SURABAYA, Beritalima.com|
Multilateralisme di dunia telah banyak berkembang dan mencakup beragam isu global, dari ekonomi, lingkungan, keamanan, hingga lainnya. Acapkali, sebuah forum internasional dapat memasukkan isu di luar fokus bahasannya. Salah satunya adalah forum ekonomi global G20 yang akan diadakan di Bali, 15-16 November 2022. Sebagai tuan rumah, harapan jatuh ke Indonesia sekaligus menjadi peredam konflik Rusia-Ukraina.
Salah seorang dosen Ilmu Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga, I Gede Wahyu Wicaksana S IP M Si Ph D, mengatakan bahwa dirinya tidak seoptimis itu. Menurutnya, apabila G20 memiliki peran dalam keamanan dan perdamaian internasional, seharusnya konflik Rusia-Ukraina dapat dicegah sejak awal. Namun, nyatanya tidak demikian.
“Saya kira terlalu misleading. Selesaikan dulu urusan terpenting yang menjadi alasan pembentukan dan tujuan awal,” tutur Wahyu.
Minimnya Ambisi Agenda Kebijakan Luar Negeri
Menurut Wahyu, G20 juga harus dilihat dari sudut pandang realis dimana idealnya kepentingan Indonesia dapat terpenuhi melalui forum ini. Menurutnya, dengan posisi dan kepentingan Indonesia yang masih samar, strategi dalam mendamaikan konflik skala global seperti ini rentan diragukan.
“Kalau (Jokowi, Red) sekadar pidato, nggak mungkin nggak pidato. Let’s make peace, let’s cooperate. Semua lalu tepuk tangan. Tapi setelah itu siapa peduli?,” ujar alumni doktor University of Western Australia tersebut.
Wahyu kemudian mengatakan bahwa Jokowi hendaknya dapat mendefinisikan konsep dan mobilisasi sumber daya terlebih dahulu apabila istilah ‘pencetus perdamaian’ itu ingin diwujudkan. Mediokritas kebijakan luar negeri ini tercermin pula pada minimnya konkretisasi agenda internasional Jokowi jilid II. Dalam skala regional saja, tidak nampak strategi yang akan diambil Indonesia terkait visi masa depan kawasan misalnya Asia Tenggara hingga Indo-Pasifik.
Dalam konteks konflik Rusia-Ukraina, Indonesia hanya menyatakan dukungan terhadap Resolusi Sidang Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berarti secara tidak langsung mendukung Ukraina. Meski demikian, hal ini tanpa disertai pernyataan dukungan terhadap Ukraina atau kecaman ke Rusia secara spesifik.
Nonblok Bukan Berarti Tanpa Sikap
Wahyu kemudian menyorot bagaimana identitas Indonesia sebagai negara nonblok bukan berarti tanpa sikap. Prinsip bebas aktif dalam politik luar negeri juga memiliki maknanya sendiri. Bebas berarti bebas memilih cara memenuhi kepentingan nasional. Sementara aktif berarti giat memperjuangkan suatu prinsip dan tidak sekadar menjadi penonton semata.
“Nonalignment (gerakan nonblok, Red) ini alat atau tujuan? Kalau gini, kan, nonalignment jadi tujuan, alatnya, ya, sikap mencla-mencle ini. Tujuan kita harusnya mencari partner paling menguntungkan, dan nonalignment sebagai alat mencapai itu,” kritik pakar studi pertahanan kontemporer tersebut.
G20 merupakan forum pertemuan 20 negara dengan perekonomian tertinggi di dunia, termasuk Indonesia. Agenda rutin G20 umumnya meliputi kerja sama ekonomi dan finansial global dan dibentuk untuk memulihkan krisis ekonomi. Bertemunya Putin dan Biden, Wahyu pandang, hanya akan menjadi urusan seremonial belaka.
“Pertemuan itu hanya simbolik. Padahal permasalahan mendasar struktural itu apa bisa selesai? Justru ini persoalannya,” tukas Wahyu. (Yul)