Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Gegap gempita menyambut Ramadhan sudah terasa sejak bulan Rajab. Doa yang diucapkan oleh setiap Imam selesai salat, yaitu “Allahumma barik lana fi Rajaba wa Sya’bana, waballighna Ramadhan”, seolah menjadi pertanda kerinduan kaum muslimin terhadap kehadiran bulan suci ramadhan. Banyak di antara kita memang tidak bisa sampai menemui bulan suci ini. Karena banyak di antara kita yang karena harus meninggal lebih dulu tidak bisa bersama-sama dalam keceriaan di bulan nan penuh berkah ini.
Maka tiada kalimat yang paling utama kita ucapkan selain kalimat puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas nikmat iman dan islam serta kesehatan dan kesempatan sehingga dapat menjumpai bulan Ramadhan sekaligus dapat berpuasa dan mengisinya dengan amaliyah-amaliyah yang sangat dianjurkan agama.
Sebagaimana telah kita ketahui setiap ramadhan, ummat Islam menjalankan puasa wajib selama sebulan penuh, Secara fikih, ibadah ini diwajibkan dengan beberapa syarat, yaitu Islam, baligh, berakal, suci dari haid dan nifas, tidak sedang dalam musafir, serta mampu berpuasa. Dengan syarat demikian, maka memang ada orang Islam yang sekalipun sehat ada yang boleh tidak berpuasa. Yang pasti kita tidak perlu berburuk sangka jika manyaksikan saudara kita yang muslim tidak berpuasa. Sebab, bisa jadi mereka tidak berpuasa, karena memang sedang mempunyai halangan yang menyababkannya dibenarkan tidak berpuasa atau bahkan dilarang puasa. Dalam konteks demikian, kios dan toko pun tidak perlu harus tutup di siang hari karena siapa tahu ada saudara kita muslim yang kebetulan dalam perjalanan atau tidak puasa, perlu membeli beras atau air minum. Di samping itu kita sedang berada di dalam negara yang multi etnis, suku, dan agama dan karenanya kita harus hidup berdampingan. Mereka yang secara agama itu berbeda dengan kita juga memerlukan pelayanan kita. Dan, di atas semuanya, jangan sampai ibadah puasa kita menghalangi kegiatan kita mencari nafkah dan semua produktivitas kita lainnya. Jihad besar pertama kaum muslimin dengan kaum musyrikin juga terjadi di bulan Ramadhan. Dalam pengertian luas, bukankah mencari nafkah juga masuk dalam kategori jihad?
Kewajiban puasa ini mulai diwajibkan pada tahun ke-2 hijrah atau tepatnya sejak 10 Sya’ban pada tahun ke-2 Hijriah . Mulai tahun itulah Rasulullah SAW mulai menunaikan ibadah puasa Ramadhan sepanjang hidupnya. Secara historis, perintah ini terjadi setelah umat Islam diperintahkan memindahkan kiblatnya dari Masjid Al Aqsa ke Masjidil Haram.
Dan, dalam sejarah tercatat, bahwa dari awal perintah puasa Ramadhan turun hingga beliau wafat, setidaknya Rasulullah SAW telah melaksanakan sembilan kali puasa dalam sembilan tahun.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah puasa ramadhan ini datang langsung dari Allag SWT yaitu melalui firmannya dalam surat Al Baqarah ayat 183. Selanjutnya sebagai motivasi, agar umatnya dapat berpuasa dengan sungguh-sungguh, Rasulullah pun menyampaikan sabda-sabdanya lewat hadits-haditsnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Yang secara langsung seperti ketika beliau menerangkan keutamaan puasa. Seperti ketika beliau bersabda “Barang siapa berpuasa di bulan ramadhan karena iman (yakin) dan mengharap ridha Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”
Yang secara langsung seperti ketika beliau menerangkan keutamaan bulan Ramadhan, bulan tempat kita melakukan puasa., seperti ketika beliau menyebut bulan Ramadhan sebagai “syahrun mubarakun” ( bulan yang penuh keberkahan”.
