Perkara Pengakuan Anak Di Pengadilan Agama

  • Whatsapp

Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.

(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A )
Salah satu kewenangan absolut pengadilan agama adalah menangani perkara asal-usul anak. Dalam implementasinya tampaknya para hakim belum satu pendapat mengenai ruang lingkup lembaga hukum tersebut. Hal demikian disebabkan oleh realita, bahwa literatur hukum Indonesia belum ada yang secara spesifik mengupas mengenai hal ini. Yang lebih membuat prihatin dalam praktik sering sebagian hakim berpersepsi, bahwa lembaga asal-usul anak seperti halnya itsbat nikah. Pemeriksaannya pun kemudian diarahkan ke penilaian, apakah perkawinan yang dilakukan kedua orang tuanya sah atau tidak. Padahal, asal usul anak dan itsbat nikah adalah dua hal yang berbeda.

Di mana letak perbedaannya?. Pada itsbat nikah para pemohon mengajukan perkara, bisa dalam bentuk volunter murni ( ex partij) maupun kontensius (pihak-pihak). Dalam Buku II yang diterbitkan Mahkamah Agung terdapat penjelasan kapan perkara itsbat nikah dapat diajukan secara volunter dan kapan harus diajukan secara kontensius. Akan tetapi, pada prinsipnya, baik diajukan secara volunter maupun kontensius, keduanya sama-sama mohon kepada hakim bahwa pernikahan yang dilakukan dan belum dicatat oleh pejabat yang berwenang atau kerana sebab lain, agar dinyatakan sah oleh pengadilan cq hakim pemeriksa perkara.

Tidak demikian halnya perkara asal usul anak. Dalam perkara ini, pada pokoknya pemohon mohon agar seorang anak dinyakan sebagai anaknya. Itulah sebabnya dalam perkara asal usul anak selalu diajukan secara volunter. Dalam fikih baik yang klasik maupun kontemporer lembaga asal usul anak ini biasanya masuk dalam pembahasan al-iqrar binasab. Bentuknya ada 2 macam. Pertama, keturunan ditetapkan karena Ayah sendiri yang mengakui anaknya, yaitu segera setelah anak lahir langsung diakui oleh ayahnya. Misalnya, ayah mengatakan:”Ini anak saya,” baik bayi itu laki-laki maupun perempuan. Kedua, keturunan ditetapkan karena pengakuan orang lain lebih dulu. Jadi setelah anak lahir tidak langsung diakui oleh ayahnya.

Pengakuan anak model pertama, keturunan anak sudah langsung diakui oleh ayahnya. Oleh karena itu, selanjutnya pengakuan itu borkonsekuensi timbulnya hubungan keturunan (nasab) dengan keluarga yang mengakuinya. Anak itu menjadi saudara dari anak-anak ayah yang mengakui dan juga menjadi cucu dari ibu dan bapak Ayah yang mengakui tersebut. Demikian seterusnya dengan keluarga ayah yang lain.

Tegasnya, hubungan keturunan (nasab) akibat pengakuan ini seperti hubungan nasab pada umumnya. Sedangkan, pada pengakuan model kedua, hubungan keturunan dengan Ayahnya terjadi setelah lebih dulu diakui orang lain. Sebagai contoh, seorang laki-laki mengatakan, bahwa yang lahir itu adalah putra dari anaknya. Dalam kasus ini, anak yang lahir itu tidak disahkan sebagai cucunya sebelum ditetapkan bahwa ayah anak yang lahir itu adalah anaknya. Dan, sang ayah itu kemudian mengakui anaknya pula. Kalau dua hubungan keturunan tersebut sidah diakui maka barulah anak yang lahir itu sah sebagai cucu dari kakek tadi. Dengan demikian diakui pula sah hubungan keturunan dengan keluarga-keluarga yang lain.

Meskipun demikian lembaga pengakuan anak ini harus memenuhi 4 syarat, yaitu:1. Anak yang diakui memang tidak diketahui keturunannya, 2. Dari segi umur, anak yang diakui pantas sebagai anak dari ayah yang mengakui, 3. Ayah yang mengakui tidak mengatakan, bahwa anak yang diakui lahir dari hubungan zina, dan 4. Anak yang diakui membenarkan pengakuan ayah yang mengakui. Tentu saja syarat ini berlaku jika anak yang diakui sudah dapat menyatakan kehendaknya secara hukum. Kalau memang belum, maka cukup pengakuan dari ayah yang mengakuinya saja.

Yang perlu mendapat apresiasi para pengadil ialah ketika ada seseorang mengakui anaknya, maka tidak perlu diusut lebih lanjut latar belakang yang menyababkan anak itu lahir apakah zina atau karena yang lain. Ibnu Taimiyah justru mengakui tetapnya keturunan berdasarkan perbuatan zina yang dilakukan dengan wanita yang tidak bersuami. Menurutnya sanksi memang dapat ditimpakan kepada pelaku perbuatan zina tetapi bukan kepada anak yang dilahirkan, baik di dunia maupun akhirat. Pendapat demikian, tamapaknya petut dikembangkan karena tampaknya lebih sesuai dengan lalu lintas hukum modern yang memang concern dengan keberadaan anak. Pendapat demikian tamaknya juga sejalan dengan putusan progresif Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada pokoknya menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Sedikit menuntun kita kepada wacana yang lebih luas narasi tersebut dapat kita baca pada buku Ahkam al-Aulad fi al-Islam karya Zakariya Ahmad Al Bary yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dra. Chadijah Nasutian (seorang Dosen pada UIN (dulu IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Buku kecil—yang cetakan pertama terbit pada tahun 1977 oleh penerbit Bulan Bintang– ini saat ini tampaknya sangat sulit didapati di toko-toko buku atau mungkin sudah tidak ada karena tidak tercetak lagi. Padahal, di saat kita semua menaruh concern membicarakan anak berikut hak-hak hukumnya literatur seperti itu perlu menjadi salah satu acuan kita.

Yang pasti lembaga asal-usul anak pada prinsipnya ialah lembaga hukum yang menampung perkara tentang keberadaan anak yang tidak dapat ‘ditelusuri’ melalui itsbat nikah. Dengan demikian, dalam perkara asal usul anak pada hakikatnya merupakan perkara sebagai bentuk pengakuan terhadap realitas, bahwa tidak mungkin seorang anak lahir tanpa seorang ayah, sekaligus memperjuangkan hak-hak anak. Jangan sampai anak yang tidak berdosa harus kehilangan salah satu mata rantai keturunannya. Dan, mata rantai keturunan tersebut hanya bisa diperoleh melalui perkara asal-usul anak, khususnya melalui lembaga pengakuan nasab. ( al iqrar bi al-nasab). Oleh karena itu tentu kita masygul, ketika ada perkara asal usul anak diajukan ke pengadilan oleh pengadilan (hakim) disuruh mencabut dengan alasan perkawinan yang dilakukan tidak sah atau anak tersebut berdasarkan keterangan para pemohon adalah hasil perkawinan yang tidak sah atau zina. Padahal, dalam perkara asal usul anak pengadilan memang tidak dalam posisi menilai legalitas (keabsahan) sebuah perkawinan tetapi hanya menetapkan bagaimana status anak itu. Kalau pemohon mendakwakan sebagai anaknya, apakah pengakuan itu memenuhi syarat sebuah pengakuan keturunan (nasab). Kalau memenuhi syarat dikabulkan, kalau tidak memenuhi syarat ditolak. Untuk mengabulkan atau menolak, hakim bisa ‘berijtihad’ memilih pendapat ulama yang lebih sesuai dengan perkembangan hukum (anak) masa kini.

Dengan pemahaman substansi perkara di atas, mestinya ketika ada perkara asal usul anak, pertama-tama yang harus dilakukan hakim adalah memeriksa, apakah permohonannya sudah memenuhi formalitas sebuah permohonan atau belum. Kalau belum diberi saran perbaikan. Mestinya jangan sampai terjadi permohonan asal usul anak diputus dengan putusan negatif (Niet on vankelijk verklaard). Apalagi, menyuruh atau menyarankan pemohon mencabut perkara. Sebagai bahan diskusi, tampaknya perkara asal usul anak berupa pengakuan anak ini masih terus menarik.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait