JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior di Komisi VI DPR RI membidangi Perdagangan, Perindustrian termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Amin Ak mengingatkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal utang perusahaan plat merah yang semakin membengkak.
Dikatakan wakil rakyat dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur (Lumajang dan Kabupaten Jember-red) sebagian besar utang BUMN itu dalam bentuk valuta asing. “Dan, utang BUMN itu bisa menjadi bom waktu yang setiap saat bisa saja meledak,” kata Amin Ak dalam keterangan pers yang diterima Beritalima.com, Rabu (9/6) malam.
Amin mengkhawatirkan bila terjadi ‘ledakan’ krisis keuangan BUMN, hal ini bakal berdampak sangat buruk terhadap perekonomian nasional. Soalnya, utang BUMN akan menimbulkan tanggung wajib kontingensi kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena bila BUMN gagal bayar, Pemerintah ikut menanggung.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI itu mengingatkan krisis moneter 1998 yang dipicu akumulasi utang yang tidak berhasil dikendalikan dan diselesaikan secara tuntas oleh Pemerintah pada masa itu.
Pandemi Covid-19, kata pria kelahiran Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, 6 Juli 1965 tersebut, memang meningkatkan risiko neraca keuangan BUMN maupun perekonomian nasional. Namun, kata Amin, tren kenaikan utang BUMN sudah berlangsung lima tahun terakhir. Jadi, bukan semata terjadi akibat pandemi Covid-19. “Pemerintah tidak bisa menjadikan pandemi Covid-19 sebagai alasan dibalik kegagalan mengelola utang BUMN.”
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), lanjut Amin, hingga akhir 2020 lalu, dari Rp12.181 triliun utang sektor publik, total utang BUMN mencapai Rp 6.091 triliun. Rasio utang BUMN terhadap aset mencapai 67 persen yang berarti kemampuan perusahaan mencetak keuntungan tidak sebanding dengan laju kenaikan utang.
Utang BUMN didominasi perbankan. Karena itu, Amin mengingatkan risiko sistemik pada bank-bank BUMN jika sampai mengalami kesulitan finansial yang pada ujungnya akan berpengaruh kepada perekonomian secara luas.
Selain itu, risiko gagal bayar juga ikut membayangi BUMN nonkeuangan terutama BUMN energi dan infrastruktur. Contoh, PT PLN (Persero) yang saat ini memiliki utang Rp 500 triliun, karena membengkaknya kewajiban (liabilitas) 2020.
Padahal lima tahun lalu, utang PT PLN masih dibawah Rp50 triliun. Hal itu menunjukkan adanya mismanajemen utang. Secara keseluruhan, posisi utang BUMN yang bukan Lembaga Keuangan, pada akhir 2020 mencapai Rp 1.053 triliun. Dua kali lipat dari posisi akhir 2014 Rp 504 triliun.
Untuk mencegah memburuknya kondisi keuangan BUMN, Amin meminta
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit kondisi keuangan BUMN terkini. DPR berhak untuk mengetahui posisi terakhir atau kondisi keuangan BUMN agar bisa ikut mengawasi proses pembenahan terutama penyembuhan BUMN yang sakit saat ini dilakukan pemerintah.
“Utang seharusnya memiliki dampak yang positif terhadap kinerja. Tapi kita bisa lihat di return on equity (tingkat pengembalian terhadap modal), sebagian besar masih sangat kecil bahkan tidak sedikit yang negatif,” kata dia.
Selain itu, Amin mendesak Pemerintahan Jokowi untuk mengendalikan pengeluaran besar infrastruktur untuk menghambat pengeluaran utang. Penumpukan utang bisa berdampak negatif terhadap generasi produktif di masa depan.
Karena itu, Amin berharap banyak pada Lembaga Pengelola Investasi (LPI) untuk bergerak aktif menurunkan utang BUMN terutama angka pendek.
“Jangan biarkan bom waktu itu meledak dan merembet pada sendi-sendi perekonomian nasional lainnya,” demikian Amin Ak. (akhir)