Rumah Tak Selalu Indah

  • Whatsapp
Ilustrasi

Oleh: Putu Raditya Pratama

Ada kalanya fungsi keluarga tak berjalan sebagaimana mestinya. Ada saja situasi yang membuat peran rumah, sebagai tempat berpulang, melemah. Ada saja…alasan yang membuat seseorang lebih betah menghabiskan waktu di luar rumah.

Keluarga. Ia seharusnya menjadi tempat paling nyaman pertama untuk berbagi segalanya. Bukan hanya anak, tapi Ayah, juga Ibu, harusnya merasakan hal yang sama. Keluarga yang membuat kita, anggota-anggotanya, merasa nyaman, adalah keluarga yang mampu menjalankan fungsi-fungsinya.

Terkadang seiring waktu menyertai, fungsi keluarga sering terabaikan. “Sibuk” adalah alasan yang menjadi pemisah utama antaranggota keluarga. Setibanya di rumah, kira-kira suasananya selalu sama. Ayah yang baru pulang kerja beristirahat di depan TV sambil menikmati secangkir kopi. Anak-anak berdiam di kamar, mengerjakan tugas atau membuka buku pelajaran. Sedangkan Ibu, masih berada di dapur menyiapkan ini-itu sedari pagi. Ada interaksi? Tidak sama sekali.

Lain cerita ketika anak beranjak dewasa. Kesibukan makin menjadi. Perlu diakui, level pendidikan yang semakin tinggi membuat level tantangan semakin tinggi pula. Biasanya, pernyataan takmengenakan muncul dari orang tua.
“Pulangnya malem mulu, udah kayak orang kantoran.”
“Dari pagi masih depan laptop, itu nggak kelar-kelar?”
“Tidur jangan malem-malem, besok ‘kan ngampus pagi.”

Dan segudang pernyataan lain yang seolah tak merelakan anaknya sibuk dengan aktivitas luar rumah. Kadang respon kita, sebagai anak justru merasa kesal, marah. Seperti orang tua tak mau mengerti dengan keadaan kita yang bukannya ‘sok sibuk, tapi memang benar sibuk. Waktu untuk keluarga menjadi berkurang, namun dianggap lumrah. Satu yang justru kita lupa, tidak hanya kita yang bertumbuh dewasa, orang tua pun turut menua.

Di sisi lain, kita beranggapan bahwa orang tua juga sama sibuknya. Tak ada waktu untuk anak. Seharian bekerja hingga bisa tidak pulang dalam seminggu. Orang tua lain mungkin berdiam di rumah, tapi seharian tetap sibuk mencari penghasilan tambahan sana-sini.

Yang anak-anak inginkan sebenarnya hanya satu: pertanyaan. Setelah sepanjang hari terpisah, terkadang anak-anak ingin dapat pertanyaan dari orang tua mereka.
“Bagaimana harinya?”
“Ada masalah apa?”
“Denger-denger tadi ada ujian, gimana hasilnya?”

Dan segudang pertanyaan lain yang membuat anak menjadikan orang tua sebagai tempat bercerita. Bukannya bercerita pada sahabat, blog pribadi, atau insta-story. Terkadang karena hal-hal inilah, anak-anak lebih nyaman untuk menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya. Kerinduan akan rumah pun berkurang drastis.

Lalu, yang membuat hati pilu adalah ketika mendengar ucapan Ibu.
“Kemarin-kemarin udah nginep mulu, besok mah di rumah aja ‘kan? Itung-itung hemat ongkos.”
Dengan alasan hemat ongkos atau alasan klise lainnya, mungkin yang berusaha Ibu katakan hanyalah, “Sekali-kali habisin waktunya di rumah, sama mama sama papa.”

Jika air mata boleh menetes, mungkin ungkapan rasa rindu ini sudah tumpah di dekapannya. Untuk yang masih menyia-nyiakan keberadaan rumah, bersyukurlah karena masih berada dekat dengannya. Bayangkan bagaimana rasanya anak perantauan yang jauh dari rumah, merindukan suasana hangat keluarga di dalamnya.
Karena sejatinya, rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal. Ia adalah tempat berpulang. It feels more like home, than just a house.

Putu Raditya Pratama
Mahasiswa
(PNJ; Teknik Grafika dan Penerbitan)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *