijriyah, yaitu tahun ke 10 setelah kenabian). Peristiwa ini menjadi penentu duka cita Rasulullah SAW karena dalam satu tahun, bukan hanya Khadijah yang wafat, paman yang juga sangat dicintai Rasulullah, Abi Thalib, juga wafat. Kepergian keduanya menjadi penanda tahun duka cita, Amul Huzni.
Keutamaan sosok Khadijah bahkan dijelaskan sebagai wanita paling baik pada masanya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Shahih Bukhari hadis nomor 3626:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: حسبُك مِن نساء العالَمين أربعٌ: مريم بنت عمران، وآسية امرأة فرعون، وخديجة بنت خويلد، وفاطمة بنت محم
Rasulullah SAW bersabda: ”Sebaik-baik wanita di alam semesta ada empat orang. Mereka adalah Maryam binti Imran, Asiyah binti Muzahim istri Firaun, Khadijah, dan Fatimah. (HR Ahmad).
Akhir kata, meneladani secara sempurna peristiwa yang terjadi selama bulan Ramadlan merupakan ikhtiar kita untuk menjadi pribadi lebih baik melalui segala hikmah kehidupan.
Penulis
Dr. Lia Istifhama, M.E.I
Wakil sekretaris MUI Jatim