Menurut Al Baqarah 183 tersebut jelas tujuan Allah memerintahkan puasa ialah agar kita menjadi orang bertakwa. Pada umumnya para Ulama memberikan difinisi takwa ialah menjalankan perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan demikian sejatinya takwa merupakan kata yang sangat singkat. Dia mudah diucapkan tetapi tidak mudah dipraktikkan. Terbukti negeri kita ini dengan dasar Pancasila juga telah menjadikan kalimat takwa ini sebagai kalimat yang masuk ke berbagai dokumen negara. Tetapi tiap hari sering kita saksikan masih sering kita dengar peristiwa korupsi, perampokan, perjudian, pemerkosaan, pembunuhan. Padahal semua agama mengajarkan untuk meninggalkan hal-hal itu, apalagi agama kita, Islam.
Olah kerana itu siapa yang takwa di antara kita, yang tahu hanyalah Allah. “Janganlah engkau menganggap dirimu sebagai orang suci, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang paling bertakwa di antara kalian”. Begitu kata Allah dalam salah satu firman-Nya.
Meskipun demikian, takwa itu ada tanda-tandanya. Kita perlu mengetahui tanda-tanda takwa itu, agar sedapat mungkin kita dapat menginternalisasi tanda-tanda itu dalam kepribadian dan perilaku kita sehari-hari. Dalam Kitab Nashaihul Ibad karya Syaikh Muhammad Nawawi al Bantani syarah dari Kitab Al Munbihat ‘alal isti’dad liyaumil ma’ad karya Ibnu Hajar al-Asqalany, ditulis bahwa menurut Sayyidina Utsman bin Affan, tanda-tanda takwa itu ada 5, yaitu:
– Pertama, tidak bergaul kecuali dengan orang yang menyebabkan agamanya menjadi baik, dapat menjaga diri dari nafsu berahi dan menjaga ucapannya.
– Kedua, jika mendapat anugerah harta benda yang besar (dunia), dia justru memandangnya sebagai musibah yang menurutnya dapat berakibat buruk karena berpotensi dapat menjerumuskannya.
– Ketiga, jika urusan akhiratnya mendapat musibah meskipun kecil, maka dianggap sesuatu yang besar.
– Keempat, tidak memenuhi perutnya dengan perkara halal, karena takut tercampur barang haram.
– Kelima beranggapan bahwa orang lain akan selamat dari siksa dan beranggapan dirinya masih termasuk orang yang celaka.
Karena kita hanya dapat mengetahui tanda-tanda, maka sekali lagi, takwa itu memang masalah yang berkaitan dengan pribadi (individual). Rasulullah SAW sendiri ketika menjelaskan masalah takwa, hanya menjawab singkat “ At taqwa ha huna”. Beliau mengatakan demikian sembari menunjuk dada beliau. Maka apakah seseorang itu bertakwa atau tidak sejatinya memang hanya Allah yang tahu dan kalau mau jujur diri kita sendiri sebenarnya juga tahu seberapa derajat ketakwaan kita masing-masing.
Meskipun takwa itu masalah individual, tetapi ternyata berefek sosial. Banyaknya kejahatan dengan aneka bentuknya yang marak di dunia ini, penyebab paling utamanya ialah karena kadar ketakwaan yang mulai hilang.
Nah, puasa yang kita lakukan selama sebulan penuh di samping untuk mendidik diri kita juga dalam rangka mengeliminasi berbagai kejahatan tersebut. Karena pribadi muttaqin tidak mungkin melakukan hal-hal jahat tersebut. Persoalannya, memang tidak semua orang bisa berpuasa dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, jangan salahkan meskipun bulan puasa, kejahatan pun juga masih tetap marak. Setan yang tidak kelihatan memang telah dibelenggu, tetapi setan yang kelihatan memang tetap bebas berkeliaran.
Semoga menjadi bahan renungan kita, selamat berpuasa.
BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang
Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com