Referendum Timor Timur : Upaya Habibie Mengangkat Beban Bangsa

  • Whatsapp

Oleh :
Rudi S Kamri

Kebanyakan orang yang saya kenal selalu menyalahkan Presiden B.J. Habibie karena memutuskan memberikan referendum bagi rakyat Timor Timur yang berujung dengan lepasnya provinsi ke-27 Republik Indonesia pada Agustus 1999. Tapi saya mempunyai pendapat berbeda. Saya justru sangat mendukung dan memahami mengapa akhirnya “Mr. Crack” berani memutuskan opsi referendum bagi rakyat Timor Timur.

Saya tidak tahu pasti apa pertimbangan Presiden Habibie mengambil langkah berani saat itu. Namun saya mencoba menelaah dan memberikan perspektif saya tentang hal tersebut.

PERTAMA :
Habibie menerima warisan kondisi Timor Timur yang remuk redam sebagai akibat dari salah penanganannya oleh Rezim Soeharto.

Pendekatan militer yang “over dosis” tanpa dibarengi dengan pendekatan sosial dan merangkul budaya setempat membuat luka yang sangat dalam bagi sebagian besar rakyat Timor Timur pada waktu itu. Pada tahun 1986 saat saya masih mahasiswa dan masuk ke Timor Timur sebagai pekerja magang, melihat langsung bagaimana perlakuan sebagian besar oknum tentara kita kepada masyarakat Timor Timur. Sangat keras, kasar dan cenderung brutal. Secara psikologis sebagian masyarakat Timor Timur menganggap mereka sedang dijajah oleh Indonesia.

Pada tahun 1990-an almarhum Prof. Mubyarto seorang sosiolog terkenal dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta pernah memberikan saran agar Indonesia mengubah pendekatan Indonesia kepada masyarakat Timor Timur, yaitu dari pendekatan militeristik yang keras menjadi pendekatan sosial yang lembut. Tapi saran Prof. Mubyarto tidak pernah dilaksanakan oleh Pemerintah rezim orde baru.

Pada era pemerintahan Presiden Habibie situasi masyarakat Timor Timur pasca insiden Santa Cruz (akan saya jelaskan di lain waktu) sangat tidak kondusif dan cenderung menjadi beban negara yang saat itu secara ekonomi dan sosial politik sedang berdarah-darah. Hal ini menurut saya disebabkan karena rezim Soeharto telah melakukan penanganan dan pendekatan secara salah kepada Timor Timur.

KEDUA :
Ibu Pertiwi sedang berdarah-darah

Sebagai akibat dari salah urus negara yang dilakukan oleh adminstrasi Pemerintahan Presiden Soeharto selama puluhan tahun, pada tahun 1998 kondisi Indonesia sangat memprihatinkan. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika merosot tajam, inflasi liar tak terkendali secara ekonomi saat itu kita berada di titik nadir dan virus korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya euforia reformasi sosial politik yang tidak terarah sebagai akibat munculnya para preman dan petualang politik baru yang dimotori oleh Amien Rais dkk.

Kondisi negara seperti itu yang diwarisi oleh Habibie pada saat itu. Saya menduga keras Presiden Habibie saat itu memutuskan akan lebih fokus membenahi ekonomi Indonesia yang sedang remuk redam tanpa harus dibebani dengan masalah Timor Timur yang sangat complicated dan merongrong energi dan sumber daya seluruh elemen negara.

KETIGA :
Indonesia menjadi bulan-bulanan dan kecaman dunia internasional.

Pasca insiden Santa Cruz pada 1991, kecaman dunia internasional terkait Timor Timur terus bertubi-tubi menghantam Indonesia. Militer Indonesia dianggap telah melakukan pelanggaran HAM berat. Strategi diplomasi Indonesia yang dipimpin Menlu Ali Alatas terlihat termehek-mehek menangkis berbagai serangan yang datang menghantam. Namun upaya keras dari Ali Alatas dan Teamnya ternyata tidak cukup berhasil. Uni Eropa dan Amerika Serikat, Australia dan beberapa negara terus menyuarakan pengusutan insiden Santa Cruz di Dewan Keamanan PBB.

Boleh dikatakan saat itu merupakan titik nadir diplomasi Indonesia di kancah internasional. Tekanan PBB yang disuarakan Sekretaris Jenderal Kofi Annan terus menekan Presiden Habibie. Dan menghadapi berbagai tekanan internasional dan pada saat yang sama harus membenahi berbagai persoalan yang bersifat mendesak, membuat Presiden Habibie harus memutuskan yang terbaik bagi Indonesia dan Timor Timur.

KEEMPAT :
Habibie menerima informasi yang salah

Salah satu faktor yang menjadi bahan pertimbangan Presiden Habibie dalam memutuskan masalah Timor Timur adalah masukan dan informasi dari pembantu Presiden di bidang pertahanan dan keamanan serta aparat intelijen. Saya menduga kuat Presiden Habibie diberikan masukan yang salah atau tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Menurut saya Presiden Habibie diberikan masukan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur dipastikan memilih opsi tetap menjadi bagian dari NKRI. Analisa saya tersebut dikuatkan dari cerita salah seorang mantan menteri koordinator era Presiden Habibie pada saat saya bertemu dan berbincang dengan sang mantan menko tersebut.

****

Dari empat hal tersebut saya menduga keras merupakan pertimbangan kuat yang digunakan oleh Presiden Habibie untuk memutuskan memberikan opsi referendum kepada rakyat Timor Timur. Perhitungan Habibie kalau ternyata hasil dari referendum tersebut mayoritas rakyat Timor Timur lebih memilih tetap menjadi bagian dari NKRI, posisi Indonesia di kancah internasional akan sangat kuat dan akan membungkam serangan masif yang selama ini menghantam Indonesia. Namun apabila yang terjadi adalah sebaliknya, di mata dunia internasional, Indonesia akan tetap dihormati sebagai negara yang elegan dan demokratis.

Namun seperti kita tahu hasilnya ternyata mayoritas rakyat Timor Timur lebih memilih pisah dari NKRI. Ini suatu konsekuensi logis dari suatu keputusan politik yang telah dibuat. Namun positifnya, pasca referendum tidak lagi ada hantaman dan serangan dunia internasional kepada Indonesia. Dan Presiden Habibie dapat dengan tenang menyelesaikan masalah ekonomi dan politik Indonesia dengan hasil yang gemilang.

Meskipun gara-gara referendum Timor Timur ini akhirnya membuat Presiden Habibie mendapat serangan politik dari dalam negeri pada waktu itu, tapi beliau tetap tegar dan bersedia berkorban demi kebaikan bangsa dan negara.

Jadi kalau kita menyaksikan Xanana Gusmao mantan presiden Timor Leste memeluk erat Habibie pada Agustus 2019 lalu, kita akhirnya tahu pasti bahwa ternyata keputusan Presiden Habibie 20 tahun yang lalu adalah benar adanya dan merupakan keputusan yang tepat untuk kebaikan bangsa dan negara Indonesia.

Kebenaran pasti akan menemukan jalannya sendiri. Meski terkadang kita terlambat untuk mengetahui.

Salam SATU Indonesia,
13092019

beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *