Jakarta, beritalima.com | Peristiwa atau tragedi pilu yang dikenal dengan Malapetaka 15 Januari atau Malari 1974, memiliki pesan yang hampir sama dengan kondisi perpolitikkan sekarang. “Seperti juga di pemerintahan era Orde Baru, pemerintahan era Jokowi sekarang membuka diri bagi modal atau investasi asing. Bahkan sangat mendorong investasi asing tersebut,” tutur Dr Satrio Arismunandar, saat menjadi penanggap dalam webinar digelar oleh Perkumpulan Penulis Satupena (18/1).
“Kita tidak anti-modal asing. Tetapi yang dipersoalkan adalah bagaimana persyaratan, alokasi, dan cara pengelolaan investasi asing itu? Apakah dampaknya betul-betul efektif, sudah sampai ke rakyat bawah? Ini yang dipertanyakan,” tambah Satrio.
Oleh karenanya, kata Zainal C. Airlangga, peneliti sejarah dan aktivis Indemo sebagai pembicara utama webinar mengungkapkan, gerakan koreksi pada peristiwa Malari 1974 bukan cuma dipicu faktor dalam negeri, tetapi juga faktor global.
Saat itu pesan para mahasiswa adalah menolak bantuan dari Jepang. Lebih jauh lagi, tambah Zainal, pesan Gerakan Malari antara lain adalah perjuangan melawan sistem apartheid, yang sedang gencar-gencarnya di Afrika Selatan. Juga, demonstrasi-demonstrasi masyarakat sipil di Vietnam ketika Barat mencoba mengangkangi Vietnam.
“Di dalam negeri, letupan-letupan perlawanan terhadap Orde Baru sudah muncul. Ada penolakan terhadap proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang dianggap memboroskan uang rakyat,” sebutnya Zainal. Gerakan Malari intinya membawa pesan keadilan sosial.
Namun demikian, dibalik itu juga, Malari juga menyulut pereteruan dua kubu Jenderal TNI AD, yakni Jenderal Soemitro selaku Pangkopkamtib dan Mayjen Ali Moertopo sebagai Kepala Operasi Khusus.
Jurnalis: Abriyanto