SURABAYA, Beritalima.com | Politik menyajikan jabatan di dalamnya, yang mana tidak sebatas jabatan politis. Dalam hal ini, tak sedikit yang menjadi pejabat publik disebabkan posisinya sebagai orang partisan (pengurus sebuah partai politik). Tentu, tidak ada yang salah dalam keaktifan seseorang, terlebih kaum muslimin untuk aktif dalam perpolitikan. Melainkan yang utama adalah, bagaimana perannya menjadi bagian dari syubbanul yaum rijalul ghod, yaitu pemuda sekarang yang kelak menjadi pemimpin.
Pemimpin, termasuk yang berawal dari partai politik, merupakan pembawa amanah. Amanah selama dimaknai secara utuh dan tepat, akan menjadi sebuah wasilah kebaikan, yaitu pembawa ke arah kebajikan. Terlebih saat kita memaknai bahwa pemimpinlah yang memiliki wewenang dan kebijakan. Tanpa sebuah jabatan kepemimpinan publik maupun politis, menjalankan wasilah tersebut tentu tidaklah mudah.
Kita pun kemudian teringat dengan hadis tentang pemimpin dan tanggung jawab, bahwa Rasulullah SAW berpesan:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas keluarga yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pembantu adalah pemimpin di rumah majikannya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Malik dan Ibnu Hibban).
Dengan begitu, menjadi pemimpin merupakan hal mutlak bagi setiap insan yang memiliki kemampuan dan mendapatkan amanah. Dan tugas pemimpin-lah untuk bertanggung jawab dalam menjalankan amanah tersebut. Kepemimpinan yang baik merupakan penentu kemaslahatan dan kebaikan bagi mereka yang dipimpinnya. Dan sebaliknya, kepemimpinan yang buruk pastilah memberikan kerugian dan kemudlaratam bagi siapapun yang dipimpinnya.
Akhir kata, jika kita kelak mendapatkan jabatan seorang pemimpin melalui partai politik, maka jadikan itu sarana mewujudkan wasilah kemaslahatan, kebaikan. Menghindari sikap riya’ serta mengabaikan kebaikan yang bisa dilakukan, hanyalah bentuk kemudlaratan hidup. Dan Islam sangat tegas telah menjelaskan bahwa maslahat (manfaat, keberkahan) harus selalu diutamakan daripada unsur kemudlaratan (kesia-siaan). Itu sebab mengapa Islam harus ada dalam kekuasaan agar spirit kebaikan dan kemaslahatan tidak hilang. Seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Taymiyah: “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXVIII/394).