Rhoma Dan Politik

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

Eksistensi Rhoma di bidang seni, khususnya seni musik, tidak seorang pun meragukannya. Dengan spesialisasi musik dangdut (dulu dikenal dengan “musik melayu”) yang digeluti dengan dedikasi tinggi, telah berhasil membawa putra pasangan Raden Burdah Anggawirya dan Tuty Djuariyah dan Soneta ke papan paling puncak. Siapa pun tidak dapat membantah, bahwa Rhoma merupakan Raja Dangdut sampai saat ini.Pada puncak keemasannya, orang tidak hanya sangat hafal dengan lagu-lagu ciptaannya, tetapi juga banyak penggemar yang sudah mengidentifikasikan diri dengan penampilannya. Banyak orang yang sudah gila dengan tidak hanya meniru potongan rambut dan jenggot khasnya, tetapi juga termasuk gaya ketika berjalan plus celana cutbray dan sepatu jenggel.

Kerajaan dangdut Rhoma, kini tidak hanya ‘beryurisdiksi’ wilayah dalam negeri, tetapi juga sampai ke manca negara. Beberapa ilmuwan bahkan tertarik untuk meneliti fenomena Rhoma dan Soneta. Di dalam negeri polularitas Rhoma tidak hanya membius masyarakat pecinta dangdut tetapi juga masyarakat musik di luarnya. Semula sejumlah stigma terhadap dangdut telah tersemat, yaitu selain sebagai musik comberan, karena goyangnya, dangdut juga distigma sebagai musik yang sarat pornoaksi. Para tokoh agama pun mengklasifikasikan dangdut sebagai musik yang tidak layak dinikmati atau ditonton. Sikap demikian berangsur hilang ketika mereka menyaksikan dangdut besutan Rhoma.

Kepercayaan para tokoh agama kepada dangdut ala Rhoma ini semakin mantap, ketika mantan suami suami Veronica bersama para musisinya menunaikan ibadah haji. Padahal, oleh banyak kalangan keberaniannya itu konon diramalkan sebagai akhir karirnya di bidang musik. Karena menunaikan ibadah haji dianggap akan membunuh karir di dunia seni, maka waktu itu tidak ada satu musisi pun yang berani naik haji. Menurut penuturan Rhoma yang ia sampaikan pada Chanel Youtube-nya, waktu itu tidak satupun seniman yang naik haji. Tampaknya ramalan orang meleset. Pascahaji pesona Rhoma dan Soneta justru semakin meningkat. Penggemarnya pun kini justru menembus dunia santri. Keakrabannya dengan para Ulama, salah satu putrinya bahkan sampai dipersunting oleh putra kiai ternama Jawa Timur.

Rhoma memperoleh penggemar konsisten, juga disebakan oleh tampilan lagu Rhoma yang pada umumnya sangat berbeda dengan tema-tema lagu pada umumnya. Di saat para pencipta lagu dangdut asyik menciptakan lagu bertemakan asmara yang sarat ratapan, Rhoma mengusung tema-tema lagu bernuansa pesan-pesan moral. Lagu “Haram”, “La ilaha illallah”, “Lima”, dan sejumlah lagu religi lainnya tidak hanya terkenal di kalangan penggemar musik dangdut tetapi juga dikenal di kalangan para agamawan. Sehingga tidak heran jika dikatakan lagu dangdut yang penuh goyang pinggul yang membuat dangdut terstigma musik kempungan dan tentu sangat tabu bagi ustadz dan kiai, berkat karya-karya Rhoma kini dangdut tidak hanya berhasil tampil di hotel-hotel berbintang tetapi bisa masuk pesantren dan masjid. Betapa lagu-lagu Rhoma sering dikutip dan dinyanyikan tanpa musik oleh para kiai ketika menyampaikan pesan-pesan dakwah.

Konsistensi pilihan musik dan tampilan panggungnya serta tema-tema lagu dakwah yang ia tonjolkan, tampaknya membuat eksistensi Rhoma di blantika musik dengan Soneta seolah abadi. Dalam sejarah tidak satu group pun musik di negeri ini seabadi Rhoma dan Sonetanya. Betapa tidak, menurut catatan media sejak didirikan 13 Oktober 1973, hampir semua personil Soneta masih tetap eksis. Hanya kematian, yang memisahkan mereka. Dan,dari 8 personilpendiri Soneta, kini hanya tersisa seorang, Rhoma Irama. Tujuh orang “sahabat” setianya (Haji Popong, Haji Ayub, Haji Riswan, Kadir, Herman, Haji Nasir, Haji Wampy, dan terakhir Haji Hadi) telah lebih dahulu berpulang.

Rhoma dan Politik

Eksistensi Rhoma yang populis, pada akhirnya memang telah menempatakan dirinya dengan nilai tawar tinggi. Nilai tawar ini secara nyata telah ia tunjukkan sejak pemilu tahun 1977. Akan tetapi, banyak orang menganggap Rhoma saat itu sebagai musisi yang ‘salah jalan’. Mengapa?.Pada saat itu Orde baru dengan Golkarnya secara politik penguasa.Tetapi Rhoma tidak masuk ke lingkaran kekuasaann itu. Justru ia dan Soneta tampil berseberangan, secara politik, dengan rezim penguasa. Akibatnya, banyak ‘tragedi’ yang sangat membahayakan Rhoma.Bahaya itu tidak hanya mengancam kehidupan Rhoma dan Sonetanya, bahkan menurut pengakuan Rhoma, juga nyawanya.Menurut pengakuannya, akibat sikap kritis dan secara nyata aktif mendukung salah satu partai, pernah 4 kali mengalami percobaan pembunuhan. (Posbelitung.co/24 Agustus 2018).Salah satu hukuman yang diterima Rhoma dan Soneta yang terkenal dan dikenang oleh siapapun ialah tertutupnya secara rapat pintu TVRI untuk mantan suami Veronica dan Soneta. Padahal TVRI, merupakan satu-satu TV yang bisa ditonton rakyat waktu itu. Bagi seluruh fans Rhoma, segmen acara bertema musik “Aneka Ria Safari” dengan pembawa acara legendaris, Edy Sud, betapapun disukai banyak orang, tetap terasa hambar tanpa Raja Dangdut, Rhoma Irama.
Sudah menjadi kaidah umum, bahwa dalam dunia politik persahabatan terjalin karena kesamaan kepentingan. Ketika kepentingan itu tidak di dapat maka persahabatan pun akan bubar. Itulah sebabnya mengapa dalam dunia politik bisa terjadi seseorang memperolah sahabat secara cepat sebanding dengan ketika harus memperoleh musuh. Atau, dengan kalimat lain, tidak ada sahabat yang abadi dalam dunia politik.

Satu-satunya yang abadi ialah kepentingan itu sendiri.
Ketika pertai PPP yang dibelanya selama ini penuh konflik internal. Partai yang waktu itu diklaim partai Islam di bawah kepemimipinan HJ Naro tampaknya sangat tidak kondusif. Terlepas dari faktor apapun penyebabnya, mungkin menurut Rhoma PPP, tidak lagi mencerminkan ‘akhlaq Islam’ sehingga dia gerah berada dalam partai–yang semula berlambang Ka’bah kemudian berlambang bintang–itu. Pada saat yang sama ternyata Golkar terlihat semakin ‘hijau’, Rhoma pun jatuh cinta dan sempat hijrah membela partai berlambang beringin itu. Ayah Ridho Rhoma itu pun sempat tercatat sebagai anggota legislatif pusat dari Fraksi Golkar, meskipun akhirnya juga keluar.

Saat pascareformasi ketika para elite euforia mendirikan partai politik, tampaknya Rhoma tidak hanya terkesima, tetapi justru menceburkan diri ke dalam lautan eufora itu.Tetapi banyak kalangan menyayangkannya.Sebagai sekelompok dari jutaan penggemar, barangkali kita juga tidak sependapat jika suami Rica Rachim ini terlibat politik praktis lagi . Setidaknya ada tiga alasan mengapa kita menyangkannya. Pertama, ketika reformasi usianya sudah tidak muda lagi. Usia Rhoma yang sudah di atas kepala enam, ditambah performance Rhoma yang “Ngiyai” tampaknya sudah sulit menjangkau konstituen milenial dengan ragam kesukaannya, kecuali fans fanatik yang tergabung dalam FORSA (Fans of Rhoma and Soneta). Pada pascareformasi muncul banyak eksponen muda yang potensial, termasuk para pemilih. Anak-anak zaman milenial pun relatif jarang yang mengenal era kejayaan Rhoma. Mereka mengenal lagu-lagu Rhoma hanya lewat penyanyi era kini. Dan, harus diakui mereka banyak mengenal lagu-lagu Rhoma setelah dinyanyikan penyanyi masa kini justru dengan iringan dangdut koplo, meskipun Rhoma sebenarnya ‘mengharamkannya’.

Kedua, popularitas di bidang apapun termasuk musik, tidak serta merta menjadikan ketokohannya akan meraih keberhasilan di bidang politik. Banyak contoh mengenai hal ini. Di India ada mega bintang ( aktor, produser, penyanyi, presenter televisi, dan komposer) Amitabh Bachan harus gagal mecari peruntungan di dunia politik. Bintang filem Mohabbatein yang waktu itu bergabung dengan INC ( Indian National Congress), pada akhirnya berkesimpulan bahwa dunia politik bukanlah yang cocok untuknya. Di Indonesia, rekan seperjuangannya waktu di PPP, dai sejuta ummat KH. Zainudin MZ, tidak hanya gagal menjadi presiden, tetapi gagal memimpin partai yang ia dirikan sendiri. Ronald Reagan dan Vladimir Zelensky barangkali hanya sedikit tokoh seniman yang berhasil manapaki karir puncak di dunia politik.

Ketiga, dengan terjunnya di dunia politik karir di bidang musik dan seniman yang sudah mencapai puncak, justru dapat tereduksi. Reduksi itu tidak hanya dari segi cakupan jumlah penggemar tetapi reduksi wilayah. Imbasnya, Soneta tidak mungkin bisa manggung lagi di hadapan penggemar dengan konstituen yang berbeda dengan partainya. Pengalaman ketika tahun 70 sampai 80-an harus memberinya pelajaran berharga. Waktu itu selama lebih 11 tahun, dicekal manggung di TVRI karena berseberangan partai pemerintah sementara TVRI merupakan televise plat merah. Dari sisi visi misi bermusik, bagi Rhoma justru jelas merugikan.Sebab, Rhoma tidak lagi bisa menyampaikan pesan-pesan agama pada semua lapisan masyarakat, seperti massa PDI atau massa partai nasionalis lainnya yang pada umumnya memerlukan santuhan dakwah dari lagu-lagu Rhoma.

Akhirnya, kita memang patut bersyukur di usia yang yang sangat senja, penyanyi, aktor, da’i, kelahiran Tasikmalaya 11 Desember 1946 ini, rupanya mempunyai ide cemerlang: membuat Yayasan Sosial yang bergerak di bidang pendidikan. Yayasan yang telah di-lounching 23 Januari 2022 lalu ini, sebagaimana Anis Baswedan dapat menjadi tambahan lahan amal Rhoma dari luar disiplin keahliannya. Proyek mercusuar ini tentu memerlukan dukungan massa dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh politik lintas partai. Tentunya banyak orang berharap, proyek sosial ini merupakan ketertarikan satu-satunya pendiri Soneta yang masih ada ini. Sebab, tanpa dukungan masyarakat dari berbagai kalangan mustahil ke depan proyek raksasa ini benar-benar menjadi raksasa. Sebaliknya kalau berhasil akan menjadikan Soneta tidak hanya menjadi satu-satunya grup musik yang tidak hanya melegenda di dunianya tetapi juga di dunia yang lain. Kalau misi Rhoma ini berhasil pasti juga akan memerluas imperium Soneta dibanding hanya sekedar dunia politik praktis yang justru mereduksi ‘Kerajaan Soneta’ dan Rajanya dalam banyak hal. Suksesi 2024 akan menguji sikap Rhoma terhadap politik praktis ini.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait