Praperadilan SPI, Berkas Yang Terkatung-Katung Menjadi Kewenangan Penuntut Umum

  • Whatsapp

SURABAYA – beritalima.com, Sidang praperadilan antara JE, pendiri Sekolah SPI lawan Polda kembali berlanjut di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (20/1/2022).

Agenda sidang kelima ini, tim Bidkum Polda Jatim menghadirkan Guru besar Hukum Administrasi dari Fakuktas Hukum (FH) Ubhara Surabaya, Prof. Sadjijono. Purnawirawan Polisi ini dihadirkan sebagai ahli untuk dimintai pendapat berdasarkan ke ilmuannya.

Dijelaskan Sadjijono, sesuai pasal 184 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), tentang syarat sahnya suatu barang bukti, kemudian berkembang dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang objek praperadilan yang diperluas. Maka barang bukti ditingkat penyidikan bukan merupakan bukti yang sah, melainkan disebut barang bukti atau petunjuk dalam pandangan subjektif penyidik.

“Berati bukti ditingkat penyidikan itu tidak akan pernah bisa dinyatakan sah, ini putusan MK final dan mengikat.” terang ahli dihadapan hakim tunggal Martin Ginting.

Sah atau tidaknya barang bukti lanjut Sadjijono, tidak ditentukan oleh penyidik melainkan merupakan ranah kewenanagan Hakim.

“Tidak semua barang bukti yang dibawa penyidik itu bisa dijadikan bukti (sah). Dan (barang bukti) itu bisa dikesampingkan oleh hakim.” jelas ahli.

Barang bukti ataupun penyitaan bisa dikatakan sah apabila telah mendapat penetapan dari hakim secara formal.

“Setelah ditetapkan secara formal, barang bukti akan menjadi bukti (sah), ketika telah dilakukan penyitaan dan proses hukum sesuai dengan KUHAP, kalau tidak seperti itu tidak dapat dikatakan sebagai bukti (sah),”tegas Sadjijono.

Kewenangan hakim dalam menentukan sah atau tidaknya barang bukti itu menurut Sadjijono telah termuat dalam Pasal 184, pasal 186 dan juga pasal 189 KUHAP.

Selain itu, barang bukti haruslah memenuhi beberapa syarat baik secara kualitas maupun kuantitas.

Secara kualitas, lanjut Sadjijono, barang bukti yang diklaim penyidik secara subjektif haruslah memiliki relevansi dengan peristiwa hukum yang sedang diperiksa.

“Ada barang bukti tapi tidak ada relevansinya dengan peristiwa yang terjadi. Maka barang bukti ini tidak memiliki kualitas,” papar ahli.

Ditanya hakim Tunggal Martin Ginting, pendapat yang mana yang lebih dominan untuk menentukan berkas perkara yang sudah bolak-balik dikembalikan. Jaksa apa polisi,?

Prof. Sadjijono. Purnawirawan Polisi menegaskan yang lebih dominan adalah Jaksa Penuntut Umum sebab jaksa diberikan kewenangan untuk melakukan penuntutan.

“Kewenangan penyidikan hanya diberikan kepada Polisi. Sedangkan kewenangan penuntutan menjadi domain Jaksa.

Terkait adanya usulan memberikan kewenangan pada jaksa untuk melakukan penyidikan agar dapat mengatasi terjadinya bolak-balik berkas perkara, kata Sadjijono bukanlah solusi tepat. Sebab, hal itu bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional.

“Masing masing institusi sudah memiliki kewenangannya masing- masing. Jika ini diterapkan, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan,” imbuhnya.

Sebelumnya, penggagas SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Malang. JE ditetapkan tersangka oleh Penyidik Polda Jatim atas tuduhan pencabulan terhadap SDS (28) tahun, alumni di SPI Kota Batu.

Pada 16 September 2021, berkas pemeriksaan JE oleh penyidik dilimpahkan kepada Kejaksaan Tinggi Jatim. Akan tetapi, pada 23 September 2021, berkas dikembalikan lagi ke penyidik karena dinyatakan jaksa belum memenuhi pasal sangkaan.

Berkas kedua kembali diterima pihak kejaksaan untuk diteliti pada tanggal 3 Desember 2021, namun setelah diteliti kembali masih ditemukan sejumlah petunjuk yang belum dipenuhi oleh penyidik Ditreskrimum Polda Jatim.

Karena dua kali berkas dikembalikan oleh Jaksa, JE kemudian mengajukan upaya hukum praperadilan yang dimaksudkan untuk memperjelas status hukum yang saat ini masih terkatung-katung. (Han)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait