Ramadhan Bulan Literasi

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

Satu hari menghatamkan satu juz–atau yang sering dikenal dengan istilah keren “one day one juz” (ODOJ)—merupakan kegiatan rutin K.H. Abdul Hadi di setiap ramadhan. Pengasuh pesantren di pinggiran kota Yogyakarta–yang waktu itu kecil dan kini tumbuh maju sangat pesat—itu, memang selalu menjadikannya wiridan tahunan bersama santri. Karena waktu yang digunakan pada jam-jam kuliah santri yang semuanya mahasiswa, pesertanyapun hanya sebatas santri yang kebetulan ‘nganggur’ dan beberapa orang masyarakat setempat. Bedanya dengan ODOJ sekarang, kalau sekarang ODOJ hanya dibaca biasa, oleh kiai 1 juz dibaca bersama makna perkalimat. Tidak jarang, di sela-sela membaca tersebut, kiai–yang sanad bacaan Al Qurannya dari pesantren Krapyak ( al-Maghfurlah K.H. Munawwir)—ini memperbaiki (menashih) bacaan santri dengan menyuruhnya membaca surat al Fatihah, di samping dibaca pelan juga harus tepat dalam pelafalan setiap hurufnya ( al qira’ah bit tahqiq ). Yang bacaannya belum dianggap memenuhi standar oleh beliau keesokan harinya disuruhnya mengulang sampai dinyatakan lulus. Penulis termasuk beruntung pernah mengikuti seleksi tersebut dan telah dinyatakan lulus oleh beliau. Ketika ramadhan usai, khatam pula pengajian al Qur’an terjamah itu.

Sebagai santri baru pada mulanya penulis heran mengapa kiai memilih al Qur’an sebagai kegiatan baku. Pada akhirnya penulispun mengerti hikmah di balik kegiatan yang tampak sederhana itu. Banyak ummat Islam hafal, atau tahu bahwa al Quran merupakan kitab suci yang di samping merupakan mukjizat Mumammad juga sebagai pedoman hidup ummat Islam. Kita juga sering mengusung hadits Nabi yang memberi predikat pamungkas mengenai siapa orang yang paling baik di antara kita: “Sebaik-baik kamu ialah yang membaca Al Qur’an dan mengajarkannya”. Sejumlah hadits tentang fadhilah membaca Al Quran juga sering kita obral kepada jamaah di majelis taklim. Di atas semua itu memang terdapat satu kalimat sebagai argumen, bahwa wahyu yang kia yakini sebagai yang pertama turun dimulai kata “iqra”: bacalah.
Menurut Prof. Quraish Shihab kata iqra pada ayat prtama surat al alaq diambil dari akar kata yang artinya menghimpun. Arti tersebut kemudian mengandung beragam makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca teks tertulis atau tidak tertulis. Dengan demikian, kata iqra di samping mengandung makna verbal (membaca tulisan) juga mengandung makna non verbal, yaitu membaca dalam arti luas yang berarti di samping membaca, juga mengandung perintah meneliti, mendalami, mengetahui ciri-ciri sesuatu, mempelajari alam sekitar, membaca tanda-tanda zaman, membaca hakikat diri kita masing-masing.

Dalam konteks ilmu pengetahuan dengan kata lain, wahyu pertama itu sejatinya memerintahkan agar kita selalu berliterasi. Berliterasi menjadi penting, tidak saja saat tuntutan kebutuhan manusia modern membutuhkan pengetahuan tetapi juga pengetahuan itu sendiri pada saat moderen itu memerlukan pengembangan. Sebagai contoh di zaman moderen ini banyak ditemukan penyakit modern, maka diperlukan penelitihan untuk menemukan obat. Ketika obat ditemukan tingkat kemujaraban dan akurasi obat itu, agar tidak membawa efek samping, pada akhirnya juga perlu dilakukan penelitian lanjutan. Kemajuan perlu pengetahuan memadai tetapi pengetahuan itu juga perlu mengembangkan dirinya. Dengan demikian, selagi umur dunia belum berakhir, beriliterasi merupakan suatu keniscayaan yang tiada henti pula.

Di bulan ramadhan ini budaya literasi telah terbudaya dari dari dulu sampai sekarang. Hanya saja kebiasaan itu, kalau tidak boleh disebut masih sederhana, masih belum maksimal. Kita memang boleh bangga mendengar di setiap masjid/musala setiap habis tarawih terdengar lantunan al Quran saling bersaut-sautan. Gairah masyarakat berkegiatan tilawatul quran dengan dukungan masyarakat berupa kiriman asupan takjil plus kopi panas ke masjid dan musala jelas membuat kegiatan tadarus terlihat sangat masif. Setiap masjid/ musala dalam satu bulan konon bisa mengahatamkan 6 sampai 7 kali atau bahkan lebih. Bahkan, khatam berapa kali sering masih menjadi gunjingan saat saling silaturahmi lebaran antar warga di kampng. Akan tetapi, apakah kegiatan itu sudah mempuyai nilai tambah secara ilmu dan sosial kepada masyarakat yang bersangkutan? Harus jujur kita akui belum. Gairah kita bertadarus itu, terlepas adanya reward dari sisi keagamaan, perlombaan adu cepat dan yang penting adu banyak khatam itu selama ramadhan itu, tampaknya belum memenuhi harapan tuntutan berliterasi di atas. Juga terlepas mungkin berguna dari aspek syiar, target tashih bacaan Al Quran yang dicapai dari tradisi tadarus juga tidak bisa dicapai. Kegitan yang sudah melembaga itu sering tidak menyisakan nilai tambah selain polusi suara, akibat ukuran desibel suara yang tidak terkontrol dengan baik. Di kawasan tertentu yang penduduknya sangat hiterogen—akibat kebisingan toa masjid dan musala itu—oleh kelompok masyarakat tertentu sering dirasakan sebagai malam-malam panjang selama sebulan penuh.

