Reog Ponorogo, Sebuah Episode Peradaban Yang Tersisa

  • Whatsapp

PONOROGO, beritalima.com  – salah satu kabupaten di sebelah barat Provinsi Jawa Timur ini tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Memang nama harum Ponorogo sudah tersiar di seantero dunia lewat kesenian reognya. Pada edisi kali ini kita mencoba menggali sejarah tentang kota ini serta latar belakang dari munculya kesenian reog ponorogo. Secara etimologi bahasa, ponorogo berasal dari kata pramana yang artinya daya kekuatan, rahasia hidup dan raga yang artinya badan. Dimaksudkan bahwa didalam diri manusia tersimpan kekuatan rahasia. Ada yang menyebut bahwa asal katanya dari pono yang artinya melihat dan rogo yang artinya badan yang maksudnya adalah manusia yang melihat diri sendiri atau dapat dikatakan mawas diri

Ada beberapa versi yang muncul di permukaan, ataupun kisah- kisah yang berbau mistis lainnya yang berkaitan dengan seni reog ponorogo. Salah satu yang literaturnya masih kuat adalah sejarah perseteruan Ki Ageng Ketut Suryongalam yang menentang raja Kertabhumi dari majapahit yang telah mempersunting putri kerajaan campa dari negeri cina. Ia kemudian desersi dari jabatannya sebagai Senopati dan membangun peradaban baru di tenggara gunung lawu sampai lereng barat gunung wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker ( ponorogo saat ini ). Ki ageng Ketut Suryongalam ini kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, sekarang merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis

Ki Ageng Kutu inilah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan , kemudian disebut Reog. Ini sebenarnya merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit( disimbolkan dengan kepala harimau),yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan dari Campa( disimbolkan dengan merak ).Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering disebut Bujang Ganong yang berwajah buruk namun sangat bijaksana
Pada akhirnya upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo dianggap ancaman bagi kerajaan Majapahit yang ternyata sepaham dengan kerajaan Demak yang dianggap sebagai penerus kejayaan Majapahit pada waktu itu, meskipun dengan warna Islam di dalamnya. Kemudian Sunan Kalijaga bersama muridnya yang bernama Kiai Muslim alias Ki Ageng Mirah mencoba melakukan investigasi keadaan Ponorogo,serta mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo.dan mereka menyimpulkan bahwa Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu

Maka diutuslah pemuda yang kemudian dikenal sebagai Batara Katong beserta 40 orang murid pilihannya yang dikomandani oleh Selo Aji seorang pemuda linuwih murid Sunan Kalijogo untuk melakukan infiltrasi dan intervensi ke wilayah Ki Ageng Kutu. Sampai di wilayah Wengker mereka mendirikan pemukiman di dusun Plampitan,desa Sentono kecamatan Jenangan.
Singkat cerita terjadilah pertempuran Batara Katong dan Ki Ageng Kutu. Berbagai cara dilakukan Batara Katong yang sangat kesulitan menaklukkan wilayah ini bahkan posisinya sangat terdesak hebat. Pada akhirnya dipakailah cara dengan memikat putri dari Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini dan dijadikan sebagai istrinya. Hal ini adalah cara untuk mengetahui kelemahan dan mencuru pusaka pamungkas Ki Ageng Kutu “ kiai koro welang”.

Taktik ini terbukti jitu dan akhirnya Ki Ageng Kutu mengalami kekalahan yan puncaknya pada hari Jumat Wage, Ki Ageng Kutu menghilang di pegunungan Waringin Anom yang kini dikenal dengan Gunung Bacin. Sampai sekarang Jumat Wage oleh masyarakat sekitar dianggap hari na’as. Dengan cerdik Batara Katong mengumumkan bahwa Ki Ageng Kutu telah “ moksa” dan menitis pada beliau yang kemudian menyebut sebagai batara atau dewa. Hal ini digunakan untuk meredam konflik masyarakat Ponorogo yang waktu itu banyak menganut agama Budha serta Animisme dan Dinamisme.Kemudian pada tahun 1486 dengan bantuan para Warok didirikanlah sebuah kadipaten baru dan diboyonglah Niken Gandini beserta Suromenggolo adiknya ke dalam istana kadipaten.
Seni Barongan sendiri kemudian direduksi fungsi politisnya dengan dimodifikasi sana sini. Dimunculkan tokoh baru seperti Prabu Kelono Sewandono tokoh dari kerajaan bantaran angin ataupun tokoh-tokoh lainnya seperti yang bisa kita lihat pada pertujukan seni Reog sampai saat ini.
Lepas dari sejarah yang beragam versinya, harus kita akui bahwa Reog Ponorogo adalah sajian kompleksitas tari yang menggabungkan unsur kekuatan, keindahan serta unsur alam yang tersinergi indah menjadi sajian berkelas Internasional. Mulai dari karakter Singo Barong yang menggunakan wajah harimau yang dihinggapi burung merak diatasnya menampakkan kegarangan harimau sekaligus pesona keindahan warna bulu merak yang berkilau diterpa cahaya matahari. Gerak geriknya yang sangat menawan. Sungguh merupakan kolaborasi yang tidak ditemui di belahan dunia manapun. Tarian akrobatik dari sang Bujang Ganong menampilkan kelincahan dan kelucuannya merupakan penyegaran tersendiri bagi yang menontonnya. Sederet barisan penari kuda atau “ayun-ayun “ mewarnai pagelaran dengan kekompakan dan kebersamaan gerak tari. Kemudian muncul tarian Kelono Sewandono sang Raja Bantar Angin dengan kewibawaan seorang raja sejati yang mengayomi dan menyelesaikan masalah ,menghadapi musuh dan marabahaya. Sekelompok warok unjuk kemampuan kanuragan melambangkan kekuatan pribadi punggawa ponorogo yang punya daya linuwih dan tidak bisa disepelekan. Sungguh sebuah pagelaran yang sangat istimewa dan penuh filosofi luhur.
Nampaknya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur sebagai pihak yang berkompeten di bidang ini sangat mengerti akan potensi dari pagelaran ini. Terbukti dengan diadakannya festival reog berskala internasional yang rutin diadakan tiap tahun. Ini sangat penting mengingat adanya pihak luar yang melegitimasi kesenian reog ponorogo serta melakukan klain sebagai kesenian asli negaranya. Selain itu devisa negara tentunya akan mendapat pengaruh positif. Masyarakat sekitar juga akan terdampak dan terdorong melakukan ide-ide kreatif seperti kerajinan dan cideramata. Dari sektor kulinerpun akan terangkat, seperti sate ponorogo dengan citarasanya yang khas semakin dikenal masyarakat luas.
Sebagai warga negara sudah semestinya kita mendukung program ini,dan menerapkan semangatnya di daerah kita masing- masing. Karena tanpa kesadaran kita memelihara budaya bangsa yang besar ini, sebagus apapun program pemerintah tidaklah akan berjalan dengan baik. Mari bersama-sama memelihara kesenian dan kebudayaan nenek moyang kita menuju peradapan masa depan yang “ Toto Tentrem Kertoraharjo, Gemah Ripah Loh Jinawi “
(untung )

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *