(Sebuah Refleksi)
Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Sebagai Penggugat, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima)
memang boleh gembira atas dikabulkannya gugatan yang diajukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat baru-baru ini. Gugatan yang dilayangkan pada tanggal 8 Desember 2022 melawan KPU, seperti menjadi puncak kegembiraan ketika putusan No 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst. ‘diketok’ oleh Majelis Hakim. Akan tetapi, ternyata segera setelah itu sejumlah reaksi terhadap materi putusan itu pun bermunculan. Tidak tanggung-tanggung, reaksi itu muncul dari para ahli hukum tatanegara. Sejumlah nama guru besar tatanegara bermunculan di media dengan komentar profesionalnya, seperti Yusril Ihza Mahendra, Jimly Assiddiqie Komentar 2 orang guru besar hukum ini sama-sama pedasnya. Bahkan Prof, Jimly sudah sampai kepada kesimpulan yang mengarah kepada ketidak profesionalan. Komentar kerasnya ditulis besar-besar oleh Kompas.com “Tak Ada Kewenangan Pengadilan Perdata Soal Pemilu, Hakimnya Layak Dipecat”. (02/03/2023). Penjelasan Humas PN yang bersangkutan pun seperti tidak dapat membuka pintu maaf dari pihak yang kontra terhadap putusan yang memenangkan parpol yang baru didirikan 1 Juli 2021 itu. Secara pribadi, Prof. Laudin Marsuni guru besar almamater penulis di UMI juga menyampaikan keprihatinan yang sama kepada penulis.
Terlepas dari materi putusan dan munculnya sejumlah pro dan kontra, putusan itu memamg baru di ketok oleh pengadilan tingkat pertama. Ada waktu mengajukan upaya hukum oleh pihak yang dikalahkan/ dirugikan. KPU sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) tentu akan menemuh upaya hukum yang dalam perkara ini dikalahkan. Setidaknya masih ada 3 upaya hukum yang dapat ditempuh oleh KPU, yaitu upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Putusan pengadilan tingkat pertama masih akan diuji oleh majelis pada 3 lembaga upaya hukum tersebut. Boleh jadi lolos pada upaya hukum banding, tetapi belum tentu pada upaya hukum kasasi. Katakanlah dalam upaya hukum kasasi pun lolos, belum tentu lolos pada upaya hukum peninjauan kembali. Bahkan, ketika putusan yang dipahami bersubtansi ‘perintahkan menunda pemilu’ dan jelas-jelas berimplikasi politik luas ini pasti juga akan mengundang reaksi dari parpol-parpol peserta pemilu lainnya. Para pakar hukum tatanegara juga sangat mengkin “berijmak” untuk menjadi amicus curiae guna memberikan masukan kepada pengadilan di semua tahapan upaya hukum tersebut. Yang pasti masih terbuka peluang lebar untuk mengoreksi putusan mengejutkan. Dengan peluang demikian, maka kejengkelan dan kemarahan kepada majelis hakim pemutus perkara, sangat tidak perlu diekspresikan secara berlebihan.
Dari sisi teknis, ‘jerih payah’ majelis sekalipun pada akhirnya dianggap kontroversial secara akademis, tetap harus dihargai. Upaya melahirkan narasi putusan itu tentu sudah melalui tahapan persidangan yang di samping berdurasi lama juga rumit. Keputusan majelis, sejauh telah dilakukan dengan pergulatan keilmuan yang ia yakini benar dan tanpa emebel-embel apapun, harus dilihat dalam konteks “ijtihad”. Suatu ijtihad, dalam tradisi profesi hakim, apabila benar diyakini akan mendapat 2 pahala dan apabila ternyata salah masih berhak mendapat 1 pahala. Dengan kata lain, sejauh majelis telah bekerja secara sungguh-sungguh dengan penuh integritas, tidak ada alasan untuk dicaci maki. Bukankah masih ada mekanisme hukum untuk mengoreksi kesalahan tersebut?
Sebagai manusia, seorang hakim juga seperti manusia lainnya yang bisa salah, lupa, dan lengah. Menjadi manusia luar biasa karena ekspektasi profesi (seperti konon menjadi wakil Tuhan di bumi) dan masyarakat sendiri (seperti dipanggil “Yang Mulia”). Pada saat yang sama, perkembangan hukum yang begitu cepat dengan aneka ragamnya, sering menjadi tantangan tersendiri. Satu hal yang pasti, hakim sering harus menghadapi beban menangani perkara di luar disiplin keilmuan yang dimiliki. Ketika menghadapi perkara demikian hakim sering merasa harus berada di dunia lain. Tetapi dunia lain ini harus tetap dilihatnya menurut kacamata hukum dan profesinya. Dalam alam yang gelap, di sana terdapat manusia yang sedang berselisih atau fenomena lain dan ingin keluar dari kegelapan. Hakimlah yang akan memberikan jalan terang dan berikut mentukan siapa yang boleh keluar. Yang menjadi masalah ternyata yang di hadapi hakim, suasana dunianya ( kasusnya ) selalu berbeda satu sama lain. Kalau ada seribu perkara yang harus ditangani hakim, seribu macam pula aneka masalahnya. Sebab, sejatinya tidak ada kasus yang benar-benar sama sekalipun kelihatannya serupa. Dengan demikian tugas hakim memang tidak seperti seorang operator atau kasir sebuah “super market” yang sekalipun melayani ribuan orang tetapi dapat terbantu dengan sebuah aplikasi. Tugas hakim yang demikian menampatkannya dalam posisi menghadapi medan tugas dinamika tantangan yang tidak menentu. Kadang mudah, sedang-sedang, dan kadang amat rumit. Bahkan bebarapa di antaranya belum pernah dipelajari sama sekali. Tetapi asas ius curia novit terlanjur disandangnya yang menyebabkan seorang hakim tidak bisa menghindar dari perkara apapun di hadapannya.
Dalam konteks inilah potensi ‘kesalahan’ berikut hujatan kepada hakim sangat mungkin terjadi. Potensi-potensi demikian pulalah yang menjadi latar belakang, mengapa para pimpinan Mahkamah Agung (Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Kamar) perlu secara berkala memberikan pembinaan secara interaktif yang wajib diikuti oleh para hakim pada 4 lingkungan badan peradilan. Namun lalu lintas persoalan hukum dalam bentuk kasus di pengadilan sering lebih cepat dari materi pembinaan yang sebulan sekali itu. Tampaknya perlu di buat juga mekanisme lain sebagai upaya membekali hakim di luar jalur-jalur yang selama ini ditempuh. Keharusan hakim ‘mendiskusikan’ lebih awal mengenai perkara tertentu dan menarik perhatian publik tampaknya perlu dibudayakan. Kebiasaan demikian dibudayakan hanya sebatas mencari masukan (second opinion) tanpa mengurangi independensinya. Secara yuridis langkah ini sebenarnya telah diamanatkan oleh Pasal Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang secara tegas menyatakan: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nalai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tanpa menghayati ketentuan ini, para pengadil akan menangani kasus (perkara) seperti orang berlari dengan makai kaca mata kuda: terus berlari ke depan tanpa peduli dengan benda atau lalu lintas yang berada di kanan kirinya.
Di luar upaya di atas, kita yang berada di institusi manapun, termasuk peradilan, memang perlu selalu menyadari bahwa kita sedang berada dalam satu sistem bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI ibarat sebuah rumah besar bagi seluruh warga negaranya, siapapun orangnya dan apapun jabatannya, termasuk hakim. Sebagai rumah besar, di dalamnya telah dibuat aturan main berupa konstitusi dengan pondasi Pancasila. Oleh kerana itu, apa pun yang diperbuat para penghuninya harus dalam konteks untuk kepentingan kelangsungan hidup bernegara. Tanpa menyadari hal ini kita dapat terjebak kepada egoisme sektoral yang pada akhirnya akan membuat penghuni rumah saling berkelai. Perlunya kesadaran demikan juga menimbulkan sebuah harapan ideal, bahwa seorang hakim sejatinya juga harus seorang negarawan yang mengerti dan memahami aturan main negara sebagai rumah besarnya itu.
BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang
Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com