(Sekelumit Refleksi tentang Sinergitas Hakim Pengadilan Agama dan Advokat)
Seorang hakim mengeluh akan ulah seorang advokat. Dia merasa terseinggung dan jengkel terhadap advokat yang sehari-hari mangkal di kantornya tiba-tiba menbuatnya repot. Pasalnya, pejabat yang sering dipanggil Yang Mulia itu kini sedang dilaporkan oleh advokat mengenai kinerjanya ke lembaga atasan yang berwenang. Mengetahui materi perkara yang dilaporkan, Hakim yang cukup senior itu sebenarnya tidak takut. Dia pun tetap percaya diri, karena merasa tidak bersalah dan merasa tidak melanggar tupoksi yang ada. Akan tetapi, dia membayangkan, bahwa atasan mendapatkan laporan tersebut, dalam waktu dekat, pasti akan meminta klarifikasi dan pada akhirnya akan memanggilnya untuk memeriksanya. Menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk nan merepotkan itulah mengapa dia jengkel. Sebab, ia harus meluangkan waktuya untuk memenuhi panggilan atasan yang mungkin perlu waktu khusus dan biasanya tidak cukup sekali. Pada saat yang sama dia pun harus tetap menghadapi tumpukan berkas dan menyelesaikan tugas-tugas menyidangkan perkara yang terus mengalir setiap hari. Atau, setidaknya untuk sementara konsentrasinya memikirkan perkara di persidangan harus terganggu akibat ulah oknum advokat
Tindakan advokat itu harus kita anggap sebagai tindakan oknum karena pasti belum tentu mewakili teman-teman advokat yang lain. Oknum ini hanya semata-mata sedang bermasalah dengan kinerja salah seorang oknum hakim/majelis. Sering terbersit pula oknum hakim yang bersangkutan untuk membalas kelakuan oknum advokat tersebut pada even-even kesempatan persidangan lain berikutnya atau mengadukannya ke atasan atau penegak hukum (sebagai delik aduan) dengan alasan “pencemaran nama baik” atau “perbuatan tidak menyenangkan.” (vide: Pasal 310/311 KUHP)
Kitapun memang patut bertanya, mengapa lapor-lapor melapor ini masih sering terjadi di dunia peradilan, terutama di pengadilan agama? Atau, lebih ekstrim perlu kita ajukan pertanyaan berikutnya, apakah ketika seorang advokat punya persoalan dengan hakim mengenai perkara yang sedang ditangani harus melaporkan hakim yang bersangkutan ke atasan? Tidak adakah cara yang paling elegan dan tidak merugikan semua pihak?
Advokat dan Kinerjanya
Advokat adalah orang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berprofesi untuk memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Peran seorang advokat dalam memberikan layanan hukum dalam perkara perdata adalah bahwa Advokat sebagai penerima kuasa dari pihak penggugat atau tergugat untuk mewakili dalam beracara di depan Pengadilan untuk menjelaskan dan meluruskan fakta dan bukti yang diajukan oleh klien, sehingga mereka dapat membantu dan memfasilitasi hakim dalam mengambil keputusan. Dalam menjalankan fungsinya dan perananya dalam perkara perdata selaku kuasa hukum wajib menjalankan kode etiknya profesi selaku advokat. Pekerjaan advokat atau kuasa hukum adalah pekerjaan atas dasar kepercayaan. Demikianlah hubungan antara advokat dengan klien harus diawali dengan hubungan kepercayaan. Sehingga hubungan antara kuasa hukum dengan klien dapat berjalan sesuai dengan kode etik yang telah ditentukan untuk profesi advokat. Para advokat dalam melaksanakan tugas-tugas profesinya dilarang untuk membedakan klien berdasarkan gender, agama, ras, keturunan, politik, atau latar belakang sosial dan budaya.
Eksistensi advokat menurut Pasal 1 ayat l Undang-Undang No 18 Tahun 2003 Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-undang advokat. Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor l8 Tahun 2003 tentang Advokat menjelaskan tentang definisi jasa hukum, jasa hukum adalah “Jasa yang di berikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, rnendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”. Selanjutnya Pasal 1 ayat 3 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat menyatakan tentang definisi klien. Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari advokat. Advokat berstatus sebagai penegak hukum seperti yang tertera pada Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Nomor 18 tahun 2003. Kata penegak hukum (Law enforcer) selama ini setalu dikaitkan dengan mereka yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pemaksaan. Dalam hal ini tentu saja advokat tidak mempunyai kewenangan tersebut.
Sebagai lawyer, advokat memang memiliki kebebasan dan kemandirian yang dijamin oleh Hukum dan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 UU Advokat). Akan tetapi, tidak sepenuhnya memiliki kekebalan (imunity) absolut. Pada Pasal 6 hingga Pasal 13 UU Advokat jelas-jelas ada ketentuan yang dapat menjerat seorang yang memberikan jasa hukum sebagai Advokat/Lawyer. Seorang Lawyer akan hilang imunitasnya jika melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan klienya. b. Berbuat atau bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan perkataan atau menunjukkan sikap tidak hormat terhadap Hukum, peraturan perundan-undangan atau pengadilan. c. Berbuat dengan hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan dan martabat profesi. d. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang undangan atau melakukan perbuatan tercela. e. Melanggar sumpah atau janji Advokat dan atau kode etik profesi Advokat.
Kedudukan Hakim
Hakim merupakan jabatan yang mulia di negara Hukum. Kewenangan yang dimiliki sebagai garda akhir penegakan hukum dan irah-irah putusan yang diambil dengan selalu melekatkan nama Tuhan—yaitu kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”—eksistensinya sering mendapat predikat sebagai wakil Tuhan di bumi. Identitas Negara Hukum pun akhirnya sangat ditentukan oleh kinerja Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Ketika proses penegakan hukum ke tahap akhir, kepada Hakimlah masyarakat berharap. Di tangan hakim pula kunci keberhasilan penegakan hukum yang menjadi tujuan utama kehidupan masyarakat di negara hukum.
Dalam melaksanakan tugasnya hakim mengadili menurut hukum tanpa membeda-bedakan orang ( suku, ras, dan agama ). Di pundaknya melekat asas ius curia novit. Itulah sebabanya, dia dilarang menolak mengadili dengan alasan tidak ada aturan atau alasan aturan belum jelas. Konsekuensinya, padanya juga melekat kewajiban untuk selalu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Kewajiban profesi yang demikian sering membuat hakim kadang-kadang terpaksa harus berbeda dengan ketentuan teks aturan hukum, bahkan menyimpanginya. Kebebasan demikian, sering dapat membuat penegak hukum lain ( seperti advokat ) ‘tersinggung’. Hakim legendaris Bismar Siregar malah pernah mengatakan, (kurang lebih), bahwa setiap akan memutus perkara seorang hakim hendaknya selalu bertanya kepada nuraninya, adilkah putusan yang akan dijatuhkan? Keadilan itulah yang harus ditanamkan dalam hati hakim, “masalah pasal bisa dicari,” katanya.
Sinergitas Hakim dan Advokat
Dari ilustrasi singkat tupoksi yang ada, sebenarnya dua intitusi penegak hukum itu bisa bertemu dalam tujuan yang sama, yaitu menegakkan hukum guna memberi keadilan kepada masyarakat pencari keadilan. Kedua institusi pekerja hukum itu suka tidak suka, sekalipun berbeda posisi, tetapi pada akhirnya dipertemukan satu tujuan tadi. Menyadari hal demikian penting, agar dua intitusi yang sering bertemu di ruang sidang itu, tidak terjadi kesalahpahaman atau saling curiga satu sama lain. Terlebih, jika salah satu merasa lebih hebat–dan akan menggunakan senjata kehebatan itu pada saat diperlukan–karena saling marasa memiliki kelebihan di banding yang lain. Akibatnya, kesalahpahaman yang demikian, pada akhirnya membawa dua profesi hukum itu seolah berjalan ke kutub yang berbeda.
Seorang Hakim–sekalipun advokat selalu mamanggilnya “Yang Mulia”–pada hakikatnya adalah manusia juga. Sebagai manusia dia juga terikat oleh hukum alam yang berlaku bagi manusia pada umumnya, seperti bisa suka tetapi juga bisa sedih, bisa sabar tetapi bisa tidak bisa menahan amarah. Pendak kata, sebutan yang mulia tidak lantas membuatnya serta merta seteril dari kesalahan dan kekhilafan. Adalah menjadi tugas advokat ketika hakim salah untuk mengoreksinya. Cara mengoreksi kesalahan hakim memang bisa dilakukan dengan pertimbangan 2 hal. Jika kesalahan terkait dengan penanganan perkara baik yang berkaitan dengan aturan main (hukum acara) maupun materi perkara yang berkaitan dengan hukum materiil, tidak perlu dilakukan dalam persidangan dengan berdebat adu argmentasi. Kebiasaan demikian tidak lazim terjadi dalam persidangan perdata.
Sebagaimana yang sudah diketahui oleh para advokat, dalam hukum acara perdata kesalahan hakim ketika memutus perkara ini bisa dikoreksinya lewat upaya hukum. Baik upaya hukum biasa (verzet, banding, dan kasasi) maupun upaya hukum luar biasa (derden verzet dan peninjauan kembali). Ketika semua upaya hukum sudah tertutup maka siapapun harus legowo. Sikap dimikian suka atau tidak suka harus dimunculkan, karena terdapat doktrin yang sudah berlaku secara universal yaitu : “Putusan hakim itu sekalipun salah tetap harus dianggap benar ketika semua upaya hukum sudah tertutup. Pada akhirnya irah-irah putusan hakim—yaitu, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”—itulah yang menjadi taruhan hakim. Kalau memang hakim dianggap bersalah, kepada Tuhan yang ia wakili ia akan mempertanggungawabkan putusannya. Dari sisi kelembagaan pastilah akan ada fungsi-fungsi kelembagaan (sebut saja: Bawas/eksaminator) yang akan mengurusnya.
