SURABAYA, beritalima.com|
Melansir akun Instgaram mola news id, pengomposan manusia adalah metode baru dalam menangani orang mati. Metode itu dianggap unggul jika dibandingkan dengan pemakaman tradisional dan kremasi dari sisi dampaknya terhadap lingkungan. Metode baru tersebut telah legal di negara Colorado, Oregon, Vermont, Washington, dan Amerika.
Pengomposan manusia dilakukan dengan meninggalkan tubuh dalam wadah berisikan serpihan kayu dan bahan organik lainnya selama sekitar satu bulan. Kemudian memanfaatkan bakteri untuk menjadi kompos.
Dari Gizmodo, proses penguburan di California membutuhkan tiga galon bahan pembalseman untuk tiap jasadnya seperti formaldehida, metanol, and etanol. Sedangkan proses kremasi menghasilkan lebih dari 500 pound (227 kilogram) karbondioksida dari proses pembakaran satu jasad.
Pembakaran itu sendiri menghabiskan energi yang setara dengan dua tangki bensin. Di Amerika Serikat, kremasi menghasilkan sekitar 360.000 metrik ton karbondioksida setiap tahun.
Menurut Profesor Kesehatan Lingkungan UNAIR Prof Dr Ririh Yudhastuti drh M Sc pengomposan manusia terdapat resiko menularkan penyakit yang dibawa jasad. Selain itu, Prof Ririh mengatakan itu tidaklah lazim di agama Islam.
“Karena takutnya akan menyebarkan penyakit. Contohnya hewan yang kena penyakit antraks, rabies, atau penyakit ini (lain, Red) itu menguburnya pun kalau orang dulu menggunakan gamping. Itu artinya apa? kita mematikan mikroorganisme, parasit atau apa (dan sejenisnya. Red) baru kita kubur. Atau kalau bisa kita bakar atau kremasi. Itu fungsinya mematikan kuman-kuman yang nanti bisa tumbuh pada tanaman,” katanya.
Prof Ririh menerangkan dalam penanganan jasad terinfeksi Covid-19, tingkat penularannya tinggi. Yakni, jasad tersebut harus dikubur sedalam 3 meter atau lebih serta tidak berada di sekitar sumber air.
“Itu baru satu penyakit, penyakit lain banyak seperti HIV/AIDS dan antraks. Itu bisa menularkan pada tanaman di atasnya. Terus beberapa ayam (burung unta) yang memakan di situ seperti biji-bijian itu ada antraksnya. Walaupun dia tidak terkena antraks, tapi DNA-nya ada (antraks. Red),” terangnya.
Menurut Prof Ririh, negara seperti Colorado kemungkinan memiliki budaya dan kondisi lingkungan yang mendukung legalisasi metode pengomposan manusia.
“Jadi, mungkin hal semacam itu (pengomposan manusia) biasa disana. Dan, di sana tanahnya kan kering jadi tidak banyak ini (unsur hara),” pungkasnya. (Yul)