BANDAR LAMPUNG – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) meminta seluruh unsur Pemerintah Daerah Provinsi Lampung agar memperkuat mitigasi dan meningkatkan sosialisasi serta edukasi kepada masyarakat, terkait adanya potensi bencana geologi yang tergolong tinggi di wilayah tersebut.
Berdasarkan hasil kajian dan penelitian lebih lanjut yang dilakukan Direktorat Pemetaan dan Risiko Bencana BNPB, wilayah Lampung setidaknya memiliki tiga potensi risiko yang dapat memicu terjadinya bencana alam.
Pertama adalah aktivitas Gunung Anak Krakatau yang berada di Selat Sunda. Sebagaimana diketahui bahwa aktivitas erupsinya hingga saat ini masih terus terjadi dan masuk pada Level III atau Siaga.
Adapun aktivitas Gunung Anak Krakatau yang terakhir telah memicu terjadinya peristiwa Tsunami Selat Sunda pada 2018 akibat longsoran bawah laut, dengan total korban pada saat itu mencapai kurang lebih 430 jiwa.
Berdasarkan catatan sejarah, Krakatau pernah meletus pada 1883 dan kekuatan letusannya tersebut setara dengan empat kali lipatnya Tsar Bomba, yakni bom nuklir terkuat yang pernah diuji coba Rusia di Pasifik.
Apabila dibandingkan dengan bom atom yang pernah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang pada 1945 lalu, maka Tsar Bomba tersebut kekuatannya setara 3.000 kali bom atom Hiroshima.
“Krakatau empat kali Tsar Bomba ini,” jelas Plt. Direktur Pemetaan dan Risiko Bencana, Abdul Muhari dalam Rapat Koordinasi Penanganan COVID-19 dan Penanggulangan Bencana di Provinsi Lampung pada Jumat (19/3).
Adapun letusan Krakatau pada masa itu menyebabkan terjadinya lontaran material seluas 41 kilometer kubik yang bisa membuat bukit buatan dengan ketinggian 300 meter.
Menurut catatan, peristiwa tersebut juga memicu terjadinya tsunami dengan ketinggian 9-36 meter, kemudian lontaran sulfurnya mencapai lapisan stratosfer dan terbawa hingga ke wilayah Eropa sehingga menyebabkan perubahan iklim.
Selanjutnya, potensi ancaman kedua adalah adanya Sesar Sunda yang berada di selatan Lampung dan Pulau Jawa bagian barat.
Menurut hasil kajian Muhari bersama tim, segmen Sesar Sunda dapat melepaskan energi hingga sebesar 9 magnitudo.
Dalam pemodelan yang dilakukan, pelepasan maksimal energi tersebut juga dapat memicu terjadinya gelombang tsunami dengan ketinggian hingga 8-10 meter.
“Ini estimasi yang paling besar dari kemungkinan potensi energi yang ada. Tentunya ini bukan akan bersifat menakut-nakuti tidak. Tetapi potensi itu ada dan kejadiaannya di selatan Jawa bagian barat mengalami pengulangan dengan bukti-bukti geologi yang ada,” jelas Muhari.
Kemudian untuk sesar yang dapat memicu gempa darat, Muhari menjelaskan bahwa ada beberapa sesar aktif yang dapat melepaskan energi dan memicu gempa dengan skala estimasi magnitudo 6,9 hingga magnitudo 7,3.
Adapun sesar tersebut terbagi menjadi beberapa bagian yakni, Sesar Enggano, Kumering Selatan, Kumering Utara, Barumun, Ujung Kulon, Semangko Timur, Semangko Barat, Semangko Graben.
Menurut catatan Muhari, Sesar Semangko Barat diduga menjadi pemicu terjadinya peristiwa Gempabumi Liwa yang menyebabkan sedikitnya 196 jiwa menjadi korban dan kurang lebih 2.000 lainnya mengalami luka-luka.
“Semangko Barat itu segmen yang mungkin menjadi penggerak gempa Liwa yang terjadi pada 1994. Liwa termasuk aktif, dua kali 1993 dan 1994,” jelas Muhari.
Dengan melihat hasil penjabaran tersebut, Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo meminta kepada Gubernur Provinsi Lampung Ir. H. Arinal Djunaidi beserta jajaran Bupati dan Wali Kota se-Provinsi Lampung untuk kemudian mengambil kebijakan dan langkah strategis dimulai dari sosialisasi, edukasi dan mitigasi kepada masyarakat.
Menurut Doni, masyarakat harus memahami tanda-tanda alam yang dapat memicu terjadinya bencana. Di samping itu, mereka juga harus tahu bagaimana cara untuk mengevakuasi diri secara mandiri, sehingga apabila terjadi bencana maka korban dapat diminimalisir.
Terkait dengan sosialisasi dan edukasi tersebut, Doni meminta agar hal tersebut dapat disampaikan dengan cara dan metode yang benar, agar kemudian tidak terjadi kepanikan dan isu hoaks.
“Apa yang harus kita lakukan adalah meningkatkan upaya sosialisasi, tetapi ingat tidak boleh menimbulkan kepanikan. Gempa dan tsunami adalah peristiwa yang berulang. Kalau tidak ada korban jiwa, maka kita tidak akan menyebut bencana. Gempa yang membunuh itu bukan besaran gempanya,” kata Doni.
Selain sosialisasi, mitigasi adalah formula yang harus dilakukan demi menjaga generasi penerus. Dalam hal ini, Doni meminta agar masyarakat juga dilibatkan dalam kegiatan mitigasi. Sehingga masyarakat dapat lebih siap dan mandiri, tidak hanya mengandalkan unsur-unsur pemerintah saat terjadi bencana.
“Kemudian untuk bisa melakukan berbagai langkah mitigasi. Kita harus bisa menyiapkan sesuatu hingga generasi penerus bisa selamat,” pungkas Doni.