beritalima.com | Semua umat muslim di dunia menantikan bulan Ramadan. Banyak hal berbeda dengan bulan biasanya, yakni dengan adanya takjil, buka puasa bersama orang-orang terdekat, bisa silaturahmi secara langsung dengan orang-orang yang jarang sekali bertemu, salat tarawih berjemaah, makan bersama keluarga saat sahur dan berbuka puasa, dan lain-lain. Oleh sebab itu, bulan Ramadan sangat ditunggu oleh masyarakat.
Aku dan keluargaku juga termasuk orang-orang yang menantikan bulan Ramadan, tapi selama hampir 4 tahun kami tidak merayakan Ramadan bersama ibu karena ibuku telah meninggal dunia. Sebagian orang pasti juga mengalami hal yang sama denganku, hanya tinggal bersama ayah, tanpa ibu.
Bagi sebagian orang yang belum pernah merasakan hal ini, pasti akan mengatakan tinggal bersama seorang ayah cukup sulit, bukan? Sebelumnya, aku juga berpikir begitu tapi ayahku adalah ayah yang hebat. Ayah sangat bertanggung jawab dengan keluarganya, bahkan ayahku tidak memikirkan untuk mempunyai istri baru. Ayah sangat menyayangi kami.
Ayah juga berperan sebagai seorang ibu, apalagi saat Ramadan atau saat aku ingin berpuasa pada bulan selain Ramadan. Ayah yang seharusnya hanya mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari, kini juga merangkap menjadi juru masak dan juru cuci serta mengurus kebutuhan ketiga anaknya.
Ayah memasak dan menyiapkan makanan untuk sahur. Ayah tidak pernah membangunkanku ataupun adikku untuk meminta bantuan. Mungkin, ayah iba melihat kami yang selalu mengerjakan tugas hingga larut malam dan terlihat letih karena waktu tidur kami kurang. Sebenarnya, ayah sangat tidak mahir dalam hal memasak ataupun membuat minuman. Selalu kemanisan atau keasinan bahkan tidak ada rasa, tapi kami memaklumi hal itu. Walaupun kadang kami suka mengomentari makanan dan minuman yang dibuat ayah. Ayahku juga seperti seorang Ibu yang suka menghabiskan sisa makanan anaknya atau sisa lauk di meja makan. Padahal saat masih ada ibu, ayahku sangat jarang seperti itu. Ayah juga mencuci piring kotor setelah kami makan.
Selain memasak dan menyiapkan makanan, ayah juga yang membangunkan kami untuk sahur, untuk bersiap-siap ke sekolah dan ke kampus, menyiapkan peralatan untuk adikku sekolah, menyetrika pakaian sekolah adikku jika belum disetrika, mengantar adikku sekolah di kawasan Jakarta Timur dan mengantar aku ke stasiun di kawasan Jakarta Selatan.
Setelah ayah selesai mengurus berbagai hal di rumah dan mengantar kami, ayah langsung berangkat kerja dan pulang menjelang berbuka puasa. Ayahku bekerja sebagai buruh harian lepas, ayah akan bekerja apabila ada seseorang yang memintanya untuk memperbaiki atau mengerjakan sesuatu. Pada Ramadan kali ini pun ayahku masih tetap bekerja setiap hari, tidak ada hari libur dan tidak kenal lelah. Walaupun tenaganya tidak sekuat tahun-tahun sebelumnya, ayah tetap giat bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi saat Ramadan ini, harga kebutuhan sehari-hari meningkat, belum termasuk untuk keperluan hari raya dan untuk mudik nanti. Keluargaku selalu berusaha agar bisa mudik saat lebaran untuk berziarah ke makam ibu karena kami hanya bisa berziarah satu tahun sekali. Pengeluaran kami pun meningkat, sedangkan pemasukan tidak bertambah.
Ayah selalu pulang ke rumah menjelang berbuka, tapi ayah tetap menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Walaupun menu berbuka puasa sangat sederhana, kami tetap menikmati makanan itu karena kami lebih menikmati saat berkumpul untuk makan bersama.
Ayah tidak pernah mengeluh sedikit pun pada kami, tidak pernah mengatakan kalau lelah, ayah selalu menyembunyikan apa yang dirasakan, dan selalu bersikap seolah ayah baik-baik saja. Kami yakin kalau ayah menyimpan segudang perasaan yang tak bisa diungkapkan. Perjuangan seorang ayah untuk kami terasa lebih banyak saat Ramadan.
Ayah satu-satunya orang tuaku saat ini, aku bangga pada ayah dan seluruh ayah di dunia. Hampir semua ayah pasti merasakan hal-hal yang tak bisa diungkapkan. Aku yakin semua ayah pasti sedang berjuang untuk diri sendiri ataupun keluarga.
Penulis :
Sri Mela Yuantiva, mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta (PNJ)