Rangkap Jabatan dan Pola Pembobolan Keuangan Negara di BUMN

  • Whatsapp

Oleh : Haidar Alwi Institute (HAI)

Di tengah mega skandal bertubi-tubi yang menghantam beberapa perusahaan pelat merah, Kementerian BUMN di bawah kepemimpinan Erick Thohir terlihat sibuk bongkar-pasang sejumlah jabatan.

Seolah-olah bekerja untuk membereskan masalah yang menjerat perusahaan BUMN, sesungguhnya kebijakan Erick Thohir tidak memberikan solusi apa-apa.

Mantan Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf dalam Pilpres 2019 ini hanya merotasi pejabat dari satu perusahaan BUMN ke perusahaan BUMN lainnya. 

Contohnya, yang masih hangat adalah pencopotan Roni Hanityo Apriyanto, Direktur Keuangan dan Investasi PT ASABRI untuk kemudian ditempatkan sebagai Direktur di PT Taspen. Padahal, sebelumnya PT ASABRI terjerat dalam dugaan mega skandal yang merugikan negara sebesar Rp 10 Trilliun.

Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa Erick Thohir hanya memindahkan masalah, bukan menawarkan solusi untuk mengatasi pembobolan keuangan negara. Melalui kebijakannya ini, Erick Thohir justru memperlebar ruang bagi praktik korupsi dan memperbesar kemungkinan jatuhnya perusahaan BUMN yang masih sehat.

Ditambah lagi, selain namanya disebut-sebut terlibat dalam mega skandal Jiwasraya, Erick Thohir juga menempatkan “Klan Bank Mandiri” sebagai penguasa di Kementerian BUMN. Bahkan, dua Wakil Menterinya rangkap jabatan di perusahaan BUMN.

Sebut saja Kartiko Wirjoatmodjo yang merangkap sebagai Wakil Menteri BUMN sekaligus Komisaris Utama di PT Bank Mandiri (Persero). Ada pula Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin yang merangkap Wakil Komisaris Utama PT Pertamina (Persero).

Rangkap jabatan terutama di BUMN menjadi suatu kekhawatiran luar biasa mengingat besarnya potensi benturan kepentingan (conflict of interest). Di satu sisi membuat kebijakan, di sisi lain menerima implikasi dari kebijakan tersebut. 

Meskipun memiliki kompetensi di bidangnya, potensi benturan kepentingan pihak tertentu maupun pribadi yang bersangkutan akan selalu ada. Tentunya, hal ini akan berdampak buruk terhadap tata kelola BUMN.

Selain itu, pola penempatan pejabat di BUMN kerap berdasarkan hadiah politik maupun jaringan pertemanan. Alhasil, masalah merambah pada pergesekan kepentingan politik dan nepotisme. 

Tidak bisa dipungkiri Erick Thohir adalah salah satu contoh pola penempatan seperti itu. Pada Pilpres 2019 silam, Erick Thohir adalah Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf.

Walaupun sempat menegaskan tidak akan terjun ke dunia politik, Erick Thohir tak kuasa menghadapi godaan empuknya kursi Menteri BUMN. Pola terus berlanjut dengan penempatan “Klan Bank Mandiri” sebagai penguasa BUMN, seperti tidak ada dari 270 juta rakyat Indonesia yang berkompeten untuk mengisi jabatan yang dimaksud.

Selain besarnya potensi benturan kepentingan, rangkap jabatan juga menimbulkan pemborosan keuangan negara karena pejabat terkait menerima gaji dobel sebagai Wakil Menteri sekaligus sebagai Komisaris atau Direktur di perusahaan BUMN.  Kalau pun rangkap jabatan ini dipaksakan ada, maka pemberian gaji sebaiknya dilakukan secara tunggal.

Karena itu, pos-pos di BUMN seyogyanya diisi oleh mereka yang benar-benar ingin fokus menjalankannya tanpa terbelit jabatan lain. Bila pola penempatan ini tidak diubah, maka tak heran carut-marut kepentingan di BUMN terus terjadi, skandal demi skandal akan muncul tiada henti. Keuangan negara akan dibobol terus menerus. Akhirnya yang dirugikan siapa? Tiada lain dan tiada bukan adalah rakyat Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk memitigasi ‘keberlanjutan’ pro dan kontra terkait rangkap jabatan, menimbang regulasi yang ada saat ini masih bersifat bias. Solusi dan kepastian hukum sangat diperlukan agar persoalan ini tidak semakin berlarut serta menimbulkan kebingungan publik. 

Jangankan masyarakat awam, sekelas Hakim Konstitusi pun dibuat kebingungan oleh rangkap jabatan tersebut. Hal ini diutarakan Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Suhartoyo dalam Sidang Uji Materi Pasal 10 Undang Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, Senin (10/2/2020).

Saldi Isra mempertanyakan terkait dasar hukum yang membenarkan seorang Wakil Menteri bisa merangkap sebagai Komisaris. Menurutnya, adalah keliru bila lembaga yang diposisikan independen, lalu ditaruh Wakil Menteri untuk mengisi salah satu jabatan di lembaga tersebut. Apakah karena memang didesak kebutuhan atau ada kepentingan lain di balik itu semua.

Di satu sisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) merestui Dua Wakil Menteri BUMN sebagai pembantu Erick Thohir dengan pertimbangan beratnya tugas di kementerian itu. Di sisi lain, yang terjadi malah kedua Wakil Menteri BUMN juga ditempatkan sebagai Komisaris utama dan wakil komut di perusahaan BUMN.

Tidak mengherankan jika Hakim Konstitusi Suhartoyo lantas mempertanyakan hal ini karena melihat adanya kontraproduktif antara alasan penunjukan Wakil Menteri dengan praktik yang terjadi.

Jangan-jangan, ada kolusi dan konspirasi ataupun skandal besar-besaran untuk membobol keuangan negara secara berjama’ah? Setelah Jiwasraya dan ASABRI, BUMN mana target selanjutnya? Layak dinanti dan diawasi! *(HAI)*

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait