JAKARTA, Beritalima.com– DPD RI memandang Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) masih menyisakan beberapa persoalan dan perlu ada perbaikan dengan memperhatikan kekhususan masing-masing daerah.
Itu mengemuka pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite I DPD RI dengan Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan membahas Revisi UU No: 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota di Ruang Rapat Komite I DPD RI, Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (141).
“Untuk itu DPD melalui kewenangan dimiliki mau menginisiasi Perubahan UU Pemilihan Kepala Daerah dimaksud dengan asa demokrasi Indonesia khususnya terkait Pemilihan Kepala Daerah betul-betul mencerminkan aspirasi masyarakat dan secara mekanisme sesuai asas-asas pemilu serta menghasilkan kepemimpinan daerah yang kredibel dan profesional,” ucap Ketua Komite I DPD RI, Teras Narang.
Wakil Ketua Komite I DPD RI, Abdul Kholik mengungkapkan, UU Pilkada yang berlaku saat ini telah melalui beberapa kali revisi. Revisi dilakukan terhadap UU No: 1/2015 yang telah mendekonstruksi sistem pemilihan Kepala Daerah, sampai yang terakhir UU No: 10/2016 yang menyisakan banyak persoalan dalam pelaksanaannya.
“Menurut pandangan DPD beberapa permasalahan itu antara lain maraknya politik uang, persyaratan calon yang belum memberikan keadilan bagi semua pihak, permasalahan calon tunggal, proses Pilkada terutama masa kampanye yang lama, masih ada regulasi tumpang-tindih sehingga tidak harmonis, penetapan DPT masih bermasalah,” ungkap dia.
Djohermansyah menilai, sangat penting DPD RI dilibatkan untuk perbaikan atau revisi UU Pilkada. Karena, revisi UU itu jangan secara makro one policy for all tapi juga harus melihat kultur realita politik lokal.
Menurut Djohermansyah, kelemahan kebijakan Pilkada yang paling fatal adalah menyeragamkan sistem Pilkada. Semua kepala daerah dipilih langsung, padahal Indonesia ini plural.
Djohermansyah memetik pepatah orang Padang (Minang) ‘di mana bumi dipijak di sanalah langit dijunjung, lain lubuk lain pula ikannya’. Ini keaslian kultur kita yang berbeda-beda tetapi tetap satu.
Karena itu, revisi UU Pilkada harus memperhatikan nilai komunalitas di daerah, parameter demokrasi lokal, tingkat pendidikan, pendapatan, juga kemampuan keuangan daerah.
“Ini jangan diabaikan, kalau tingkat kehidupan masyarakat masih rendah, masyarakat akan masih susah berdemokrasi, karena pasti akan terjadi distorsi dan berbagai penyimpangan,” ucap pria yang akrab disapa Profesor Djo ini.(akhir)