Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH
beritalima.com | BULAN September 1945, setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, Kota Pahlawan Surabaya banyak mengukir sejarah. Pertama adalah peristiwa yang selalu dikenang dan menjadi topik, adalah “insiden bendera” di Hotel Yamato tanggal 19 September 1945. Setelah Balatentara Jepang menyerah dan bertekuk lutut terhadap Sekutu, bekas penjajah kolonial Belanda berkeinginan kembali mencengkeramkan kukunya di Indonesia.
Berbagai kisah dan cerita tentang insiden bendera sudah menjadi buah bibir. Peristiwa perobekan “kain biru” pada bendera Belanda “merah-putih-biru” yang dipasang di atas Hotel Yamato, sehingga menjadi “merah putih”, sudah disebarluaskan. Tiap tahun diperingati dengan berbagai versi oleh para seniman, pelajar, mahasiswa dan masyarakat bersama mantan pejuang yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Namun, ada peristiwa besar yang terjadi di Kota Surabaya, dua hari kemudian, yaitu tanggal 21 September 1945, hampir tidak pernah diungkap, bahkan dilupakan. Padahal beberapa pelaku perjuangan di tahun 1945, masih banyak yang tahu persis peristiwa itu.
Kiranya, sejarah yang “tenggelam” ini, perlu dikuak dari keterpurukan dan diangkat ke permukaan. Mengapa kejadian yang sebenarnya “luar biasa”, ini tak terngiang sama sekali ke telinga generasi penerus di zaman ini. Peristiwa itu adalah “Rapat Raksasa” di Lapangan Tambaksari Surabaya, tanggal 21 September 1945.
Peristiwa itu tidak kalah dengan Rapat Raksasa di Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta), di Gambir Jakarta, yang sekarang dikenal dengan Lapangan Monas (Monumen Nasional), yang waktunya bersamaan dengan “Insiden Bendera” di Surabaya, yakni 19 Spetember 1945.
Jangan dibayangkan Lapangan Tambaksari waktu itu sudah berbentuk stadion Gelora 10 November seperti sekarang. Waktu tahun 1945 itu, tanah lapangnya terbuka tanpa pagar. Di sekitar tanah lapang itu belum ada permukimanan Tambaksari Selatan dan Bogen. Semua masih berupa tanah pekuburan atau bong — pemakaman umum. Perumahan teratur waktu itu, berada di kawasan Jalan Mundu dan jalan-jalan bernama buah saat ini.
Salah satru di antaranya, rumah keluarga WR Soepratman Jalan Mangga 21. Kawasan perumahan lainnya, dekat gereja Kristus Raja, Jalan Teratai, serta kawasan pemukiman milik DKA (Djawatan Kereta Api) – sekarang PT. KAI (Kereta Api Indonesia) di Pacarkeling.
Menjelang Rapat Raksasa yang juga disebut “Rapat Samudera” itu, kelompok pemuda mempersiapkan mobil berpengeras suara. Mereka, “berhallo-hallo” keliling kampung di dalam Kota Surabaya, memberitahu tentang akan berlangsungnya rapat umum di Tambaksari.
Pengerahan massa rakyat yang mencapai 150 ribuan itu datang dengan berjalan kaki, bersepeda, naik beca, ada juga yang naik truk yang sebelumnya dirampas dari pos dan markas tentara Jepang. Bahkan ada pula pemilik truk yang memperbolehkan truknya dipakai pemuda untuk ke Lapangan Tambaksari.
Rakyat yang datang ke Tambaksari itu mendapat selebaran dan pamflet. Tidak hanya dalam Bahasa Indonesia,. Ada yang ditulis dengan Bahasa Inggris, Bahasa Belanda dan juga Bahasa Perancis. Misalnya: Milik RI, Down with Colonialism, Soekarno-Hatta Yes! NICA No, Let Freedom ring all over the World. Bahasa Perancis juga ada selogan yang terinspirasi dari Revolusi Perancis, misalnya: Liberte, Egalite, Fraternite yang artinya kebebasan, persamaan, persaudaraan.
Tepat pukul 16.00, Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari dimulai. Acara dibuka dengan pidato pengantar oleh Ketua BKR Surabaya Abdoel Wahab. Berturut-turut kemudian pidato yang membangkitkan semangat disampaikan oleh Residen Sudirman, Soemarsono, Lukitaningsih, Abdoel Sjoekoer, Sapia dan Koesnadi.
Sekembalinya dari menghadiri Rapat Raksasa itu, semangat rakyat berkobar-kobar. Massa meningkatkan aksinya dengan merobek-robek poster Jepang. Poster-poster Jepang diganti dengan plakat buatan anak-anak muda itu sendiri.
Lukitaningsih, wartawati Lembaga Kantor Berita Antara yang juga ketua Pemuda Puteri, merupakan satu-satunya tokoh pejuang wanita yang ikut pidato dalam Rapat Raksasa itu. di dalam buku Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45, mengungkapkan, bahwa para pemimpin pemuda dengan tegas bergantian pidato untuk membakar semangat juang.
Begitu acara selesai sekitar pukul 19.00, sebelas orang yang dianggap tokoh ditangkap. “Termasuk saya, digiring masuk kendaraan Kempetai dan dibawa ke markasnya di bekas kantor Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi zaman Belanda) — yang sekarang sudah hancur dan di tempat itu didirikan Tugu Pahlawan.
Sejak ditangkap, kami yang sebelas orang itu ditempatkan di sebuah ruangan besar, kata Lukitaningsih. Kami menunggu nasib, entah mau diapakan. Yang jelas, Kempetai itu tersohor kekejamannya. Begitu tulis Hj.Lukitaningsih Irsan Radjamin, menantu Walikota pertama Surabaya setelah Indonesia Meredeka, Radjamin Nasution.
Sekitar tengah malam pintu ruangan tempat kami disekap dibuka. Tampak beberapa pejabat pemerintahan dan tokoh pejuang datang untuk membebaskan kami. Ternyata setelah mengetahui sebelas orang disekap di markas Kempetai, para petinggi pemerintahan dan pejuang berusaha menghubungi pimpinan Kempetai. Kepada pimpinan tentara Jepang di Surabaya dikatakan, bahwa yang disekap itu adalah pemimpin pemuda Surabaya. Apabila mereka tidak dibebaskan, maka massa rakyat dan pemuda Surabaya akan menyerbu markas Kempetai.
Kendati “Rapat Raksasa” tanggal 21 September 1945 ini merupakan peristiwa bersejarah yang luar biasa, namun hampir tidak pernah menjadi bahan pembicaraan dalam sejarah perjuangan arek-arek Surabaya. Mengapa peristiwa besar yang disebut Rapat Raksasa atau Rapat Samudra di Lapangan Tambaksasi tanggal 21 September 1945 itu seolah-olah lenyap dari sejarah perjuangan Arek-arek Surabaya?. (**)