Rame Dibicarakan Soal Justice Collaborator, Inilah Maksudnya

  • Whatsapp

BERITALIMACOM | Dalam penanganan perkara pidana tertentu terdapat istilah justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama. Justice Collaborator merupakan pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius.

Baru baru ini rame dibicarakan soal Justice Collaborator (JC), hal itu terkait adanya dugaan kasus pembunuhan Brigadir J di rumah Irjen Pol Ferdy Sambo, yang dilakukan oleh Bharada E dan saat ini, Bharada E sudah ditetapkan sebagai tersangka. Namun pengacara Bharada E mengajukan JC.

Bacaan Lainnya

Apa sih Justice Collaborator? 

Dikutip dari wordpress Kantor Advokat Surjo and Partner yang ditulis oleh Eka Himawan bahwa Justice Collaborator merupakan pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum, untuk membongkar kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius.

Tindak pidana tertentu yang dimaksud seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana terorganisir yang lain. Konsep justice collaborator merupakan suatu hal yang baru di Indonesia. Dalan peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat pengaturan mengenai kedudukan Saksi Pelaku (Justice Collaborator).

Untuk menjadi Saksi Pelaku (Justice Collaborator), orang tersebut harus berfikir dua kali mengingat adanya ancaman terhadap diri pelaku yang bekerjasama atau kepada keluarganya.

Sekilas pengertian dari Saksi Pelaku (Justice Collaborator) mirip dengan Saksi Mahkota. Timbul permasalahan apabila merujuk pada beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung yang melarang adanya Saksi Mahkota.

Pengaturan mengenai kedudukan Saksi Pelaku (Justice Collaborator) di Indonesia sudah diakui dan diakomodir dalam peraturan perundang – undangan baik itu dalam KUHAP, UU Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi.

Bahkan di negara – negara lain sudah diatur lebih awal dibandingkan Indonesia. Kedudukan Saksi Pelaku (Justice Collaborator), mulai diatur secara lengkap dan jelas pada UU Perubahan Perlindungan Saksi dan Korban.

Dimulai dari syarat – syarat dan ketentuan, hak – hak, penanganan khusus serta penghargaan bagi Saksi Pelaku (Justice Collaborator). Kemudian penggunaan Saksi Pelaku (Justice Collaborator) yaitu terdakwa menjadi saksi untuk terdakwa lainnya telah diakomodir oleh KUHAP.

Meskipun terdapat yurisprudensi yang pro dan kontra mengenai penggunaan Saksi Mahkota yang notabene hampir sama dengan Saksi Pelaku (Justice Collaborator), penggunaan terdakwa sebagai saksi dalam praktek peradilan sudah tidak permasalahkan secara hukum.

Justice Collaborator (JC) adalah seorang pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar sebuah kejahatan atau kasus yang dinilai pelik dan besar.

Status JC akan didapat oleh orang yang tidak mau menyembunyikan fakta hukum atau semua hal yang diketahuinya terkait sebuah permasalahan, baik itu siapa pelaku utamanya dan seterusnya, sehingga kasus tersebut menjdi terang.

Untuk mendapatkan status JC ini, seorang tersangka harus memenuhi sejumlah persyaratan.

Dikutip dari laman LSC BPHN, Denny Indrayana saat menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM mengemukakan empat syarat bagi seorang tersangka kasus tertentu agar bisa mendapatkan status JC.

Syarat tersebut bersifat kumulatif, yang berarti keseluruhan unsur harus dipenuhi oleh seorang pelaku kejahatan yang ingin mendapatkan JC.

Syarat tersebut adalah: Tersangka yang menjadi saksi bukanlah pelaku utama dan harus mempunyai informasi penting untuk mengungkap kasus secara terang benderang. Artinya, saksi tersebut tidak menutup segala informasi terkait dengan kasus yang sedang menimpanya kepada penegak hukum, terutama untuk memastikan siapa pelaku utama dari kasus tersebut.

Syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat mendapat status JC terdapat dalam dua rujukan. Pertama, Surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Dan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Dalam peraturan bersama tersebut, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan status saksi pelaku. Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir, memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir.

Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya, kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis.

Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerja sama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.

Sedangkan hal lain yang menjadi syarat seorang saksi pelaku dalam SEMA adalah “mengakui kejahatan yang dilakukannya” Bila syarat – syarat tersebut terpenuhi, maka hakim dapat memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya.

Hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan untuk menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Adapun syarat – syarat lain agar seorang pelaku tindak pidana tertentu dapat ditentukan sebagai Justice Collaborator adalah: 

 

1. Mengakui kejahatan yang dilakukannya;

2. Bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut;

3. Memberikan keterangan saksi dalam proses peradilan.

Justice Collaborator merupakan kewenangan dari Penyidik dan Jaksa.

Keuntungan menjadi Justice Collaborator

Dalam menjalankan perannya, saksi pelaku akan mendapat perlindungan yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal 10 Ayat 1 UU tersebut berbunyi, “Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.”

Sementara Ayat 2 berbunyi, “Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Atas perannya sebagai justice collaborator, saksi pelaku akan diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan.

Menurut Pasal 10A UU Nomor 31 Tahun 2014, penanganan khusus yang akan diberikan berupa:

Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;

Pemisahan pemberkasan dalam proses penyidikan/penuntutan antara saksi pelaku dengan tersangka/terdakwa yang diungkapkannya;

memberikan kesaksian di persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Selain itu, saksi pelaku juga akan diberikan penghargaan.

Penghargaan atas kesaksiannya berupa keringanan penjatuhan pidana atau pembebasan bersyarat, pemberian remisi tambahan dan hak narapidana lain sesuai peraturan yang berlaku. Dalam pemberian penghargaan ini, hakim dwajibkan untuk tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Asas-Asas Justice Collaborator

Tidak banyak pembahasan dalam literatur yang mengulas tentang asas (principle) justice collaborator, karena kemunculan justice collaborator ini dilatarbelakangi oleh kesulitan dalam membongkar atau mengungkap kejahatan – kejahatan terorganisir sehingga dipilih jalan untuk melakukan “bujukan” dan memberikan “reward” kepada pelaku untuk mengungkapkan sindikat kejahatan yang terorganisir tersebut.

Dengan kata lain, ada proses “transaksional yang legal” antara pelaku kejahatan dengan penegak hukum untuk mendapatkan informasi yang lebih besar atas tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok atau pelaku lainnya.

Indriyanto Seno Adji menyebut bahwa doktrin tentang justice collaborator juga tidak banyak mengungkap masalah ini secara akademik, sehingga sering terjadi polemik diantara ahli hukum.

Namun demikian ilmuwan hukum pidana mencoba menyusun prinsip – prinsip umum justice collaborator sehingga dapat diintegrasikan dalam norma hukum pidana baik formil maupun materiil. Harkristuti Harkrisnowo menemukan setidaknya ada 7 (tujuh) prinsip yaitu :

1. Collaborator of justice may testify freely and without being subjected to any act of intimidation;

2. Their protection should be organized and where necessary, before, during and after trial;

3. Act of intimidation against witness or justice collaborator or people close to them shall be punishable;

4. Subject to legal privileges providing the right to refuse to give testimony, they should be encouraged to report relevant information regarding criminal offense to the competent authorities, and thereafter agree to give testimony on court;

5. Alternatives method to giving testimony other than face-to-face with the defendant shall be considered;

6. Confidentiality of the whole process shall be secured;

7. Adequate balance with the principle of safeguarding the rights and expectation of victims.

Ketujuh prinsip yang dikemukakan di atas dapat ditafsirkan sebagai berikut :

1. JC memberikan kesaksian secara bebas dan tanpa intimidasi. Ini memberikan makna bahwa meskipun ada upaya untuk mendapatkan informasi tentang tindak pidana oleh pelaku lain, namun langkah tersebut tetaplah menghormati hak-hak yang dimiliki, sehingga yang bersangkutan dapat memberikan keterangan atau kesaksian tanpa harus diintimidasi. Jaminan bisa saja dituangkan dalam hukum acara pidana sehingga lebih memberikan kepastian hukum.

2. Perlindungan hukum atas hak-hak JC harus diatur secara menyeluruh baik sebelum, selama, dan maupun setelah proses peradilan. Ini artinya adalah hak-hak JC dijamin dalam undang-undang sehingga JC tidak merasa dihianati atas keterangan yang diberikan terkait dengan tindak pidana yang diketahuinya atau tentang hal-hal lain yang memiliki keterkaitan dengan tindak pidana tersebut sehingga penegak hukum memiliki informasi dan dapat membongkar kejahatan tersebut atas informasi yang diberikan JC.

Intimidasi terhadap JC atau orang-orang yang dekatnya akan dihukum. Siapapun yang melakukan intimidasi terhadap JC termasuk penegak hukum harus dihukum. Hal ini penting ditegaskan agar JC dapat memberikan keterangan atau kesaksian secara bebas dan tidak ada rekayasa yang dapat merugikan dirinya sendiri atau orang lain.

Tunduk pada hak istimewa untuk menolak memberikan kesaksian, mereka harus didorong untuk memberikan kesaksian yang relevan mengenai tindak pidana kepada pihak yang berwenang, dan setelah itu setuju untuk memberikan kesaksian di pengadilan Harus dipertimbangkan adanya metode alternatif untuk memberikan kesaksian selain tatap muka dengan terdakwa. Ini menunjukkan bahwa adakalanya JC tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sesungguhnya dihadapan terdakwa lain karena ada gangguan psikologis atau ada hal-hal yang membuat dia tidak nyaman.

Kerahasiaan seluruh proses harus dijamin. Penjaminan kerahasiaan menjadi hal penting agar keselamatan JC dan keluarganya atau orang-orang dekatnya tidak mendapatkan ancaman dari pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan JC. Hal ini harus menjadi perhatian penegak hukum.

Keseimbangan yang memadai dengan prinsip perlindungan hak-hak dan harapan para korban. Meskipun JC diberikan perlindungan dan hak-hak istimewa namun perhatian terhadap hak-hak korban juga menjadi hal yang penting, sehingga harus ada keseimbangan yang memadai antara hak-hak JC dan hak-hak korban.

Artikel ini ditulis Eka Himawan Kantor Advokat Surjo and Partner

 

Editor : Santoso 

 

 

 

 

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait