Politik Adalah Persepsi Dan P 2: Public Opinion

  • Whatsapp

– Serial 10 P untuk Marketing Politik

Denny JA
Willie Harton tak mengerti. Ia hanya seorang kriminal biasa. Tapi kasusnya ternyata bisa ikut mengubah pemenang pemilu presiden di Amerika Serikat antara Geoge Bush versus Michael Dukakis di tahun 1988. (1)
Di tahun 1974, ketika Willie Harton berusia 23 tahun, ia menyergap seorang pemuda. Di pom bensin, seorang anak muda itu sedang memarkir mobil. Harton mengarahkan pisau agar anak muda itu menyerahkan uang yang ia punya.


Anak muda itu ketakutan. Namun Ia segera menyerahkan dompet. Entah apa yang ada di kepala Harton, Ia menusuk anak muda itu 19 kali. Ia curi mobilnya. Dan anak muda tersebut ditemukan mati di tumpukan sampah.
Atas kejahatannya, Harton dipenjara seumur hidup. 


Tahun 1986, 22 tahun kemudian, saat itu Michael Dukakis sedang menjadi Gubernur Massachussets. Satu program sang gubernur adalah keringanan penjara bagi kriminal melalui Furlough Program.
Ini program yang membolehkan kriminal meninggalkan penjara sewaktu waktu, baik dikawal ataupun tidak. Namun kriminal itu harus kembali ke penjara lagi. 
Program tersebut dianggap lebih manusiawi kepada kriminal. Dengan harapan, ketika kelak kriminal itu keluar dari penjara, Ia lebih cepat kembali melebur ke tengah masyarakat.
Apa yang dilakukan Harton ketika ia menjalani Furlough Program dari Gubernur Dukakis? Ia memperkosa dua wanita. Ia pun menyiksa kekasih wanita itu terlebih dahulu. Kekerasannya semakin mengerikan.
Hukuman Harton diperberat. Ini ditambah 85 tahun di penjara.
Harton tahu ia bersalah. Tapi Ia tak menduga tindakan kriminalnya ini membantu George Bush menjadi presiden Amerika Serikat.
-000-


Awalnya, tim kampanye Geoge Bush ketar ketir. Dalam banyak poll, ia tertinggal 17 persen di bawah Michael Dukakis. Dukakis sang gubernur itu dengan yakin segera menjadi the next president of the United States.
Tapi George Bush memiliki konsultan politik cemerlang Lee Atwater. Mereka mengeksplor semua kemungkinan bagaimana membalikkan opini publik. Ujar Atwater, pasti ada kelemahan Dukakis ketika menjadi gubernur. 
Tim ini pun melakukan riset opini publik tentang kelemahan Dukakis di mata warga Massachusset saat menjadi gubernur. Banyak warga yang tak puas dengan cara Dukakis yang terlalu naif atas kasus kriminal. 
Banyak warga mengangkat kasus Willie Harton. Bagaimana mungkin Dukakis senaif itu? Memang Dukakis berniat pendekatan yang lebih humanistik untuk kriminal. Tapi lihat apa yang terjadi? Harton sang kriminal kembali memperkosa dan menyiksa. Warga terteror.
Ujar pemduduk Massachussets: Kami tak nyaman dengan pendekatan humanistik tapi naif dari gubernur Dukakis. 


Aha! Abrakadabra! Tim George Bush mendapatkan isu penting.
Segera dalam pidatonya, Bush menyerang Dukakis. Ujar Bush, Dukakis pemimpin yang naif. Ia tak bisa membuat aman warga Amerika Serikat. Bush menyinggung kasus Kriminal Harton yang diberi keringanan oleh Dukakis. Betapa kelirunya kebijakan ini. Betapa buruknya seorang pemimpin.
Tak cukup dengan pidato, tim Bush membuat iklan politik soal Dukakis dan Harton. Digaris bawahi di sana, Harton sebagi kulit hitam. Sentimen ras kulit puitih dimainkan secara halus.
“Tim halo halo George Bush juga membuat joke yang mustahil tapi populer. Dukakis segera menjadikan Willie Harton sebagai running mate, calon wakil presiden.


Dengan kecanggihan jaringan media, isu Willie Harton menjadi nasional. Dukakis terasosiasi dengan Harton, seorang pemerkosa, kulit hitam, penyiksa kulit putih.
Dukakis sangat terlambat merespon isu itu. Di akhir kampanye, Dukakis mengakui membebaskan Harton adalah blunder politik terbesarnya. 
Tapi pengakuan itu justru membuatnya semakin ditinggal. Kulit  hitam ikut menjauh dari Dukakis akibat pernyataan itu. Sementara pemilih kulit putih tak terpengaruh atas penyesalan Dukakis:
Hasl pemilu presiden pun berbalik. Bush yang awalnya kalah 17 persen, berbalik menang 8 persen. (2)


-000-
Kasus di atas menggambarkan betapa pentingnya opini publik atas satu figur calan presiden. Opini  publik itu mudah diubah. Persepsi atas calon presiden mudah dibalikkan. Hasilnya sangat besar: berubahnya pemenang pemilu.
Opini publik istilah yang lahir di era modern. Istilah ini hanya kuat dalam masyarakat politik yang sudah mengalami urbanisasi.
Pertama kali istilah ini digunakan oleh pemikir di abad 16-17. John Locke termasuk yang pertama menggariskan pentingnya opini publik. Locke saat itu menyebutnya dengan “The Law of Opinion.”
Ujar Locke ada tiga jenis hukum yang membentuk masyarakat. Pertama adalah Divine Law: hukum semesta yang mengatur mekanisme bekerja alam dan dunia sosial. Kedua adalah Civil Law. Ini hukum yang diciptakan penguasa untuk menjaga ketertiban dan memajukan masyarakat. 
Ketiga adalah Law of Opinion. Ini pandangan umum yang berkembang di masyarakat, yang mempengaruhi nilai, persepsi dan tindakan publik luas.
Jeremy Benthem lebih kuat lagi menegaskan penting opini publik. Tulis Benthem: kekuasaan dibangun untuk kesejahteraan masyarakat. Kekuasan hanya benar jika ia memberikan kebahagian terbesar kepada semakin banyak masyarakat. Opini publik, mimpi, kekecewaan, harapan masyarakat sangat sentral untuk diperhatikan penguasa.

(3) Di abad ke 17, opini publik justru tumbuh di aneka simpul kedai kopi atau Coffe House. Di tempat itu, berkumpul banyak elit masyarakat kelas menengah atas. Di kedai kopi itu, mereka mendiskusikan, kadang bergunjing soal isu pemerintahan.
Di kedai kopi pula, pertama kali beredar koran secara luas. London Gazzete, yang terbit tanggal 7 November 1665 beredar di kedai kopi. Koran ini hingga sekarang dikenal sebagai koran paling tua yang tetap terbit.
Datangnya era demokrasi membuat opini publik semakin penting. Siapa penguasa yang akan diturunkan atau dipilih tergantung dengan opini publik. Di era demokrasi, menjadi penguasa dimulai dengan menguasai opini publik.
Pertarungan kekuasaan juga terekam dalam pertarungan opini publik.
-000-


Dalam hubungannya dengan marketing politik,  apa yang paling penting tentang opini publik? Jawabnya adalah FRAMING! Istilah ini merujuk pada konstruksi realitas untuk menciptakan sebuah persepsi atau kesan. Realitas yang sama bisa diframing untuk menghasilkan persepsi yang berbeda bahkan bertolak belakang.
Jangan lupa Adolf Hitler yang kini dikenang sebagai diktator kejam juga terpilih secara demokratis dalam pemilu di Jerman 1932. Partainya Nazi memperoleh 37.3 persen mengalahkan semua partai lain.
Mengapa Adolf Hitler bisa menang? Itu karena politik adalah persepsi. Hitler diframing sebagai strong leader. Pemimpin yang kuat. 
Di era Jerman yang merana, kalah dalam Perang Dunia 1, ekonomi terpuruk, Jerman butuh pemimpin yang kuat. Dalam konteks ini, Hitler adalah buah dari framing timnya yang berhasil.


Michael Dukakis, Capres Amerika yang dicontohkan di atas, itu sebaliknya. Ia justru korban framing pihak lawan yang berhasil. 
Hasil riset berkali – kali menujukan betapa framing atas tokoh atau peristiwa yang  sama, itu bisa menciptakan respon publik luas yang berbeda.
Lihatlah riset yang dilakukan Standford University, tahun 2011. Sebanyak 485 orang menjadi responden sebuah riset eksperimental. Mereka dibagi ke dalam dua kelompok.

(4)
Kepada masing masing kelompok disampaikan kasus fiksi tentang virus yang datang dari Asia. Semua kisah virus itu disampaikan dengan kisah yang sama. Yang berbeda dalam dua grup itu adalah metafor untuk virus.
Di satu kelompok virus itu disebut dengan binatang buas  yang potensial membunuh banyak warga kota. Di kelompok lain, virus itu hanya disebut dengan penyakit menular yang potensial membunuh banyak warga kota. Ini framing “binatang buas” vs “penyakit menular.”
Efek framing itu berbeda. Responden yang mendengar istilah virus sebagai binatang buas, lebih banyak menyarankan langkah yang keras: punishment, hukuman bagi aneka pihak yang ikut menyebarkan virus.  Pihak yang mendengar istilah virus sebagai penyakit menular, lebih banyak menyarankan langkah yang lebih lembut, seperti langkah preventif.
-000-


Lihatlah juga hasil riset ini. Penerima Nobel Daniel Kahneman dan rekannya Amos Tvesky di tahun 1981 mempublikasikannya. Judul artikel mereka: The Framing of Decision and Pychology of Choice. (5)
Mereka mengobservasi  responden untuk merespon kasus yang sama tapi dengan framing yang berbeda. Yang satu diframing lebih menonjolkan sisi positif, gain, manfaat, keuntungan. Yang kedua, kasus yang sama, tapi lebih diframing sisi negatif, loss, kerugian, musibah.
Ini kisah 600 penduduk yang terkena penyakit mematikan. Tersedia dua treatment: A, dan Treatment B.
Treatment A akan menyebabkan 200 penduduk hidup. Treatment B akan menyebabkan kemungkinan 33 persen dari 600 populasi itu akan hidup. Dan kemungkinan 66 persen semua penduduk mati.  Yang mana yang dipilih?
Sebanyak 72 persen pemilih Tretament A.
Kini Treatment A hanya diganti  framing saja. Semua lainnya sama. Treatmen A menekankan 200 penduduk yang hidup. Kini Treatment A menekankan 400 penduduk yang mati. Sama intinya.
Treatment B juga diganti framing saja. Semua lainnya juga sama. Treatmen B menekankan 33 persen probabiliti penduduk hidup. Kini Treatmen B menekankan 33 persen probabiliti penduduk yang tak yang mati. Tapi 66 persen probabiliti 600 penduduk mati semua.
Kini hanya 22 persen yang memilih Treatment A.
Riset ini membuka mata kita tentang hebatnya efek framing. Treatment yang sama  yang ditekankan sisi positifnya, lebih dipilih dibandingkan yang ditekankan sisi negatifnya.
-000-
Dalam formula 10 P untuk marketing politik, penulis meletakkan P 2 untuk Publik Opinion. Sila kedua dari 10 sila marketing politik adalah strategi untuk mengolah opini publik, dan membuat framing atas satu peristiwa.
Yang akan mempengaruhi pemilih bukan peristiwa itu sendiri. Tapi bagaimana peristiwa itu dikonstruksi, diframing, sehingga berakhir pada satu persepsi yang masuk akal dan sesuai.
Framing atas peristiwa bahkan setua usia agama. Katakanlah peristiwa disalipnya Yesus atau Nabi Isa. Ini peristiwa yang sama tapi muncul menjadi dua persepsi yang beda, bahkan betolak belakang.
Pada agama Kristen, kisah itu menjadi persepsi Yesus yang mati disalib. Ini kisah sosok suci yang menebus dosa manusia dengan mengurbankan diri. Kisah Yesus mati disalib dan bangkit kembali menjadi doktrin sentral agama.
Tapi dalam agama Islam, peristiwa yang sama itu melahirkan persepsi yang  lain lagi. Yesus (Nabi Isa) tidak mati disalib. Ia selamatkan Tuhan. Orang suci ini gagal dibunuh penguasa Yahudi dan Roma.
Dua persepsi yang berbeda di atas berasal dari peristiwa yang sama. Dua persepsi itu kini  masing masing dipeluk oleh lebih dari satu milyar manusia, dan sudah lebih dari 1000 tahun.
Betapa berkuasanya persepsi di dunia agama. Betapa kuatnya persepsi di dunia politik. Bagi yang percaya, PERSEPSI adalah REALITAS !
Juli 2020(Bersambung)

beritalima.com

Pos terkait