Lia Istifhama
Akhirnya, perjuangan sebuah Pondok Pesantren mempertahankan asset bangunannya yang dianggap telah dijual pada seorang pria non muslim (AHB), bergulir di Mahkamah Agung RI. Kasasi, ternyata menjadi tujuan AHB yang mengaku telah membeli bangunan PP Raudlatul Banin wal Banat, tatkala dirinya kalah di Pengadilan Tinggi setelah sebelumnya menang di Pengadilan Negeri.
Rumit, kasus perdata tersebut memang melalui proses panjang setelah sebelumnya, proses sidang pertama PN Surabaya telah berlangsung pada 25 Juli 2022.
Bangunan Pondok Pesantren dikatakan telah dijual? Bagaimana faktanya? Cek disini 7 faktanya
1. Bangunan masih aktif sebagai Pondok Pesantren
Bangunan yang saat ini masuk dalam kasasi sebagai obyek perkara merupakan Pondok Pesantren yang beroperasional sejak tahun 2002 dan diresmikan oleh Gubernur Imam Utomo pada tahun 2003. Bangunan tiga lantai tersebut dihuni oleh 80 santriwati yang merupakan mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya.
2. Kejadian pada 13 November 2015 silam
Tempus delicti atau waktu terjadinya peristiwa yang kemudian bergulir di meja pengadilan hingga sekarang kasasi tersebut, terjadi pada 13 November 2015 silam. Peristiwa bermula dari pengasuh Ponpes, KH. Masykur Hasyim, berencana mengembangkan ponpes dengan mencari pinjaman modal pembangunan. Dalam perjalanan, KH Masykur bertemu AS, salah satu kadernya yang pernah dibantu proses politik, yang kemudian menawarkan KH Masykur pinjaman sebesar Rp. 1 milyar. KH Masykur menyetujui, dan dipertemukanlah dengan AHB yang dikenalkan AS sebagai pemodal, serta notaris yang ditunjuk oleh AHB sebagai notaris perikatan utang piutang. Tanda tangan perikatan pun dilakukan pada 13 November 2015 antara AHB dengan Hj. Ais, istri KH Masykur, karena aset ponpes yang dijadikan jaminan beratasnama Hj. Ais. KH. Masykur Hasyim sendiri, telah wafat pada 2 April 2020.
3. AHB menunjuk notaris luar kota
Fakta berikutnya terkait Locus Delicti, yaitu tempat terjadinya suatu perkara. Bahwa penandatanganan akta tersebut, sesuai permintaan AHB yang disebut AS, sebagai pemodal. Notaris pun ditunjuk sepihak oleh AHB, yaitu notaris AY, yang berkantor di Sidoarjo, berbeda dengan kota tempat asset ponpes berada, yaitu di Kota Surabaya. Sedangkan penandatanganan akta dilakukan di showroom kendaraan bermotor tempat AHB bekerja, yaitu di pusat kota Surabaya.
4. Perbedaan informasi yang disampaikan notaris dengan akta yang diterbitkan
Notaris AY yang saat itu dipesan oleh AHB sebagai pembuat perikatan, menyampaikan secara lisan kepada Hj, Ais:
“Saya bacakan ya, ini perjanjian pinjaman sebesar 1 milyar. Bu Ais nanti membayarnya dengan cara diangsur selama satu tahun.”
Mendengar perkataan notaris AY, Hj. Ais pun menyetujui dan mengikuti arahan notaris AY untuk menandatangani berkas perikatan. Saat menyerahkan sertifikat yang dimaksudnya sebagai jaminan, Hj. Ais mempertanyakan perihal pencairan dana pinjaman, AHB pun menjanjikan selama tiga hari.
Hj. Ais kemudian menyelesaikan tanda tangan akta dan ia pun baru dikejutkan saat upayanya di kemudian hari untuk mendapatkan salinan akta, yaitu pada 24 Mei 2016, membuahkan fakta yang mencengangkan, bahwa perikatan pada November 2015 diterbitkan oleh notaris sebagai Akta nomor 48 Tentang Perjanjian Ikatan Jual Beli dan Akta nomor 49 Tentang Kuasa Untuk Menjual, Hj. Ais yang di dalam akta disebut sebagai penjual, saat penandatanganan, tidak bermaksud menjual sehingga tidak menyerahkan bukti pembayaran PBB maupun kelengkapan administratif jual beli.
