SURABAYA – beritalima.com, Ahli Hukum Perdata, Prof Dr Basuki Resko Wibowo didatangkan dalam sidang perbuatan melawan hukum dengan nomer perkara 1090/Pdt.G/2022/PN.Sby antara Sie Prabowo Wahyudi dan Fenny Indrawati Sukimin melawan Cicik Permata Dias Suciningrum, Mohammad Sutomo Hadi, Enni Widjaja dan Ratna Wijaya di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (23/7/2023).
Prof Dr Basuki Resko Wibowo yang adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta ini dan pernah menjabat sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tersebut didatangkan oleh pihak Tergugat Enni Widjaja dan Ratna Wijaya melalui kuasa hukumnya Satria Ardyrespati Wicaksana dari kantor hukum Johanes Dipa Widjaja.
Dalam keterangannya Prof Basuki mengatakan gugatan yang sudah memenuhi persyaratan ne bis in idem (perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya), maka harus dinyatakan tidak bisa diterima atau ditolak.
Menurut ahli, ne bis in idem itu adalah asas yang bersifat universal dalam praktik peradilan di manapun termasuk di Indonesia, tidak terkecuali dalam perkara perdata.
“Dalam perdata itu penormaannya ada di Pasal 1917 KUH Perdata, ditindaklanjuti beberapa Surat Edaran dari Mahkamah Agung (MA) serta dipraktikkan secara konsisten dalam banyak putusan MA,” ungkap ahli dalam sidang yang digelar di ruang Kartika 2 Pengadilan Negeri Surabaya.
Ahli kemudian menjabarkan tentang adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, namun di kemudian hari apabila diajukan oleh pihak yang sama, dengan obyek yang sama, dengan alasan yang sama, serta uraian peristiwa hukum yang sama, maka gugatan yang telah diajukan itu sifatnya ne bis in idem.
Ahli juga diminta menjelaskan adanya persyaratan tertentu terkait gugatan perdata dikatakan ne bis in idem.
Menurut ahli, untuk memastikan apakah gugatan yang dimohonkan itu ne bis in idem dengan putusan pengadilan terdahulu, tinggal dibandingkan saja, apple to apple. Membandingkan gugatan yang baru itu dengan gugatan sebelumnya yang telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap.
“Lalu sebagai parameternya, apakah pihaknya sama, apakah objeknya sama, apakah alasan hukumnya sama. Apabila hal itu terpenuhi, maka hal itu bisa dikatakan ne bis in idem. Hal ini ditegaskan berulang kali di dalam putusan MA yang telah menjadi yurisprudensi,” jelas ahli.
Namun begitu, kata ahli, meski sudah memenuhi syarat ne bis in idem, seseorang masih bisa mengajukan gugatan. Karena pengajuan suatu gugatan adalah hak setiap orang dan pengadilan tidak boleh menolak walaupun alasan hukumnya tidak jelas. Hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman.
Pengadilan akan tetap meregister perkara itu, menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa gugatan, memanggil pihak-pihak yang berperkara, serta menjatuhkan putusan.
“Dalam proses pemeriksaan perkara itulah akan diketahui, baik melalui proses jawab menjawab, atau melalui proses pembuktian, apakah perkara yang diajukan tersebut sebelumnya sudah pernah diputus pengadilan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau tidak,” papar ahli.
Sambung ahli, untuk memastikannya, tentu dalam persidangan yang baru inilah menjadi kewenangan majelis hakim yang memeriksa perkara untuk menilai apakah gugatan baru yang dan kemudian disidangkan tersebut masuk dalam klasifikasi sebagai ne bis in idem ataukah tidak. Dengan cara membandingkan dengan putusan hakim sebelumnya.
“Apabila gugatan baru yang diajukan tersebut memenuhi prinsip ne bis in idem, maka terhadap gugatan yang baru itu tidak dapat diterima atau haruslah ditolak,” sambung ahli.
Ahli juga diminta menjelaskan apakah pengajuan dan pemeriksaan terhadap gugatan yang baru dapat menunda pelaksanaan eksekusi terhadap gugatan sebelumnya yang telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap,?
Ahli menjawab, putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dengan amar yang bersifat condemnatoir dapat dimohonkan eksekusinya melalui Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang yang memutus perkara tersebut di tingkat pertama. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR maupun ketentuan hukum lainnya yang terkait.
Eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap merupakan jaminan untuk mewujudkan asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Serta selaras dengan asas peradilan diselenggarakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
“Gugatan baru yang diajukan terhadap subyek yang sama serta terhadap obyek eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak menunda atau membatalkan eksekusi. Eksekusi harus tetap dijalankan sesuai dengan
ketentuan ketentuan eksekusi,” jawab ahli.
Dikatakan ahli, penundaan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap hanya karena adanya gugatan baru yang ne bis in idem, bertentangan dengan peraturan perundang undangan, melanggar asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan
serta tidak sesuai dengan asas peradilan diselenggarakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
Selain gugatan baru, penggugat juga mengajukan PK ke MA terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap pihak pihak yang sama, obyek sengketa yang sama, dengan alasan yang sama.
Ahli mengatakan, adanya inkonsistensi sikap hukum Penggugat. Oleh karena di satu pihak yang bersangkutan mengajukan PK, namun pada waktu yang sama yang bersangkutan mengajukan gugatan baru ke PN.
Perlu diketahui, Mahkamah Agung sebelumnya sudah menolak gugatan yang diajukan para penggugat melalui putusan yang dijatuhkan pada 2 Juni 2022 lalu. Dalam gugatannya, penggugat mendalilkan bahwa jual beli yang dilakukan antara Poediastuti/Penjual Pemberi Kuasa dengan almarhum Widjaja/Pembeli orang tua dari tergugat Enni Widjaja dan Ratna Wijaya terhadap objek tanah Lingkungan Rangkah, Kecamatan Tambaksari, Kotamadya Surabaya seluas 7090 meter persegi tidak sah. Faktanya, tergugat memiliki Akta Perjanjian (Tentang Pengikatan Jual Beli) Nomor 9 dan Akta Kuasa Nomor 10, tertanggal 9 November 1990 yang dibuat di hadapan Notaris Raden Soejono, SH. (Han)