SURABAYA, Beritalima.com | Isu-isu tentang relawan penanggulangan bencana menjadi topik utama yang dibahas dalam Cangkrukan yang digelar oleh Tim Siaga Bencana BP-PAUD DIKMAS JATIM.
Kegiatan yang pertama ini merupakan salah satu kegiatan yang akan digelar secara rutin 2 minggu sekali ini, untuk menambah wawasan terkait dengan kerja-kerja relawan saat melakukan operasi di lokasi kejadian bencana.
Harapannya, bisa menginspirasi anggota Tim Siaga Bencana BP-PAUD DIKMAS JATIM untuk melakukan edukasi tentang mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana kepada lembaga mitra Balai. seperti SKB, PKBM, PAUD, dan LKP. Hal ini seperti yang tertera di dalam Permendikbud nomor 33 tahun 2019, tentang penyelenggaraan satuan pendidikan aman bencana.
Acara Cangkrukan yang menempati ruang Agus Salim ini diikuti oleh staf Balai yang peduli terhadap masalah kebencanaan, dengan menghadirkan dua orang nara sumber. Rizal dari BTB (baznas tanggap bencana), dan Andreas dari ReSu (relawan Surabaya). Mereka adalah aktivis relawan yang sudah sering terjun langsung mengikuti kegiatan operasi tanggap darurat bencana.
Andreas menceritakan pengalamannya tentang kegiatan penanggulangan bencana itu ada tiga fase. Yaitu fase pra bencana, fase tanggap darurat, dan fase pasca bencana. untuk itu relawan perlu memiliki kemampuan di bidang yang sesuai dengan bidang yang diminati. Disisi lain, sebelum ikut beroperasi ke lokasi harus mempersiapkan diri, baik perlengkapan, logistik dan uang yang mendukung selama di lokasi.
“Jangan lupa saat ke lokasi harus melapor ke posko dengan menunjukkan surat tugas. Biasanya relawan itu di lapangan paling lama tujuh hari, setelah itu balik kanan untuk istirahat, karena di lapangan itu tingkat stresnya tinggi sekali.” Katanya bersemangat.
Masih kata pria berambut panjang ini, seorang relawan, ketika di lokasi diharapkan kreatif bisa melakukan apa saja dan bekerjasama dengan relawan lain untuk membantu korban bencana di pengungsian.
Sementara Rizal dari BTB mengatakan bahwa menjadi relawan itu lebih didasari oleh rasa peduli. Kemudian mau dan mampu melakukan kegiatan menolong sesama dengan ikhlas dan sabar menghadapi korban yang mengalami stress karena kehilangan harta benda bahkan keluarganya.
“yang tidak kalah penting adalah, relawan harus mampu mengedukasi masyarakat yang berdomisili di daerah rawan bencana agar bisa mengenali potensi bencana di daerahnya, dan mampu melakukan penyelamatan mandiri saat terjadi bencana dengan tetap mengedepankan kearifan lokal yang ada. Contoh dari keberhasilan edukasi ini adalah saat terjadi erupsi gunung kelud, dimana kerugian harta benda bisa diminimalisir.” Ujarnya.
Rizal juga menambahkan apa yang disampaikan oleh Andreas, bahwa ketika relawan itu akan turun ke lokasi harus memiliki kecukupan logistik. Baik logistik untuk anak istri yang ditinggal, maupun logistik saat di lokasi bencana yang digunakan dalam kondisi darurat.
“Karena di lapangan, kalau hanya masalah konsumsi itu sudah dicukupi oleh tim dapur umum. Karena antar relawan itu selalu mengedepankan rasa senasip untuk bekerjasama dan saling tolong menolong di dalam segala hal. Semuanya demi rasa kemanusiaan.” Tambahnya.
Di akhir acara, Lilik Rahayu, peserta Cangkrukan, berharap agar kegiatan ini tidak hanya bicara masalah teori saja. tapi harus ada kegiatan prakteknya sehingga peserta Cangkrukan bisa melakukan sendiri. Misalnya praktek mendirikan tenda, praktek PPGD dan sejenisnya yang akan dibutuhkan saat di lokasi bencana.(yul)