Rapat Paripurna Khusus terhadap Gugatan UUPA Ke MK Diadakan

  • Whatsapp

ACEH, Beritalima-Rapat Paripurna Khusus DPR Aceh dalam rangka Persetujuan DPR Aceh untuk melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap Penghapusan Pasal-pasal dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), hal tersebut dikatakan Ketua DPR Aceh H. Muharuddin, S.Sos.I‎, Jum’at 25 Agustus 2017.

Menurutnya Dalam pasal 24 uud 1945 telah dilakukan 2 (dua) kali Amandemen yaitu periode 9 november 2001 – 10 agustus 2002 (amandemen ke-3) dan periode 10 agustus  2002 – sampai sekarang (Amandemen ke-4).

perubahan itu melahirkan dua lembaga baru dalam kekuasaan kehakiman, yaitu mahkamah konstitusi (mk) dan komisi yudisial (ky) secara umum, perubahan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 itu dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman.

Dalam sistem ketatanegaraan indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 yang menyatakan indonesia adalah negara hukum.

Pengaturan dalam undang-undang mengenai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman membuka partisipasi Rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR untuk memperjuangkan agar aspirasi dan kepentingannya diakomodasi dalam pembentukan undang-undang tersebut.

Dengan demikian, mahkamah konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.

Selanjutnya pada tanggal 22 agustus 2017 saudara Kautsar, Shi (anggota DPR Aceh dari Partai Aceh ) dan Samsul Bahri Bin Amiren ( Anggota DPR Aceh dari Partai Nanggroe Aceh) mendaftarkan perkara dengan nomor register 1700  pokok perkara yang diajukan adalah permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum terhadap undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945.

Surat gugatan atas Nama Tim Advokasi Gabungan Masyarakat Aceh peduli UUPA. sebagai warga Negara, beliau berdua telah memanfaatkan hak konstitusinya.

bahwa kemudian timbulnya Ide lembaga DPR Aceh untuk melakukan gugatan ke mahkamah konstitusi republik indonesia, setelah dicermati bahwa beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan berbagai Undang-Undang sektoral, sebut Muharuddin dalam Pidatonya.

Pencabutan dan pernyataan tidak berlaku dari berbagai pasal tersebut dilakukan oleh DPR-RI dan pemerintah tanpa proses konsultasi dan mendapat pertimbangan dari DPR Aceh sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (2) dan pasal 269 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Kita selaku Wakil Rakyat yang tergabung dalam lembaga legislatif, sudah semestinya, sepatutnya dan seharusnya mempunyai kewajiban untuk mempertahankan kekhususan Aceh.

Dia Menambahkan pencabutan pasal-pasal tersebut sudah merupakan perbuatan melawan Hukum oleh pemerintah (PMHP) atau disebut juga “onrechtmatige overheidsdaad”. maka Negara melalui penguasa (Pemerintah dan DPR-RI) dapat diminta pertanggungjawabannya dalam kapasitas sebagai badan hukum Publik.

pasal 1365 kuhp berbunyi, “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

 berdasarkan pasal di atas, setidaknya ada lima unsur yang harus dipenuhi yaitu (1) adanya perbuatan; (2)   perbuatan itu melawan hukum; (3) adanya kerugian; (4)   adanya kesalahan; dan (5)  adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkan.

peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara spesifik kebijakan atau perbuatan melawan hukum (pmh) oleh penguasa apa saja yang bisa digugat ke peradilan umum (Pengadilan Negeri). namun selain di peradilan umum, pmh oleh penguasa bisa juga digugat ke PTUN, sebutnya.,”(Aa79)

 

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *