JAKARTA, beritalima.com | Pemerintah ingin bergerak cepat dalam mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan impor bahan bakar minyak. Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan menerapkan kebijakan kewajiban biodiesel 20 persen atau B20.
“Kita ingin lebih cepat dan mulai dari B20 ini kita ingin mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan juga yang paling penting kita ingin mengurangi impor minyak kita,” ujar Presiden dalam pengantar rapat terbatas tentang pembahasan mengenai kebijakan B20.
Senin, 12 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo bersama dengan jajaran terkait kembali menggelar pembahasan mengenai kebijakan B20 tersebut dalam rapat terbatas yang digelar di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Kepala Negara, dalam rapat yang digelar di Kantor Presiden, Jakarta, pada Senin, 12 Agustus 2019, tersebut kembali mengingatkan jajarannya bahwa dengan penerapan kebijakan tersebut secara konsisten maka terdapat potensi penghematan anggaran negara hingga mencapai USD5,5 miliar per tahun.
Selain itu, penerapan tersebut juga dapat menimbulkan efek berganda bagi permintaan akan pasar sawit di pasar domestik yang pada akhirnya dapat memberikan keuntungan bagi industri kelapa sawit nasional.
“Yang tidak kalah pentingnya, penerapan B20 juga akan menciptakan permintaan domestik akan CPO yang sangat besar yang kita harapkan menimbulkan multiplier effect terhadap 17 petani, pekebun, dan pekerja yang ada di (industri) kelapa sawit,” tuturnya.
Selanjutnya, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa dirinya ingin agar pada awal tahun mendatang kebijakan tersebut semakin meningkatkan standarnya hingga menjadi B30 atau campuran 30 persen biodiesel dengan 70 persen bahan bakar minyak jenis solar. Di waktu-waktu mendatang, penggunaan bahan bakar fosil diharapkan dapat semakin dikurangi.
“Saya juga ingin agar B20 ini nanti pada Januari 2020 itu sudah pindah ke B30. Selanjutnya nanti di akhir 2020 sudah meloncat lagi ke B50,” ucapnya.
Selain meningkatkan kualitas lingkungan, penggunaan biodiesel tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan posisi tawar yang besar bagi Indonesia terkait dengan produk kelapa sawit nasional. Produksi minyak sawit yang melimpah di Tanah Air dapat diserap sebagai bahan baku penerapan kebijakan tersebut sehingga dapat mengangkat harga CPO di pasar global.
“Tekanan terhadap kelapa sawit kita saya kira perlu diantisipasi dari dalam negeri sehingga kita memiliki sebuah bargaining position yang baik, baik terhadap Uni Eropa maupun negara-negara lain yang mencoba untuk membuat bargaining position kita lemah,” kata Presiden.
Lebih jauh, Presiden juga meminta jajarannya untuk mendalami kemungkinan pengolahan minyak sawit menjadi bahan bakar “avtur hijau”. Produksi avtur hijau tersebut diharapkan juga dapat mengurangi defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan melalui penurunan impor minyak atau produk minyak.
“Saya mendengar CPO ini juga bisa dibuat avtur. Tolong ini ditekuni lagi lebih dalam. Kalau itu bisa (dapat) mengurangi impor avtur kita sehingga defisit neraca perdagangan, defisit neraca transaksi berjalan, kita akan semakin baik,” ucapnya.
Ia pun memberikan peringatan kepada jajarannya bahwa implementasi kebijakan ini di lapangan akan langsung diawasi sendiri olehnya. Ia juga meminta jajarannya agar memberikan komitmen penuh dalam menyukseskan kebijakan pemerintah tersebut.
“Perlu saya sampaikan di sini bahwa saya akan cek langsung urusan yang berkaitan dengan penggunaan B20 ini termasuk nanti kalau meloncat ke B30,” tandasnya. (rr)