JAKARTA, beritalima.com | Lokalisasi prostitusi di DKI Jakarta sudah berakhir pasca-penutupan Kalijodo. Tapi itu bukanlah akhir dari bisnis esek-esek di Jakarta. Para pengguna dan penyedia jasa prostitusi bisa tetap bertransaksi, dalam pola berbeda.
Prostitusi, merupakan bisnis ilegal di Indonesia termasuk di Jakarta. Tapi praktik itu bisa ditemui di bisnis legal yang berbentuk salon, panti pijat dan spa, karaoke, juga bar dan kelab malam.
Di sini, aktivitas bisnis hiburan dan kebugaran itu bisa berubah jadi jasa plus-plus, karena pelanggan akan ditawari layanan tambahan dengan transaksi di bawah tangan alias dibayar tunai sehingga tak tercatat di pembukuan. Layanan tambahan itu adalah hubungan seks.
Bisnis hiburan dan kebugarannya sendiri, merupakan usaha legal di Jakarta. Bahkan memberikan sumbangan pendapatan daerah.
Berdasarkan laporan APBD DKI Jakarta, selama 2018 realisasi pajak hiburan mencapai Rp 834 miliar, dari target Rp 900 miliar. Di 2017, realisasi penerimaan pajak hiburan berhasil mencapai target 100 persen atau sebesar Rp 750 miliar.
Komponen objek pajak ini merupakan yang terbanyak di Jakarta. Mulai dari tontonan film, pagelaran seni, pameran, diskotik dan karaoke, hingga panti pijat dan spa.
Tarif pajak yang dikenakan untuk masing-masing komponen hiburan tersebut juga berbeda. Tapi yang tertinggi adalah tarif pajak untuk diskotik, karaoke, kelab malam, pub, bar, live music, hingga live music dengan DJ, yakni sebesar 25 persen.
Mengutip data ‘pasar hitam’ global, Havocscope, perputaran uang dari transaksi prostitusi di Indonesia disebutkan berada di peringkat ke-12, dari 24 negara yang diteliti. Transaksi prostitusi di Indonesia diklaim Havocscope mencapai USD 2,25 miliar atau sekitar Rp 32 triliun per tahun.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira mengatakan, perputaran uang pada bisnis remang-remang ini bisa saja mencapai puluhan triliunan rupiah per tahunnya.
Untuk meminimalisir kehilangan potensi pendapatan, pemerintah memiliki dua pilihan. Pertama, melegalkan bisnis prostitusi agar bisa memungut pajaknya. Kedua, pemerintah bisa membatasi aktivitas bisnis ilegal tersebut.
“Kalau pilihannya melegalkan bisnis remang-remang untuk dipajaki, berarti menabrak UU KUHP. Jadi idealnya bukan dilegalkan, tapi aktivitasnya justru yang dibatasi,” katanya.
Bhima mencontohkan, pemerintah bisa menggencarkan sosialisasi agar para PSK bisa beralih profesi menjadi pekerja legal yang lebih menguntungkan. Dengan pembatasan bisnis prostitusi, menurutnya, lama-kelamaan perputaran uang akan kembali ke sektor formal atau legal.
“Kalau aktivitasnya dibatasi, perputaran uang di bisnis underground juga lama-lama bisa berkurang. Tapi seberapa lamanya, tergantung pembatasannya dan jumlah PSK di suatu wilayah,” ujarnya.
Terkait bisnis prostitusi yang berbentuk tempat hiburan, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin menjelaskan, dari sisi perizinan, pusat hiburan telah memenuhi regulasi pemerintah daerah. Ia tidak menyebut adanya persoalan mengenai keberadaan bisnis tersebut, termasuk adanya praktik prostitusi di dalamnya.
Karena masuk kategori industri pariwisata, Arifin menambahkan, pengawasan dan pembinaan aktivitas hiburan malam di Jakarta berada di bawah tanggung jawab Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
“Pengawasan dan pembinaan dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan,” katanya kepada kumparan.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Edy Junaedi membenarkan, pengawasan terhadap aktivitas bisnis hiburan malam hingga pusat kebugaran berada di bawah dinasnya. Namun, Edy memilih bungkam saat ditanya mengenai adanya praktik prostitusi terselubung di dalam spa dan panti pijat, karaoke, hingga kelab malam yang beroperasi di Jakarta.