Dhimam Abror Djuraid
Ibarat balapan, proses pilkada serentak sekarang ini sedang gaspol, full speed. Setelah proses pendaftaran di KPU beres, para calon kepala daerah itu langsung tancap gas.
Di beberapa daerah ada pawai, ada kumpulan massa, dan ada yang dangdutan. Sisa waktu yang tidak sampai tiga bulan menjelang coblosan masal 9 Desember dimanfaatkan seperti kebut-kebutan.
Di tengah kebut-kebutan itu tiba-tiba muncul seruan supaya kebut-kebutan dihentikan. Muncul seruan dari banyak kalangan supaya rem darurat ditekan dan pilkada ditunda.
Situasi mutakhir dianggap tidak memungkinkan balapan pilkada tetap berlangsung. Perkembangan pagebluk Covid 19 yang makin memburuk belakangan ini membuat balapan pilkada sangat riskan menjadi klaster baru penyebaran pagebluk.
Tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam menerapkan protokol, dan belum ketatnya aturan penyelenggaraan yang diterapkan oleh KPU, membuat kekhawatiran makin besar.
Sebanyak 105 juta pemilih pada hari yang sama akan datang ke TPS, tempat pemungutan suara. Risiko penularan diperkirakan akan sangat tinggi.
Kondisi makin prihatin ketika muncul kabar para petinggi KPU positif terjangkit Covid 19. Ketua Arief Budiman dan komisioner Pramono Ubed Tantowi dipastikan positif. Sementara komisioner Evi Novida Ginting dikabarkan negatif setelah sebelumnya dinyatakan positif.
Ketua KPU Sulawesi Selatan, Faisal Amir, menyusul dinyatakan positif. Jumlah itu akan memanjang jika seluruh ketua KPU daerah dan jajarannya dites masal.
Beberapa calon kepala daerah dinyatakan positif terjangkit. Beberapa kepala daerah dan pejabat birokrasi meninggal akibat virus ini.
Seperti restoran yang sedang menyiapkan makanan dan tiba-tiba dapurnya kebakaran, KPU masih tetap menyatakan gaspol tidak menghentikan proses pelaksanaan pilkada.
Belum ada tanda-tanda KPU akan menginjak rem darurat. Arif Budiman dan koleganya menyatakan masih tetap bekerja seperti biasa di tengah isolasi mandiri.
Pilkada kali ini ibarat sabung nyawa, menantang maut. Hampir di semua wilayah di Indonesia perkembangan pagebluk masih mengerikan. Jumlah korban masih terus naik, rumah sakit penuh, dan kapling kuburan habis.
KPU dan pemerintah seharusnya segera berpikir untuk mengedepankan keselamatan dan nyawa rakyat daripada sekadar memenuhi target politik.
Ingatan kita memang pendek dan gampang lupa. Pilpres dan pileg 2019 yang lalu adalah bukti pemilu taruhan nyawa. Sebanyak 900 petugas KPPS, kelompok penyelenggara pemungutan suara, meninggal dunia tanpa sebab yang jelas, plus 500 orang lebih yang jatuh sakit.
Sampai sekarang tidak ada upaya untuk menyelidiki secara tuntas penyebab kematian itu, dan tidak terdengar ada pertanggungjawaban publik terhadap tragedi itu.
Nyawa rakyat dianggap begitu murah dan diperlakukan sebagai tumbal kekuasaan. Nyawa rakyat menjadi collateral damage, korban yang tak terhindarkan, dalam sebuah peperangan.
Pemilu 2019 memberi catatan belang-belonteng untuk KPU, dan sekarang masih tetap akan dipaksakan lagi pelaksanaan pemilu yang menantang maut.
Di beberapa negara dunia pemilu tahun ini diliputi kontroversi. Amerika Serikat akan menyelenggarakan Pemilu Presiden pada 3 November, dan pemilihan dilakukan dengan menggunakan pos. Pemilih mencoblos dari rumah masing-masing dan petugas pos akan mengambilnya.
Beberapa negara otoriter dan bekas komunis seperti Rusia, Polandia, dan Belarusia memaksakan pemilu tahun ini. Hasilnya mengecewakan karena dianggap banyak kecurangan.
Di Belarusia demonstrasi masih terjadi sampai sekarang menuntut pembatalan kemenangan presiden petahana Alexander Lukashenko yang dituduh banyak melakukan kecurangan dan penyelewengan.
Pemilu di Indonesia 2019 yang lalu dianggap sebagai salah satu pemilu yang acakadut, amburadul. Banyak pihak yang tidak puas atas kinerja KPU. Banyak yang menuntut KPU bertanggung jawab terhadap kehilangan nyawa 900 petugas KPPS itu.
Kalau sekarang KPU masih ngotot ingin gaspol dan tidak mau injak rem darurat, akan bertambah panjang daftar hitam itu.
Nyawa dan keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, Salus Populi Suprema Lex Esto. Tidak ada kebijakan apapun yang boleh diambil oleh negara jika risikonya adalah nyawa rakyat.
Perhelatan politik selalu sarat dengan perputaran uang. Di tengah ekonomi yang mandek seperti sekarang putaran uang pilkada mungkin dianggap bisa menjadi pelicin.
Pilkada adalah musim panen bagi parpol dan tim sukses. Calon boleh gagal tapi tim sukses selalu sukses.
Rakyat menunggu remah-remah serangan fajar beberapa puluh ribu rupiah. Kalau beruntung akan dapat tambahan pembagian sembako dan “pengaosan”, pembagian kaos.
Itulah ciri khas demokrasi klientelisme ala Indonesia yang tidak ada duanya di seluruh dunia.
Aspinall dan Berenschot dalam ”Democracy for Sale” (2019) menyebut demokrasi Indonesia sebagai “Wani Piro Democracy”.
Klientelisme khas Indonesia bentuknya macam-macam. Ada serangan fajar (dawn attack), bagi-bagi sembako, pengaosan, pavingisasi, sampai penerbangan, memberi alat musik terbang untuk ibu-ibu hadrah.
Klientelisme ini disebut sebagai “freewheeling clientelism” alias klientelisme gaspol, los tidak pakai rem.
Politik aliran dikecam keras. Tapi politik aliran uang ditunggu banyak orang. (*)