Terlepas dari paparan di atas juga, harus diakui, tampaknya masih ada beberapa oknum hakim yang sering dianggap kurang bijak atau bahkan mengadili tidak sesuai kerangka atauran main yang berlaku atau kode etik dan pedoman perilaku hakim. Masih banyak dirasakan advokat ada hakim terkesan kaku, suka membentak-bentak, kurang dapat mengatur retorika berbahasa secara santun. Dalam situasi demikian para advokat biasanya merasa eksistensinya kurang dihargai. Apalagi jika harus diperlakukan seperti orang yang sama sekali belum tahu aturan di hadapan kliennya. Tampilan parlentenya seketika seolah lenyap, ketika ‘dipermalukan’ oleh oknum hakim di hadapan kliennya yang telah menumpahkan semua harapan kepadanya. Pada saat demikian, pastilah ia tersinggung. Melaporkan oknum hakim kepada atasan sering terjadi karena latar belakang situasi demikian. Akan tetapi, demi saling menjaga martabat sebenarnya advokat dimaksud tidak perlu membuat tindakan dengan prinsip “gas pol”. Yaitu, langsung melaporkan oknum hakim kepada lembaga berwenang yang paling prestis. Sekalipun hal itu menjadi haknya. Sebab, kebiasaan demikian, justru akan mengubah ranah penegakan hukum menjadi ranah personal yang, bagi kedua belah pihak, akan bisa berbuntut negatif secara personal pula. Pada gilirannya, yang demikian akan membuat suasana–medan tugas hakim sekaligus lahan mengais rizki para addvokat itu–menjadi kurang kondusif. Ketika kedua belah pihak kemudian memposisikan diri pada institusinya masing-masing, tidak mustahil, konflik demikian yang semula ranah konflik personal, berubah menjadi konflik institusional, yakni institusi hakim di satu pihak dan institusi advokat di pihak lain. Konflik demikian, tentu akan menjadi kurang baik jika dipertontokan kepada masyarakat yang awam hukum, dari sisi pendidikan hukum.
Oleh karena itu, terlepas dari fenomena di atas, kedua belah pihak harus sama-sama menatap eksistesi jati diri Pengadilan Agama. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Prof. Dr. Bustanul Arifin, bagaimana sidang-sidang Pengadilan Agama tempo dulu berlangsung dengan penuh kekeluargaan. Beliaupun mengutip penggalan sejarah sebagaimana ditulis oleh Dr.Pyper dalam Sejarah Islam Indonesia 1900-1950 yang melukiskan jalannya suatu pemeriksaan di sidang pengadilan agama yang santai, manusiawi, dan benar-benar kelembagaan sosialnya menonjol. Ciri demikian menurutnya sayogyanya tetap dipelihara, yaitu pengadilan yang di samping sebagai lembaga hukum juga berfungsi sebagai lembaga sosial. Prototipe Pengadilan Agama yang demikian, menurutnya bukan berarti ketinggalan zaman. Dengan mengacu kepada pengalamannya ketika berkunjung ke Melbourne Australia, persidangan Family Court di sana pun, dilakukan dengan penuh suasana persaudaraan dan kesejukan, laksana sebuah keluarga yang penuh kedamaian.
Terkait dengan realitas di atas, kalau cara pandang hakim dan advokat satu kerangka harapan ideal pengadilan agama sebagai peradilan keluarga, maka sebenarnya ‘ketegangan’ antara hakim dan advokat’ mestinya tidak perlu terjadi. Juga, tidak perlu terjadi, kedua belah pihak saling intip kesalahan yang berujung saling menjatuhkan satu sama lain. Jalannya persidangan dalam suasana yang egalitar saling mengingatkan hal-hal negatif yang mungkin timbul (bukan untuk saling mengancam) mestinya menjadi dambaan kedua belah pihak. Dalam suasana demikian, tentu lebih mudah sama-sama mencari keadilan substantif. Bahkan tidak hanya itu, ketika para hakim dan advokat bisa saling bekerja dengan penuh senyuman (baca: kompak) kiranya juga dapat mengundang rahmat Tuhan lebih cepat turun. Ingat :”yadullahi fauqal jama’ah” (pertolongan Allah akan lebih mudah turun pada yang mau bersatu). Pintu rizki melimpah nan berkah juga lebih mudah diraih. Rhoma Irama dalam salah satu lirik lagunya (lagu: Pemarah) pernah mengingatkan:
Jadi orang jangan pemarah
Salah sedikit naik darah
Kalau kita jadi pemarah
Teman jauh rezeki susah…..
Salam kompak buat para hakim dan advokat.
Semarang, akhir Oktober 2021
Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.