Pada saat yang sama selama ramadhan ini tradisi kultum yang marak di masjid musala perkotaan memang relatif bagus. Kegiatan tarawih yang semula hanya ritus mendapat nilai tambah dengan pesan-pesan agama. Akan tetapi, penampilan pembicara yang kurang kompeten sering tidak jarang menimbulkan disharmoni keilmuan masyarakat. Sebagai contoh penulis punya pengalaman, yaitu ketika penceramah itu seorang dokter. Dengan bacaan Al Quran yang masih terbata-bata, dia mencoba berbicara mengenai hukum Islam yang tidak ia kuasai. Padahal, dia akan lebih pas dan mulia jika dalam ceramahnya menyampaikan seputar dunia kesehatan dan penyakit dengan berbagai pernik-perniknya. Kondisi demikiaan masih sering diperparah oleh penampilan penceramah yang mempunyai tradisi faham keagamaan berbeda dengan masyarakat setempat. Tidak jarang pengurus masjid ribut dengan masyarakat setempat disebabkan hal-hal demikian. Di sisi lain efek negatif dari kegiatan kultum ini selain juga akan melahirkan pengetahuan instan dengan basis keilmuan yang tidak jelas juga sering melahirkan tokoh yang hanya pandai berbicara. Dalam tataran demikian kita ingat sinyalemen rasulullah SAW., bahwa di akhir zaman memang akan lebih banyak lahir para penceramah ketimbang para fukaha.

Meskipun terlihat sederhana dan bersifat rutinitas, tradisi berliterasi yang relatif baik adalah yang dilakukan di dunia pesantren. Tradisi membaca kitab tertentu dari “a” sampai “z” merupakan akitivitas keilmuan yang sebenarnya tidak boleh dipandang remeh. Aktivitas membaca kitab-kitab tertentu sampai khatam akan membuat santri tampil dengan basis keilmuan yang jelas, bukan kata si anu atau si anu. Ramadhan dijadikan momentum sebagai kilas balik pengetahuan, pendalamannya dalam aspek-aspek tertentu dilakukan di luar ramadhan.

Akan tetapi, sayangnya tradisi itupun kini juga mulai miskin peminat. Ragam aktivitas untuk menunjang ragam kebutuhan hidup, sering membuat masyarakat kurang mempunyai cukup waktu untuk mengikuti aktivitas keilmuan di atas. Padahal, tempo dulu kegiatan itu boleh dibilang program pesantren yang laris manis. Tidak hanya diikuti para santri yang kebetulan tidak pulang kampung, tetapi juga masyarakat tertentu dari luar yang concern dengan tradisi pesantren. Para kiai dan ustadz alumni pesantren pun ketika di masyarakat, tidak mengembangkan tradisi literasi demikian tetapi justru terjebak dengan kegiatan penyampaian pesan agama dengan metoda orasi. Ironisnya, sering orasi yang disampaikan, di samping tidak nyambung dengan tradisi keilmuan yang ditekuni juga sering bias, bahkan keliru pada bagian-bagian tertentu. Apalagi ketika menyampaikan pesan-pesan agama ini dia gagal bersikap bijak menghadapi masyarakat yang sering tidak berfaham tunggal. Kemiskinan ilmu psikologi masa, menyebebkannya gagal berbicara kepada masyarakat sesuai tingkat pengetahuan dan tradisinya. Padahal, dia sudah tahu jargon: khotibun nas ala qadri uqulihim ( berbicaralah kepada manusia sesuai strata akal mereka).
Sebagai penutup, ada baiknya kita simak sebuah hadits rasulullah SAW sebagai berikut:

إِنَّكُمْ قَدْ أَصْبَحْتُمْ فِي زَمَانٍ كَثِيرٍ فُقَهَاؤُهُ، قَلِيلٍ خُطَبَاؤُهُ، كَثِيرٍ مُعْطُوهُ قَلِيلٍ سُؤَّالُهُ الْعَمَلُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ، وَسَيَأتِي [مِنْ بَعْدِكُمْ] زَمَانٌ قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ، كَثِيرٌ خُطَبَاؤُهُ , كَثِيرٌ سُؤَّالُهُ، قَلِيلٌ مُعْطُوهُ، الْعِلْمُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعَمَلِ.
“Sungguh, saat ini kalian hidup di mana banyak fukaha (ahli fiqih), sedikit khuthaba (penceramah, tukang pidato, orator), banyak yang memberi, dan sedikit peminta-minta. Setelah ini kalian, akan datang suatu zaman sedikit ahli fikihnya, banyak penceramahnya, orang yang memberi sedikit, sedangkan yang meminta-minta banyak. Saat itu manusia lebih mementingkan ilmu dibanding amal.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, No. 3111).
Semoga, manjadi bahan renungan, amin.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait