KUPANG, beritalima.com – Isu konservasi merupakan sebuah cara pelestarian lingkungan baik lingkungan daratan maupun perairan. Paham konsevasi perairan laut merupakan upaya reflikasi sebenarnya. Paham konservasi itu direflikasi dari negara – negara utara yang mana konservasi klasik dinilai bahwa merupkan satu program yang dinilai bahwa ini khusus untuk pelestarian lingkungan. Sehingga direflikasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dikenal sebagai kepulauan terbesar. Demikian disampaikan Koordinator Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur (NTT), Umbu Tamu Ridi dalam materinya saat diskusi bersama Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI) NTT, pada Senin (6/2/2017) siang. Umbu Ridi mengatakan, upaya reflikasi ini dibawa sangat mengancam keadaan nelayan tradisional di Indonesia. Kita mengetahui bahwa karakteris negara kepulauan akhirnya Indonesia menargetkan kawasan – kawasan peraiarn seluas 20 juta hektare (Ha). Program konservasi di Indonesia dilakukan mulai 2004 – 2011 dimana pada periode ini merupakan program rehabilitasi pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh Kementerian Kelauan dan Periknan RI. “ Ini dinilai bahwa paham konservasi dari negara – negara utara direflikasi di Indonesia mengancam keberadaan nelayan tradisional salah satunya adalah nelayan tradisional Lamalera, kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur”, jelasnya.Menurutnya, Lamalera dinilai bahwa merupakan satu kelompok masyarakat desa yang sudah perjalanan tradisonal mereka dalam memburu ikan paus sudah sebelum Indonesia merdeka. “ Ketika kita tinjau bahwa keadaan tradisional yang ada di sana patut dilindungi. Tentunya bagaimana untuk melihat upaya konservasi yang dilakukanoleh pemerintah untuk tidak mengkapling semua yang menjadi wilayah tangkapdan perburuan ikan paus oleh masyra tradisional”, katanya.
Ia menambahkan, saat ini kita menuai suatu problematika progam konservasi. Dari target konservasi sebesar 20 juta Ha dan reflikasi paham konervasi negara tetangga ke negara bagian selatan menuai problematika, yaitu 1) ruang penangkapan perburuan dan jenis tangkap nelayan semakin kecil, 2) nelayan tradisional dan kearifan lokal yang dijalankan secara turun temurun akan dipinggirkan. “ Ini dua problematika dasar dalam upaya konservasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan target konservasi mereka mencapai 20 juta Ha di Indonesia pada tahun 2020. Ini juga yang menjadi problematis mendasar yang sangat membahayakan atas eksistensi nelayan tradisional. Dari upaya konservasi dan juga program – program pemerintah yang mengancam terkait eksistensi keadaan nelayan tradisional”, ujarnya Karena itu kata dia, Walhi NTT meminta bagaimana program konservasi dilakukan pada 2014 sampai 2020, harus mempertimbangkan aspek kearifan lokal pada masyarakat. itu yang menjadi acuannya terutama pada masyarakat di Lamalera.Umbu Ridi mengatakan supermasi hukum memberikan jaminan bagi masyaraat nelayan tradisional. Jaminan itu sekiranya menguatkan perlindungan hukum bagi nelayan tradisional salah satunya UUD 1945 pasal 18 (b) dengan mengakui, menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat umum adat beserta hak – hak tradisional sepanjang masih hidup. Menurutnya, cerita budaya Lamara itu sangat menarik. Diketahui ada istila ketika Lamafa (orang yang juru tombak) nelayan Lamarea ketika melakukan perburuan ikan paus, kata – kata yang mereka sampaikan itu dengan harapan bahwa perburuan mereka ini bukan untuk perut sendiri tetapi janda dan anak – anak terlantar. “ Jadi ada ucapan tradisional yang disampaikan pada saat menikam ikan paus. Itu wajib disampaikan pada saat atrasksi pelaksanaan pembunuhan ikan paus. Ini satu kata bagi kita bagaimana untuk melestarikan kearifan loka ini, bahwa kearifan lokal dan juga kaitnya dengan Lamalera, dia punya posisi sentral bagaimana untuk menghidupi keadaan masyarakat – masyarakat sekitarnya. Ada ada hukum adat yang berlaku di sana”, kata Umbu menjelaskan. Selanjutnya dia mengatakan, karakteris pasal 18 (b) UUD 1945 ketika kita reflikasinya di dalam keadaan kearifan lokal ini sangat menjamin keadaan itu
bahwa pasal 18 (b) UUD 1945 melihat bahwa tradisional sepanjang masih hidup.“ Bagi kita melihat pasal 18 (b) merupakan satu rujukan untuk bagaimana bisa mengaplikatifkan di dalam Perda untuk mengakui. Jadi target dari pada pasal 18(b) UUD 1945 bagaimana kearfian lokal itu tetap utuh di NKRI. Tetapi tetap menjaga kelestarian dan ramah lingkungan”, kata Umbu Ridi menambahkan.
(ang)