SURABAYA, Beritalima.com | PSBB tahap 1 gagal. Kini dilanjutkan PSBB tahap 2, dan bisa terancam gagal juga? Mengapa?
Alasannya:
(1) penarapan PSBB sangat longgar dan tidak adanya konsep penyiapan warga;
(2) tiadanya konsep komunikasi preventif yang efektif; dan
(3) kurang maksimalnya penyiapan fasilitas kesehatan
Analysis:
Praktik PSBB dan protokol kesehatan belum diterapkan secara disiplin sesuai ketentuan. Akibatnya banyak perilaku sosial yang tidak mendukung penerapan PSBB. Masyarakat tak pernah disiapkan/ dilibatkan masimal dalam penyelanggaraan PSBB. Mereka, sebagian besar hanya sebagai sasaran program saja.
Selama ini warga hanya dianjurkan untuk di rumah saja. Dampak kejenuhan tak pernah diperhitungkan. Jika diperhitungkan, tidak diberikan solusi. Sejauh ini diminta dengan komunikasi daring/ online. Padahal ini juga sesuatu “new normal” – yang tidak mudah dilakukan, utamanya untuk generasi tua. Bukan hanya soal kemampuan mempelajari teknologinya, tetapi fasilitasnya ppun belum tentu semua warga memiliki. (lihat sejumlah kasus: kesulitan ortu membimbing putranya mengerjakan PR dari sekolah)
Komunikasi Publik, sebagai “kendali” melaksanakan PSBB dan protokol kesehatan melahirkan banyak distorsi informasi. Tidak juga disiapkan manajemen edukasi dan konsultatif, sehingga banyak terjadi penolkan (reject) atas pesan yang disampaikan ke warga. Fasiltas komunikasi publik hanya bertumpu pada online – yang belum semuanya (teritama orang tua) akrab dengan pola komunikasi online.
Fasilitas kesehatan yang disediakan belum mampu menampung secara ideal untuk merawat pasien COVID-19 dalam jumlah banyak. Melihat laju penambahan orang terpapar, maka RS yang tersedia bakal tak mampu menampungnya.
Rekomendasi:
Terapkan PSBB secara disiplin. Libatkan tenaga relawan terlatih (seperti Pramuka, PMR, dll), libatkan aktivis masyarakat – untuk diturunkan ke masyarakat. Berikan latihan singkat dan massif kepada para Tim Pendamping (kalangan relawan). Tugaskan mereka untuk memberikan edukasi dan konsultasi melakukan penerapan protokol kesehatan secara optimal.
Selenggarakan Manajemen Komunikasi Publik yang efektif. Libatkan industri media (radio, televisi, koran, online), untuk menjadi komunikator pencegahan covid-19. Buat arus informasi mengalir massif ke masyarakat dengan isi panduan pesan bersama , sampai mereka menerima dan memahami serta melakukannya. Desain informasi, dan penyelenggaraan komunikasi harus terkonsep. Berikan dana memadai untuk kegiatan komunikasi kesehatan (selaras konsep promotif preventif – yang selama ini tidak berjalan dengan baik)
Bangun segera sarana kesehatan. Mulai dari sarana kebersihan umum, rumah sakit, dan fasilitas sejenisnya. Termasuk tenaga medis yang memadai. Segera memanfaatkan ruang-ruang gedung tertentu untuk rumah sakit darurat.
“Pemerintah tak perlu sungkan untuk meminta bantuan kepada kalangan media, akademisi, aktivis sosial untuk terlibat dalam menjalankan PSBB maupun protokol kesehatan. Hanya dengan keserentakkan tindakan yang didukung semua elemen, maka kebijakan PSBB dan anjuran protokol kesehatan dapat berhasil”.
Surabaya, 25 Mei 2020
Suko Widodo, Dosen FISIP dan pakar ilmu komunikasi dan politik Universitas Airlangga