JAKARTA, Berita lima.com – Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Papua dinilai menggusur dusun-dusun penghasil sagu seperti di Nabire, Sorong, hingga Merauke.
“Padahal masyarakat Papua sejahtera bila hutan dan dusun-dusun (penghasil) sagu masih ada,” kata aktivis Yayasan Pusaka di Jakarta Arkilaus Baho di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu kemarin
Menurut dia, fenomena ini menunjukkan ketidak hadiran negara dalam membangun Papua. Peran negara tersebut digantikan perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di sana.
“Negara angkat tangan tentang kesejahteraan dan menyerahkan ke perusahaan lewat CSR. Keamanan, siapa yang kendalikan, perusahaan. Intimidasi pada masyarakat oleh aparat negara, dan ini dikendalikan perusahaan dan hal ini bisa dilihat di Papua dan Papua Barat tanah adat orang Papua dihargai permeter ada yang 10 rupiah, 200 rupiah dan bakan 325 rupiah jadi kalau mau dilihat tidak sampai harga pisang goreng,” kata Arkilaus.
“Tidak ada orang papua yang setuju akuisisi lahan. Kami masyarakat adat tidak memberi tanah adat. Kami tidak terima sawit sampai sekarang, kami miskin di atas negerinya,” sambung Arkilaus, sebagaimana diberitakan Kompas.
Ia juga mengatakan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit di bagian selatan dan barat melalui akuisisi lahan-lahan dusun telah menggusur paksa hak ulayat.
“Termasuk kehadiran perusahaan kelapa sawit Wilmar Internasional. Perusahaan ini membeli sawit dari supliernya. Supliernya itu bermunculan sampai memiliki 40.000-an hektar (ha) tiap perusahaan,” tutur Arkilaus.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Timur, Fathur Rozoqin Fen menyampaikan bahwa konflik kelapa sawit tidak hanya terjadi di Papua, namun juga di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera.
Pembangunan kebun sawit dinilainya telah mengusur warga dari tanah nenek moyangnya. Selain itu, lahan untuk kebun dan pertanian warga menjadi rusak.
Warga juga mendapat tekanan oknum tentara dan polisi yang seolah berpihak, dan merasa dibiarkan menyelesaikan sendiri konflik tanpa dukungan pemerintah.
“Apa yang terjadi, bukan hanya tak selesai kasusnya, bahkan nyaris tidak digubris. Ini indikasi, sama saja tidak hadir negara dalam praktek bisnis dan HAM. Maka kami ingin menagih kehadiran negara pada konflik eksploitasi SDA,” kata dia.
Banyak sekali kasus yang tidak selesai yang menunjukkan betapa negara bisa dikatakan sebagai tidak hadir di dalam penyelesaian konflik SDA di negeri ini.
Ini setara, negara membiarkan masyarakat dan perusahaan berhadap-hadapan menyelesaikan sendiri persoalannya.
Contoh lainnya diungkap Ketua Adat Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur, Daud Lewing.
Warga lokal di Kutim menolak sawit sejak 2007. Kenyataannya, sampai saat ini upaya pengupasan lahan terus terjadi.
Warga sudah melapor ke polisi hingga kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, tetapi belum ada kepastian terkait laporan itu.
“Seharusnya, sejak melapor kegiatan mereka membuka lahan itu berhenti dulu. Ini tidak, pengupasan terus terjadi,” kata Lewing.
Modus baru perusahaan dalam mengatasi perlawanan warga pun muncnul. Perusahaan membenturkan warga Long Bentuq dengan masyarakat desa tetangga.
Warga tetangga dengan mudahnya mematok hutan, dijual ke perusahaan, dan terus mendesak mendekati desa Long Bentuq.
“Kami sedang bertahan dari kehadiran perusahaan SAWA dan HPN. Mendadak hutan yang belum belum dijamah manusia, dipatok, dijual ke perusahaan, dibeli Rp 3 jt per hektar.
“Kita pernah melapor sampai ke KLHK. Dua kali KLHK turun, tak ada realisasi. Kami pernah melapor ke polres dan Polda hanya di ping pong saja,” kata Lewing.
Kegiatan pembangunan sawit juga dinilainya mengalahkan pengembangan hutan bakau. Hal ini bisa ditemui di Balikpapan.
Husain Suwarno, Ketua Forum Peduli Teluk Balikpapan mencontohkan pembangunan pabrik CPO di Sungai Belanak Kanan.
“Sungai Belanak Kanan ditutup, ditimbun, manggrove rusak dan mati. Mereka langgar komitmen,” kata Husain.
Keluhan atas praktek perkebunan yang meningkatkan konflik di antara warga juga terjadi di daerah lain seperti di Kalimantan Selatan.
Warga kehilangan lahan tani palawija hingga kebun buah. Seolah mudah bagi perusahaan mengambil lahan kelola masyakarat untuk mengambil alih karena masyarakat tidak bisa menunjukkan haknya atas lahan tersebut.
Persoalan bahkan melebar ke konflik perburuhan. Seperti diungkap Direktur Walhi Sulawesi Tengah Ahmad Pelor, pernah terjadi pemecatan 179 buruh yang memiliki masa kerja 5-6 tahun di sebuah kawasan perkebunan.
Mereka dipecat karena berniat membuat serikat buruh. “Prosesnya kini juga tak ada kepastian,” kata Pelor. (*)