Beritalima.com《 Banda Aceh-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh merespon kebijakan Pemkab Nagan Raya dan semua pihak, dalam upaya perluasan Wilayah Kelola Rakyat (WKR) dalam bentuk pengalokasian tanah untuk lahan pertanian dan perkebunan bagi mantan kombatan GAM, Tapol/Napol dan Imbas konflik di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya.
Pengalokasian tanah tersebut merupakan mandat dari Nota Kesepakatan Damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (MoU Helsinki), tepatnya di poin 3.2.5.
Pengalokasian tanah untuk lahan bagi mantan kombatan, Tapol/Napol dan imbas konflik selaras dengan misi WALHI, untuk menyelesaikan konflik agraria, kedaulatan petani, ketahanan pangan, peningkatan ekonomi, dan pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan lestari.
Selama ini WALHI Aceh menggunakan model Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Utara, Gayo Lues, dan Aceh Selatan.
Berdasarkan SK Bupati Nagan Raya Nomor 590/140/Kpts/2021 tentang penunjukan calon lokasi tanah untuk lahan pertanian bagi mantan kombatan, tapol/napol dan imbas konflik dalam Kabupaten Nagan Raya di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Bupati Nagan Raya mengusulkan lahan seluas 1.000 hektar.
Kemudian Berdasarkan SK Bupati Nagan Raya Nomor 590/445/Kpts/2021 tentang penetapan nama – nama calon penerima yang ditetapkan pada 13 September 2021, terdapat 389 orang sebagai penerima manfaat dari lahan tersebut.
WALHI Aceh mendapatkan informasi bahwa luas yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui sertifikat bersama sebagai alas hak tidak sesuai dengan luasan yang diusulkan oleh Bupati Nagan Raya. Namun WALHI Aceh belum mendapatkan informasi secara resmi dari BPN Nagan Raya meskipun surat permohonan informasi telah dikirimkan.
Tidak hanya WALHI Aceh, warga sebagai penerima manfaat juga tidak mendapatkan salinan sertifikat tersebut. Justru yang terjadi, ada pihak yang mempengaruhi warga untuk memberi persetujuan pengambilan kayu di lahan yang dialokasikan tersebut.
Pengambilan kayu ini seiring dengan rencana pendirian sawmill dan warga juga mengakui alat berat sudah berada di lokasi. Ada sekitar 50 orang lebih yang telah menerima uang untuk persetujuan pengambilan kayu, masing – masing mereka mendapatkan dana Rp 2,5 juta rupiah.
Kondisi ketidakterbukaan terkait legalitas dan program yang akan dijalankan pada tanah untuk lahan pertanian bagi mantan kombatan, Tapol/Napol dan imbas konflik di Beutong Ateuh Banggalang merupakan bagian dari pembodohan rakyat. Karena warga hanya mendapatkan manfaat jangka pendek, sedangkan manfaat jangka panjang didapatkan oleh oknum pemilik modal.
Sehingga cita – cita damai sebagaimana yang diharapkan tidak akan terwujud, justru akan terjadi konflik sosial di tengah masyarakat. Juga akan berdampak terhadap lingkungan hidup akibat dari hilangnya tutupan hutan dan lahan.
Jika seperti ini polanya, wajar kemudian jika masyarakat menduga pengalokasian lahan tersebut bagian dari misi untuk memuluskan rencana izin usaha pertambangan di Beutong Ateuh Banggalang.
Menariknya, berdasarkan hasil overlay data SK Bupati Nagan Raya dengan rencana izin PT Bumi Mineral Energi (BME), ada 877,25 hektar lahan mantan kombatan yang hendak diambil kayu tersebut, masuk alam areal rencana izin PT BME dari total luasnya 3.305 hektar.
Karena selama ini salah satu alasan masyarakat Beutong Ateuh Banggalang menolak tambang yaitu untuk mempertahankan sumber air dan penghidupan dari alam. Jika kemudian hutan rusak, maka tidak ada alasan lagi bagi masyarakat untuk menolak tambang.
Sawah akan kering, kualitas air sungai menurun, sumber kehidupan akan hilang, dan akan hilang nilai – nilai sejarah yang selama ini mereka pertahankan, terlebih secara tata ruang Beutong Ateuh Banggalang merupakan kawasan rawan bencana.
Untuk itu, WALHI Aceh mendesak Bupati Nagan Raya untuk mengevaluasi kembali program tersebut sesuai dengan tujuan pemberian hak serta penerima manfaat mendapatkan informasi yang cukup terkait hak dan kewajiban dalam pemanfaatan lahan tersebut.
Sehingga mereka dapat menggunakan lahan untuk manfaat jangka panjang sesuai dengan semangat perdamaian Aceh melalui pola pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture).
Juga mendesak Polda Aceh dan Polres Nagan Raya untuk mengusut kasus tersebut, karena diduga tidak mentaati ketentuan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai sifat dan tujuan pemberian hak serta rencana tata ruang.
Karena program tersebut tidak terlepas dari Proyek Strategis Nasional yaitu Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Dalam Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria, diatur kewajiban memelihara kesuburan dan produktivitas tanah; melindungi dan melestarikan sumber daya di atas tanah; dan menggunakan tanah sesuai dengan kemampuan tanah. Serta melarang mengalihkan hak atau mengalihkan fungsi TORA.”(A79)