5. Dana telah dicairkan tanpa sepengetahuan pemilik sertifikat
Tanpa sepengetahuan KH. Masykur Hasyim dan Hj. Ais selaku pemilik sertifikat, AHB telah mengirimkan dana ke nomer rekening bersama yang tidak diketahui oleh pemilik sertifikat. Tepatnya, pada 25 Februari 2016 saat KH. Masykur Hasyim bertemu kembali dengan AS dan juga rekan AS yang bernama dan PU. Saat itu, PU mengaku bahwa dana telah cair sebesar Rp 1 milyar ke sebuah rekening bersama. Fakta tersebut mengejutkan KH. Masykur, terlebih saat ditunjukkan bahwa sisa saldo di dalam buku rekening adalah Rp. 11.063.500.
Beberapa bulan berikutnya, yaitu melalui penyidikan polisi di kemudian hari, barulah diketahui bahwa ternyata AHB tanpa menyampaikan informasi pada pemilik sertifikat, sesaat setelah penandatanganan akta dan Hj Ais beserta suami meninggalkan lokasi, AHB langsung pergi menuju kantor bank swasta untuk mentransfer dana sebanyak 1 milyar dan 600 juta ke rekening salah satu BUMN terbesar.
Adapun slip pemindahan dana dituliskan oleh AHB sejumlah 1 milyar dengan keterangan berita ‘pelunasan pemb. t/b di jemur wonosari’, dan sejumlah 600 juta dengan keterangan ‘Pinj. PU untuk proyek tambang’. Kedua slip tersebut ditujukan pada sebuah rekening Bersama yang tidak diketahui oleh KH Masykur Hasyim, bahwa ternyata KTP yang pernah dipinjamkannya pada AS sebagai bentuk syarat pengajuan pinjaman November 2015, digunakan AS dan PU untuk membukakan sebuah rekening bersama. Disebabkan tidak tahunya KH Masykur atas rekening tersebut, maka tidak ada pula tanda tangan dalam buku rekening tersebut, melainkan hanya tanda tangan PU beserta alamat yang tertulis adalah alamat PU di Gubeng.
Adapun keseluruhan pencairan dana dari rekening bank ‘biru’ tersebut, dicairkan oleh PU secara sepihak tanpa sepengetahuan ataupun konfirmasi dari pihak bank pada KH. Masjkur Hasjim, selama 12 hari, yaitu `2 November hingga 25 November 2015.
6. Ulah AHB cs yang mencurigakan berujung laporan ke Polisi
Kecurigaan KH Masykur dan istrinya pada AHB serta AS, menjadi alasan mereka untuk melaporkan ke pihak berwajib. Tepatnya, pada 12 November 2016 atas perkara penipuan dan penggelapan Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUP yang dilakukan AHB dkk.
Lama dan panjang perjalanan pelaporan tersebut, hingga pada 24 Agustus 2022. diterbitkan Surat dari Ditreskrikum Polda Jatim Perihal Pemberitahuan Perkembangan hasil penyelidikan ke-4, yang menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap tersangka atas nama PU, dan terhadap proses penyidikan atas nama terlapor Sdr. AHB, penyidik mempertangguhkan karena antara terlapor (AHB), melakukan gugatan keperdataan terhadap pelapor (Hj. Ais).
7. Pemilik Ponpes digugat oleh AHB
Tepat pada 15 Juli 2022, AHB melalui kuasa hukumnya, menggugat Hj. Ais yang disebutnya sebagai penjual, melalui Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam Sidang yang dilakukan berulang kali, turut tergugat I yaitu AY, SH., kerap mangkir dalam persidangan. Ia hanya hadir dua kali, yaitu saat proses mediasi. Sedangkan KH Masykur, telah wafat pada 2 April 2020. Materi atau petitum Gugatan yang diajukan AHB, menyertakan bunga 12 % selama 6 tahun, seperti halnya ia kreditur, bukan pembeli seperti yang diakuinya dalam gugatan. Pada 26 Juni 2023, diputuskan oleh PN Surabaya bahwa AHB adalah pemilik yang sah. Putusan ini kemudian menjadi ikhtiar berikutnya dari Ponpes Raudlatul Banin wal Banat, yaitu menuju tingkat Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang pada 13 April 2023, diputuskan bahwa putusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 26 Januari 2023, tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan.
Proses panjang masih bergulir, dan kini AHB melalui kuasa hukumnya, mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut.
Lantas, bagaimanakah akhir dari kisah perjuangan ponpes mempertahankan assetnya? Wallahu a’lam. Namun setidaknya kisah ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak tentang pentingnya kehati-hatian dalam bertransaksi, karena siapapun bisa menjadi korban kejahatan.
Akhir kata, Lex Semper dabit remedium, hukum selalu memberikan solusi.