Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH
AKANKAH dunia persepakbolaan di Indonesia, bisa bangkit setelah berakhirnya sanksi FIFA dan pembekuan PSSI oleh Pemerintah? Kini PSSI kembali diketuai oleh seorang jenderal TNI aktif. Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) yang berlangsung di Jakarta, Kamis, 10 November 2016 berhasil memilih ketua umum yang baru. Dia adalah: Pangkostrad Letnan Jenderal (Letjen), Edy Rahmayadi.
Keberadaan militer atau TNI (Tentara Nasional Indonesia) di arena olahraga, memang bukan barang baru. Dulu, aktivitas militer, selain dilatih menghadapi segala macam rintangan dalam medan perang, juga tidak pernah absen di lapangan sepakbola.
Dalam organisasi perserikatan sepakbola, yakni sepakbola amatir yang didirikan oleh klub-klub sepakbola dari tingkat daerah hingga pusat, militer juga tidak pernah absen. Klubnya, bernama PSAD, PSAL dan PSAU (Persatuan Sepakbola Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara). Demikian juga dengan Kepolisian yang mempunyai klub sepakbola, PS Bhayangkara.
Sosok Edy Rahmayadi memang awalnya kurang popular di dunia sepakbola. Sebagai Pangdam I Bukit Barisan, Edy dianggap berhasil membesarkan PSAD di Medan dan menyatukan klub PSMS Medan yang bertikai. Nama Edy berkibar ketika membentuk PS TNI dengan mengakuisisi saham Persiram Raja Ampat.
Jadi, memang tidak aneh, jika Ketua Umum PSSI kembali dipegang oleh militer. Apalagi, di saat persepakbolaan di tanahair beberapa tahun belakangan ini dilanda kemelut, pimpinan TNI berusaha melakukan evaluasi. Salah satu di antaranya, menyelenggarakan perebutan Piala Presiden. Bahkan, pesertanya, termasuk kesebelasan TNI dan Bhayangkara.
Kembali ke masalah kepengurusan PSSI yang berasal dari petinggi TNI, bukan barang baru. Nama Jenderal Agum Gumelar, misalnya, menduduki jabatan Ketua Umum PSSI masabakti 1999-2003. Dulu, kita biasa mendengar nama Maulwi Saelan Ketua Umum PSSI 1964-1967. Dia adalah Komandan Paspampres “Cakrabirawa” Bahkan Maulwi juga dikenal sebagai mantan kiper legendaris timnas PSSI di zaman itu.
Mantan Gubernur DKI Jaya Jenderal KKO (Marinir) Ali Sadikin pernah menjadi Ketua Umum PSSI (1977-1981). Kardono (1983-1991) yang di masa kepemimpinannya, Indonesia merebut medali emas di SEA Games 1987 dan 1991 dan Kardono juga merupakan presiden pertama AFF , yakni asosiasi sepakbola Asia pada 1984-1994. Nama-nama lain seperti Bardosono dan EE Mangindaan juga merupakan pegiat sepakbola.
Kita tahu, nasib persepakbolaan yang bernaung di bawah panji PSSI, benar-benar memrihatinkan. Kemelut berantai masalah kepengurusan. Sehingga dari kongres yang satu lahir kongres berikutnya, penuh masalah. Kemelut tambah menyeruak ke masalah kasus tidak adanya kepercayaan antara pengurus PSSI dengan pihak pemerintah yang diwakili Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Tidak hanya, itu satu hal yang menyakitkan di tubuh PSSI adalah “pembekuan PSSI oleh Pemerintah, ditambah lagi sanksi dari FIFA”. FIFA adalah organisasi Internasional yang mengurus persepakbolaan dunia. Termasuk PSSI adalah anggotanya.
Sebenarnya langkah Edy menuju takhta di PSSI tidak terlalu mulus. Posisinya sebagai TNI aktif, yang menjabat Pangkostrad sempat disoal. Di antaranyai Menko Polhukam, Wiranto dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi. Pejabat Negara ini pernah menganjurkan agar ketua PSSI tidak dipegang aparatur pemerintahan yang masih aktif. Alasannya, dunia persepakbolaan Indonesia membutuhkan penanganan serius. Apalagi saat ini terjadi gonjang-ganjing di berbagai daerah.
Sekarang, di bawah kepemimpinan Edy Rahmayadi yang mampu mengalahkan seniornya, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko di KLB ini patut diacungi jempol. Batapa tidak, sebab Edy, pria kelahiran Sabang, Banda Aceh, 10 Maret 1961, berhasil meraih 73 suara, sedangkan Moeldoko hanya 23 suara. Satu suara diperoleh Walikota Batu Eddy Rumpoko, di samping tujuh suara lainnya tidak sah.
Kabinet baru PSSI pusat sudah terbentuk. Edy Rahmayadi didampingi dua wakil ketua umum (Waketum), yakni Joko Driyono dan Iwan Budianto. Dua orang ini, merupakan orang lama sebagai aktivis persepakbolaan tanahair. Kepengurusan juga dilengkapi dengan 12 komisi eksekutif (Exco). Dari 12 anggota itu, hanya dua nama yang merupakan orang dari kepengurusan lama yaitu Gusti Randa dan Johar Lin Eng. Namun, keduanya sempat mengundurkan diri setelah kembali terjadi polemik di tubuh PSSI.
Sepuluh orang lainnya adalah Hidayat yang merupakan pemilik tim Divisi Utama Persebo Bondowoso, Yunus Nusi adalah ketua Asprov Kalimantan Timur, Condro Kirono yang merupakan petinggi tim Bhayangkara United, Pieter Tanuri adalah petinggi Bali United.
Berikutnya, Juni A Rachman dari PSPS Pekanbaru, AS Sukawijaya/Yoyok Sukawi yang merupakan petinggi PSIS Semarang, Johar Lin Eng adalah ketua Asprov Jawa Tengah, Refrizal dari Semen Padang, Dirk Soplanit dari Asprov Maluku, Verry Mulyadi Asprov Sumbar,dan Papat Yunisal yang merupakan mantan pemain timnas putri.
Dunia persepakbola di Bumi Nusantara saat ini merindukan pertandingan sepakbola yang meriah, aman dan terkendali. Sehingga, tugas utama kepengurusan PSSI Pusat adalah menyiptakan suasana yang nyaman. Menyelesaikan banyak program yang terkendala akibat Ketua Umum PSSI yang juga Ketua Umum Kadin Jatim, La Nyala Mattalitti, tersandung kasus perkara pidana di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim.
Kecuali itu, adanya pembatalan memasukkan agenda yang membahas status klub bermasalah, membuat kecewa berat pendukung Paersebaya 1927. Kecewa, karena dalam pemungutan suara 84 suara tidak setuju dan hanya 10 suara yang mendukung, serta lima suara abstain. Akibatnya, mereka yang dikenal sebagai supporter Bonek itu, melakukan berbagai aksi unjukrasa di Kota Surabaya.
Inilah salah satu pekerjaan berat yang menanti di depan kepengurusan PSSI yang baru. Semoga mampu memecahkan masalah, tanpa menimbulkan masalah baru