Prof Andi Agustang : Ati Macinnong Memilih Kepala Desa

  • Whatsapp

Era regulasi UU No.6/2014 tentang desa merupakan proses sirkulasi elite di tingkat lokal, memiliki pesona politik dan daya tarik luar biasa, sehingga banyak generasi muda desa yang sudah meraih gelar akademik, ikut bertarung pilkades digelar serentak.

Masuknya petarung muda usia dan sukses pada pilkades serentak dalam demokrasi pada tingkat lokal, memberi nuansa dan dinamika demokrasi politik lokal. Demikian ditegaskan anggota Mediasi Center Kantor Gubernur Sulsel, Prof. Dr.Andi Agustang, M.Si pada sosialisasi pilkades serentak di Aula Kantor Bupati Soppeng, Jumat 29 April 2016.

Dijelaskanm pesona kekuasaan diburu oleh para petarung itu, membuat para calon menempuh semua cara, taktik dan starategi guna memenangkan pertarungan. Cara itulah yang diterapkan di tengah para pemilih agar mampu meraih dukungan masyoritas, tegas Ketua Prodi S3 Sosiologi PPs-UNM ini.

Pemilih juga harus memahami peran dan posisinya selaku pihak yang menentukan kemenangan pilkades dalam perebutan kekuasan politik. Kesadaran politik pemilih masih perlu ditingkatkan, agar penentuan pilihan politik betul-betul sesuai dengan apa yang terbetik dalam lubuk hati (ati macinnong) yang terdalam, tandas Puto Sabang gelar yang diberikan Ammato Kajang kepada Andi Agustang.

Tarikan kepentingan sesaat dalam pilkades, sehingga pemilih tidak perlu habis-habisan mengeluarkan energi mengikuti seluruh tahapan. Pemilih juga jangan sampai terpancing, hanya karena janji dan kepentingan sesaat, lantas memutus hubungan kekerabatan dan kekeluargaaan sudah terjalin cukup lama, tegasnya.

Demokrasi lokal

Demokrai lokal di kalangan masyarakat Bugis mengenal beberapa cendekiawan yang memiliki pemikiran yang masih tetap dapat direfleksikan dalam kehidupan demokrasi lokal.

Kajaolaliddo seorang cendekiawan Kerajaan Bone di masa lalu, memberi nasihat kepada putra bangsawan Kerajaan Bone akan naik tahta, dikatakan ada lima hal pokok syarat yang harus dimiliki para pewaris kerajaan itu yakni;1.Lempuk-e nasibawangi tauk (kejujuran disertai takut). 2. Adatongennge nasibawangi tikek (berkaka benar disertai waspada); 3. Sirik-e nasibawangi getteng (sirik disertai ketegasan); 4.Awaraningengnge nasibawangi cirinna (keberanian disertai kasih sayang); 5. Akkalenge nasibawangi nyamekkininnawa (kecerdasan disertai kebaikan hati nurani), tegas putra kelahiran Bone in.

Kekuasaan raja di dalam wilayah kekuasaan Arungpone, tetap dikontrol secara ketat oleh Dewan Adat, seperti Adek Pitue. Tingkah laku, perbuatan dan kebijakan raja yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar yakni; lempuk. ada tongeng, getteng, sipakatau dan mammpesona ri dewata seuwae, atau melanggar norma-norma hukum dan panggadereng, dapat berakibat diturunkannya raja dari rahta (ripalessok), diusir dari negerinnya (ripaoppangi tana atau, risorong rakko lopinna), atauka riuno.

Sejarah politik Tana Bugis terutama di Kerajaan Bone mencatat, ada dua raja dipalessok (diturunkan), karena perilaku dan sikap pemerintahan yang tidak sesuai dengan panggaderreng, sehingga kedua raja itu terbunuh oleh rakyatnya sendiri. Menurut Mattulada dalam buku Latoa, hal 433, terbunuhnya raja Bone ke-8, Matinroe ri Addenenna dan Raja Bone ke-6 Matinroe ri Itterung, membuktikan bahwa masalah berontak dan melawan raja karena berbuat kesewenang-wenangan dan lalim bagi Orang Bugis, dan malahan membunuh raja adalah mungkin dan dapat dilakukan, kalau hal itu dipaksakan oleh keadaan, bahwa raja telah mendorong kepada rakyat suatu keadaan yang tanpa kepastian.

Arung Bila

Pemikiran cerdas dari cendekiawan asal Soppeng dimasa lalu, La Waniaga Arung Bila. Nasehatnya soal demokrasi lokal malah melewati ruang dan waktu dan masih tetap aktual dan faktual di era kekinian dalam praktek demokrasi lokal pada pilkades. Dia mengatakan dalam lontarak:

‘’Makkedatopi Arung Bila: eppak-I uwangenna paramata mattappak; seuwani, lempuk-e; maduanna, ada tongengnge sibawa tettek-e; matelunna, sirik-e sibawa getting; mkaeppakna, akkalengnge sibawa nyameng (k) ininnawa. Naiya sampoengngi lempuk-e, gauk bawangnge; naiya sampoengi adatongengnge, belle; naiya sampoengi sirik-e, ngowae, naiya sampoengngi akkalengnge, paccairengnge. (Matthes, 1972:24 dalam Ibrahim).

Berkata Arung Bila, terdapat empat macam ‘permata bercahaya’ yaitu, lempuk (kejujuran), adatongeng (kata-kata benar beserta ketetapan hati; sirik beserta keteguhan pada prinsip dan akal pikiran disertai kebaikan hati. Adapun yang menutupi kejujuran adalah kesewenang-wenangan, yang menutupi kata-kata benar adalah kedustaaan, yang menutupi sirik adalah ketamakan, dan yang menutupi akal pikiran adalah kemarahan, tegas

Pilkades serentak dianggap sebagai sebuah rutinitas sirkulasi elite lokal yang berlangsung sekali dalam enam tahun. Aktor politik yang ingin maju bertarung dalam pilkades harus maju dengan membawa konsep serta visi dan misi yang jelas. Selain itu para calon yang akan maju perlu memahami dan mengerti petuah kearifal lokal dari cendekiawan Bugis di masanya yang masih tetap televan dengan kondisi kekinian. (ulla/yahya)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *