Perkawinan Beda Agama, Mengapa?

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

Melalui WA, seorang teman menyampaikan pesan singkat (short massage service). Isi pesan itu tidak seperti biasanya. Pesan itu bukan tentang isu politik atau berbagai postingan humor dan postingan yang bernuansa rekreatif lainnya. Pesan yang disampaikan tidak lain tentang perkawinan beda agama yang akhir-akhir ini viral. Baliau tampaknya minta pendapat saya mengenai hal itu. Maklum, sebagai seorang ‘penulis amatiran’, oleh beberapa teman saya kadang-kadang dimintai komentar, mengenai isu-isu aktual. Dari pesan yang beliau sampaikan, saya menangkap bahwa sang senior tadi menyimpan kegalauan serius. Dari isi pesan yang disampaikan saya tadi memang segara tahu, sejatinya kegaulan teman tadi juga menjadi kegalauan saya dan mungkin juga kegalauan anda.

Sebagai seorang “muballig” dan tinggal di sekitar Surabaya, sang teman yang setelah purna aktif bersosialisasi dengan masyarakat itu, tentu punya alasan mengapa demikian. Sebagaimana telah diberitakan banyak media, baru-baru ini, Seorang Hakim tunggal Pengadilan Negeri Surabaya Imam Supriyadi pada 26 April 2022 mengabulkan permohonan dua orang pemohon yaitu Rizal Adikara yang beragama Islam dan Eka Debora Sidauruk yang memeluk Kristen. (Merdeka.com, 28 Juni 2022). Keputusan serupa sebenarnya juga telah dijatuhkan oleh sejawatnya di Pengadilan Negeri Pontianak atas permohonan RNA (38) sebagai mempelai pria yang beragama Islam dengan M (25) mempelai perempuan yang beragama Kristen. (news.detik.com, 17 Maret 2022).

Tanpa bermaksud mengomentari isi keputusan sesama Hakim, yang jelas kemudian keputusan yang viral di medsos itu, digugat sekelompok orang. Sebagaimana dimuat dalam portal CNN Indonesia ( 24 Juni 2022) gugatan ditayangkan oleh empat orang bernama M. Ali Muchtar, Tabah Ali Susanto, Ahmah Khoirul Ghufron dan Shodiku atas tuduhan “perbuatan melawan hukum”. Sebuah pertanyaan mendasar patut dikemukakan, dapatkah sebuah pengadilan atau hakim digugat atas sebuah keputusan yang dijatuhkan? Rasanya belum pernah terjadi mengenai hal ini. Itulah sebabnya, gugatan mereka—yang terdaftar tanggal 23 Juni 2022 dengan Nomor Perkara 658/Pdt.G/2022/PN.Sby sangat menarik diikuti kelanjutannya. Lebih-lebih, dalam perkara perdata tersebut, ikut dijadikan “turut tergugat” sebuah institusi pengadil tertinggi (baca Mahkamah Agung RI), Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, MUI, Persekutuan Gereja Indonesia, dan Pondok Pesantren Al Qur’an (pimpinan Gus Baha’).

Perkawinana beda agama sebenarnya sudah lama terjadi. Akan tetapi meskipun dalam praktik melibatkan beberapa tokoh atau pesohor, jarang terekspos seperti sekarang. Dengan kemajuan teknologi informasi yang bisa diakses hampir semua lapisan masyarakat, kini banyak kasus penting sekalipun masuk ranah privat, sangat sulit disembunyikan, termasuk perkawinan beda agama ini.

Dalam praktik perkawinan beda agama memang ada beberapa modus. Pertama, dua calon mempelai yang beda agama, “kawin seagama”. Jika antara Islam dengan non Islam, bisa jadi, yang non Islam mengikuti Islam, atau yang Islam mengikuti agama non Islam. Setelah perkawinan terlaksana, mereka kembali ke agama masing-masing.Yang Islam tetap melaksanakan ajaran Islam dan demikian sebaliknya.Cara ini ditempuh biasanya, untuk menghindari keruwetan administrasi pencatatan perkawinan. Kedua, seperti yang baru-baru terjadi, dua calon mempelai melakukan perkawinan dari sejak semula dengan dua cara. Untuk menghargai yang Islam, calon mempelai non Islam bersedia melaksanakan perkawinan menurut tatacara Islam. Dan, untuk menghargai yang non Islam, yang Islam kemudian juga mengikuti tatacara perkawinan secara non Islam. Karena undang-undang ‘tidak membolehkan’ praktik perkawinan demikian, maka problem berikutnya ialah siapa yang harus mencatat perkawinan semacam ini. Meskipun perkawinan dilakukan dengan “tatacara Islam”, karena agama salah satu memelai berbeda, KUA pasti tidak bersedia, bahkan tidak mungkin, mencatatnya. Kantor Catatan Sipil pun merasa tidak mempunyai kewenangan mencatat perkawinan dengan cara demikian sebab kewenangannya hanya sebatas mencatat semua bentuk perkawinan yang dilakukan oleh non Islam. Tetapi, sebagai bagian dari insitusi negara yang harus menjunjung tinggi negara hukum, kantor itu memang harus tunduk kepada keputusan hukum yang dibuat oleh pengadilan. Sebab, sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, perkawinan tersebut dapat dicatatkan setelah mendapatkan penetapan dari pengadilan.

Terlepas dari adanya pro kontra, bagi orang Islam, perkawinan beda agama, telah menjadi objek kajian, para Ulama di berbagai literatur baik tafsir maupun fikih. Secara ringkas wacana itu ialah sebagai berikut:
Pertama, hukum laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab (Nasrani dan Yahudi). Mengenai hal ini ada yang membolehkan, ada yang menghukumkan makruh, dan ada pula yang melarang.Yang membolehkan mendasarkan pendapatnya kepada Al Quran Surat Al Maidah ayat 5. Yang melarang menganggap bahwa perempuan ahli kitab pada pokoknya tergolong “musyrikat” yang dilarang dinikahi.Mengenai hal ini juga terdapat wacana, apakah orang Yahudi dan Kristen sekarang bisa dikategorikan ahli kitab? Ada yang berpendapat, Yahudi dan Nasrani sekarang, termasuk ahli kitab sebagaimana dimaksud Al Qur’an dan ada pula yang berpendapat, tidak lagi termasuk ahli kitab. Yang menarik, seorang pakar fikih kontemporer, Dr. Wahbah al-Zuhaily, justru mengklaim, bahwa kebolehan mengawini wanita ahli kitab ini telah menjadi kesepakatan ulama. Beliau pun menyebut sejumlah sahabat yang melakukan praktik perkawinan beda agama ini, seperti Utsman, Khudzaifah, dan Sa’ad bin Abi Waqash. Hanya saja makruh hukumnya menurut Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan salah satu pendapat Malikiyyah. (al-Fiqhu al-Islamy, Juz VII halaman 153-154).

Kedua, hukum laki-laki muslim menikahi perempuan non ahli kitab. Mengenai hal ini para ulama sepakat, bahwa laki-laki muslim dilarang menikahi perempuan non ahli kitab. Para Ulama mendasarkan pendapatnya dengan Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 221.
Ketiga, hukum wanita muslimah menikah dengan laki-laki ahli kitab.Mengenai hal ini para ulama sepakat, bahwa wanita muslimah dilarang menikah dengan laki-laki ahli kitab. Apalagi, dengan laki-laki non ahli kitab.

Terlapas dari pro kontra di atas, pasca terbitnya Kompilasi Hukum Islam (KHI), bagi setiap orang Islam perkawinan beda agama, sebenarnya sama sekali sudah tertutup, baik bagi pria maupun wanita. Menurut Pasal 40 huruf (c ) Kompilasi Hukum Islam, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita yang tidak beragama Islam. Larangan serupa berlaku juga bagi wanita Islam. Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam menyatakan dengan tegas, bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.Yang dirumuskan KHI mengenai perkawinan beda agama itu sebenarnya penegasan kembali Hasil Musyawarah Nasinal II tahun 1980 yang waktu itu masih dipimpin oleh Prof. HAMKA. Pendapat demikian, secara tersirat juga sangat mengindahkan hadits nabi SAW, bahwa pertimbangan agama hendaknya dijadikan pertimbangan utama ketika seseorang akan memasuki gerbang perkawinan. Meminjam istilah Prof. Quraisy Shihab, boleh jadi orang yang melaksanakan perkawinan beda agama itu memang tidak menjadikan agama sebagai pertimbangan utama.

Perdebatan mengenai perkawinan beda agama mestinya harus dianggap selesai ketika semua orang Islam sepakat bahwa eksesistensi KHI sebagai fikih ala Indonesia. Kriteria sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” bagi orang Islam mestinya mengacu ketentuan KHI. Akan tetapi apalah daya KHI yang keberlakuannya hanya ditetapkan berdasarkan instruksi presiden. Pada saat yang sama frasa “dilakukan menurut masing-masing agamanya” dalam kalimat Pasal 2 ayat (1)–yang dengan kalimat agak berbeda diulang dalam Pasal 10 ayat (3) PP Nomor 1975– ternyata menimbulkan “tafsir baru” yaitu bahwa perkawinan beda agama ini,“boleh” asal dilakukan menurut tatacara agama masing-masing calon: pasangan yang beda agama itu melaksanakan perkawinan dengan tatacara Islam dan tatacara non Islam sekaligus, seperti yang dilakukan stafsus presiden beberapa waktu lalu. Entah disengaja atau tidak, ketentuan UU Perkawinan, beberapa ketentuannya tampaknya telah direduksi oleh undang-undang berikutnya, dalam hal ini Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pintu perkawinan beda agama yang semula agak tertutup rapat, dengan ketentuan Pasal 35 yang memberikan peluang pengadilan “ikut campur” menambah jenis perkawinan yang boleh dicatat, di luar perkawinan ‘mainstream’ sebagaimana diatur oleh Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 2006. Dengan fakta demikian, kekhawatiran orang terhadap perkawinan sejenis bukan tanpa alasan. Sebab, bisa saja kalau Mahkamah Agung tidak memberikan “pedoman” yang tegas, dengan alasan “perkembangan hukum” dan “rasa keadilan” serta “kebebasan hakim”, pengadilan akan mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan sejenis. Ngeri bukan? Tidak sampai di sini, bagaimana kalau perkawinan yang sudah dicatatkan dengan dasar keputusan pengadilan tersebut, oleh keluarganya atau orang yang berkepentingan, diajukan pembatalan. Bukankah Pasal 22 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membuka peluang untuk itu. Lantas, pengadilan mana yang berwenang, Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri? Dalam konteks ini, relatif lebih rasional, jika empat aktivis di atas melakukan upaya ini. Menggugat pengadilan/ hakim atas sebuah keputusan yang dijatuhkan, di samping bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, juga mencederai marwah negara hukum.

Akhirnya, fenomena terjadinya perkawinan beda agama ini, setidaknya memang mengajarkan 5 hal. Pertama, bahwa di sebuah negara dengan penduduk multi etnis dan budaya ini, memang terbuka peluang aneka ragam perilaku yang harus diantisipasi oleh para ahli hukum, ulama, atau tokoh agama. Kedua, diperlukan hukum yang bisa mengayomi semua warga Negara, sekaligus tetap menjunjung tinggi eksistensi ajaran semua agama yang ada. Ketiga, pentingnya singkronisasi hukum agar tidak tumpang tindih. Dan, yang lebih penting ketika sebuah rancangan undang-undang akan dibahas ke legislatif harus diketahui oleh masyarakat hukum ( Ulama, ahli hukum dan/ atau ahli terkait di berbagai perguruan tinggi, dan masyarakat umum) agar ikut menyampaikan pendapatnya. Tujuannya, di samping alasan transparansi juga menghindari penumpang gelap dengan modus meloloskan “pasal siluman” demi kepentingan kelompok tertentu.Keempat, terasa masih ada dua madzhab besar dalam memandang lembaga perkawinan, yaitu ada yang perpandangan perkawinan selain menjadi ranah privat juga menjadi ranah publik dan ada yang berpendapat hanya ranah privat yang menjadi bagian HAM yang harus diakui sekaligus dihormati oleh siapapun. Kelima, meskipun Indonesia bukan negara agama akan tetapi konstitusi menjunjung tinggi ajaran semua agama. Pada saat yang sama konstitusi juga menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Ketika suatu ketika terjadi benturan antara agama dan HAM, manakah yang harus didahulukan. Dengan falsafah sila pertama pancasila, mestinya ajaran agama harus didahulukan. Jika yang demikian kita sepakati, maka penguatan karakter bangsa mengenai hal ini, perlu sejak dini dilakukan secara masif. Wallahu a’lam.

Biodata Penulis
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 19910301 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan :

1. SD Negeri Sumberejo, 1975
2. MTs Negeri Srono, 1979
3. PGA Negeri Situbondo, 1982
4. Pondok Pesantren Misbahul Ulum Situbondo ( 1979-1982 )
5. Sarjana Muda Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1986
6. Sarjana Lengkap (S-1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988
7. S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001

Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni.
Pengalaman Tugas :
 Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
 Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
 Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
 Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
 Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA2011-2016
 Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A, 2016-2021.

Sekarang: :
Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A, 31 Agustus 2021- sampai sekarang.
Alamat rumah : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com

Pos terkait