Oleh:
Rudi S Kamri
Pasca publik disuguhi pertunjukan Presiden Jokowi marah-marah pada rapat terbatas Kabinet Indonesia Maju, publik langsung menduga akan segera terjadi perombakan Kabinet Indonesia Maju. Namun beberapa hari kemudian jagat maya disuguhkan berita dari Mensesneg Pratikno bahwa resuffle batal dilakukan. Masyarakat pun kaget. Ini seperti drama resuffle kabinet maju mundur.
Sebenarnya tidak ada yang aneh andai Presiden Jokowi akan melakukan pergantian anggota tim dalam kabinetnya karena Presiden sendiri secara terbuka telah menyampaikan kekecewaannya atas performa kerja sebagian para menteri. Masyarakat dan para pelaku usaha pun setali tiga uang. Publik melihat soliditas dan hasil kerja kabinet Indonesia Maju jauh lebih buruk dibanding kabinet sebelumnya. Apalagi di masa krisis ini, tidak terlihat upaya kerja yang luar biasa yang dilakukan oleh sebagian menteri. Jadi wajar saja Presiden dan masyarakat kecewa.
Di satu sisi resuffle bukan sesuatu yang luar biasa. Itu jamak saja dilakukan oleh seorang Presiden dalam sistem pemeritahan presidential. Kita tahu Presiden mempunyai hak prerogatif untuk melakukan hal itu. Namun di sisi lain kita juga menyadari bahwa secara realitas politik saat ini Presiden tidak semudah itu melakukannya. Karena Presiden mesti melakukan kompromi dengan para endorsers dari partai politik dan non partai. Para endorsers pasti punya kepentingan agar kuota partainya tidak berkurang andai Presiden akan melakukan resuffle.
Langkah Presiden memperhitungkan suara partai politik sebetulnya juga bukan hal yang aneh. Karena selama empat tahun ke depan Presiden pasti masih membutuhkan dukungan parlemen untuk menjalankan semua kebijakannya. Dan kita tahu secara realitas politik saat ini parlemen lebih berfungsi sebagai representasi dari kepentingan partai politik, bukan murni berperan sebagai wakil rakyat. Suatu realita menyakitkan yang harus kita terima.
Di masa pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan akan berakhir dan upaya pemulihan ekonomi yang babak belur terdampak pandemi pasti akan banyak kebijakan ‘extra ordinary’ dari Presiden yang membutuhkan dukungan mayoritas anggota parlemen. Jadi kita harus mengerti bahwa terkait langkah resuffle, suka tidak suka, mau tidak mau Presiden tetap harus mempertimbangkan kepentingan partai politik. Di sisi ini saya maklum mengapa Presiden tidak bisa bebas melangkah “tanpa beban” seperti yang pernah beliau katakan sebelumnya.
Namun di sisi lain Presiden seharusnya juga mesti mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas khususnya para pelaku usaha. Publik dan pebisnis saat ini sudah gemas menunggu progress “marah-marah Presiden” yang sengaja dipublikasikan secara ‘time delay’ 10 hari. Untuk menjaga ‘public trust’ selayaknya Presiden seharusnya juga memperhitungkan tingkat ekspektasi masyarakat yang tinggi. Dengan tidak jadi melakukan resuffle, Presiden Jokowi akan mengecewakan masyarakat.
Sebetulnya masyarakat juga tidak peduli siapa yang akan diganti atau siapa akan menjadi apa. Yang masyarakat pedulikan adalah Presiden bisa bekerja dengan nyaman dengan tim kerja yang senafas dan seirama dengan gerak cepat Presiden.
Saran saya, meskipun dengan tetap memperhitungkan kekuatan politik yang ada, sebaiknya Presiden Jokowi harus segera melakukan resuffle. Karena di masa krisis ini kabinet Indonesia Maju selayaknya diisi oleh orang yang bisa bergerak cepat, bisa berpikir ‘out of the box’ dan bisa bekerja dalam ‘teamwork’. Bukan figur orang yang lelet, hanya peduli dengan kepentingan partainya, ragu-ragu bertindak, mencari panggung sendiri dan orang yang hanya pintar berteori muluk di atas langit tapi tidak peka dengan suara di bumi.
So, silakan dipilih orang yang lebih baik Pak Presiden. Jangan maju mundur. Karena akan membuat kepercayaan publik mengendur.
Salam SATU Indonesia
11072020